Melihat Keadilan Transisi di Indonesia di Hari Keadilan Internasional

Hari ini, kita merayakan Hari Keadilan Internasional sebagai hari bersejarah di mana Statuta Roma diadopsi pada 17 Juli 1998. Ini menandakan pentingnya keberlanjutan perjuangan untuk melawan impunitas dan memberikan keadilan kepada korban pelanggaran HAM. Untuk itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) ingin menekankan pentingnya impelementasi keadilan transisi untuk memperbaiki apa yang telah terjadi setelah pelanggaran HAM di Indonesia.

Sampai hari ini, kita masih menghadapi kesulitan untuk berjuang melawan impunitas dan mendorong pemerintah Indonesia untuk menegakkan keadilan transisi. Baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional, pemerintah Indonesia tidak menunjukkan kesungguhan dan kemauan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dan impunitas yang menyertainya. Di Dewan Keamanan PBB, representasi Indonesia di PBB, Dian Triansyah Djani, pada 13 Februari 2020 menyatakan bahwa proses keadilan transisi harus melihat ke masa depan. Ia menyatakan bahwa proses tersebut bukan hanya tentang menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, tetapi juga tentang menempatkan fondasi untuk rekonsiliasi dan membangun kembali kepercayaan di masyarakat. Namun, konsep keadilan transisi tidak bisa dimaknai dalam bagian kecil yang disebut rekonsiliasi dan membangun kembali kepercayaan masyarakat.

Keadilan transisi memiliki proses yudisial dan proses non-yudisial, dan berfokus pada pendekatan dari empat aspek berikut: hak atas kebenaran, hak atas keadilan, hak atas reparasi, dan jaminan ketidakberulangan kekerasan. Tetapi, sebelum pemerintah Indonesia membicarakan mengenai fondasi rekonsiliasi dan membicarakan keadilan transisi di Dewan Keamanan PBB, mereka harus mengevaluasi dari dalam dan mengakui bahwa keadilan transisi di dalam negeri juga tidak berjalan dengan baik seperti berikut:

Pertama, korban memiliki hak atas kebenaran. Mereka berhak untuk tahu mengenai kebenaran di balik pelanggaran HAM yang sudah terjadi. Tetapi, kenyataannya, pencarian fakta yang biasanya dilakukan pemerintah malah berindikasi untuk melindungi orang-orang yang berkuasa dan juga lembaga yang diduga melakukannya. Sejak tahun 2015, pemerintah sering menekankan rekonsiliasi tanpa ada akuntabilitas untuk mengungkapkan fakta tentang pelanggaran HAM berat kepada korban dan masyarakat;

Kedua, hak atas keadilan pun ada untuk membuat para pelaku yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM agar diadili sesuai standar internasional dan diadili seadil-adilnya. Isi UU No. 26 Tahun 2000 memberikan Komnas HAM kekuasaan untuk mencari fakta, menentukan apakah pelanggaran HAM berat sudah terjadi, dan memberikan rekomendasi investigasi dan prosekusi kepada Mahkamah Agung. Ketika banyak penemuan fakta telah terjadi, Mahkamah Agung tidak melakukan apapun, dan mengklaim bahwa berkas-berkas yang diberikan tidak lengkap secara administrative. Bahkan jika beberapa kasus bisa mencapai proses pengadilan, dari 34 orang yang menjadi tersangka, hanya 18 yang dijatuhkan hukuman dan jika mereka menaikkan banding, angka terdakwa pun bisa menjadi nol persen;

Ketiga, pemerintah Indonesia seharusnya memberikan program reparasi dengan menyerdiakan berbagai materi dan keuntungan simbolis kepada korban seperti kompensasi uang, layanan medis dan psikologi, layanan kesehatan, dukungan pendidikan, pengembalian barang-barang, permohonan maaf secara publik, membangun museum, memorial, dan membuat hari-hari peringatan. Namun, hal-hal ini terhambat sebagaimana pemerintah memberikan dukungan yang tidak banyak yang juga menghambat reformasi hukum dan perkembangan mekanisme yang dapat melindungi korban;

Terakhir, reformasi institusi dibutuhkan untuk menjamin ketidakberulangan kekerasan, yang mana juga dapat membuat pemerintah mencegah terjadinya pelanggaran HAM di masa depan. Dalam konteks reformasi sistem keamanan, pemerintah menunjukkan keengganan untuk mereformasi TNI dan Polri dengan menunjuk dua prajurit dari TNI dan tiga perwira Polri untuk menjadi komisioner di banyak BUMN yang mana praktik ini seharusnya ditiadakan dari reformasi tersebut. Terlebih, di reformasi sistem keadilan, pemerintah menunjukkan keengganan lainnya untuk menegakkan keadilan sebagaimana kita saksikan baru-baru ini kasus Novel Baswedan—yang berusaha melawan korupsi—di mana pengadilan memberikan izin kepada polisi untuk memberikan bantuan hukum kepada para pelaku yang juga polisi. Pelaku yang menyiram cairan asam kepada Novel Baswedan sehingga ia buta dan banyak kejanggalan lainnya. Ini juga menyangkut masalah korupsi dan brutalitas para penegak hukum dan kondisi penjara yang menyedihkan.

Status Indonesia yang bukan sebagai negara pihak dalam Statuta Roma memiliki efek yang begitu terasa dalam implementasi penegakan sistem keadilan internasional di dalam negeri. Penduduk Indonesia terekspos dengan kemungkinan mengalami pelanggaran HAM, dan ketidakpedulian pemerintah untuk menegakkan hukum internasional dan nilai-nilai ham menjadi mengkhawatirkan. Oleh karena itu, Kontras mendorong pemerintah Indonesia untuk:

  1. Meratifikasi Statuta Roma, untuk memastikan penegakan dan perlindungan HAM semua warga negara;
  2. Melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak korban pelanggaran HAM untuk memastikan implementasi keadilan transisi; dan
  3. Memastikan reformasi sistem keamanan dan keadilan berlangsung dengan kebenaran dan keadilan, bukan dengan kepentingan politik.