Twit Surya Anta: Pemerintah Harus Usut, Twitter Harus Jelaskan!

Tim Advokasi Papua sebagai kuasa hukum Surya Anta, dkk. menuntut Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mengusut tuntas praktik lancung yang terjadi di Rumah Tahanan Salemba yang dibagikan oleh Surya Anta di akun twitternya dan menjadi viral pada 11 Juli 2020 yang lalu. Juga untuk Twitter untuk menjelaskan mengapa twit Surya Anta yang membeberkan tumpukan pelanggaran hukum tersebut bisa hilang tanpa sebab. Hal ini penting untuk menegakkan hukum dan menghukum semua orang yang bersalah dalam rangkaian pelanggaran tersebut dan bagi Twitter kasus ini penting untuk melindungi kebebasan berekspresi di internet.

Sebagaimana diketahui bersama, pada 11 Juli 2020 Surya Anta, Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) mencuitkan pengalamannya selama menjalani hukuman sebagai tahanan politik di Rumah Tahanan Salemba (https://twitter.com/SuryaAnta/status/1282415271077003264?s=20). Dalam twit tersebut Surya menjelaskan tentang kondisi Rutan Salemba yang sangat tidak manusiawi, pungutan liar terhadap dirinya dan para tahanan politik lainnya, berbagai barang yang bisa masuk dalam Rutan seperti ponsel dan sebagainya, blok-blok khusus yang memiliki tarif, hingga yang paling mencengangkan adalah “Apotik” atau toko narkotika jenis sabu yang dapat dengan leluasa beroperasi di dalam Rutan Salemba. Dalam waktu singkat twit tersebut menjadi viral dengan retweet, like, dan komentar oleh ribuan orang. Namun hanya sebentar, twit tersebut kemudian lenyap tanpa bekas dari akunnya.

Surya diperiksa hari ini oleh tim dari Inspektorat Jenderal Kemenhukham di kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) setelah sebelumnya Inspektorat memberikan jaminan dan perlindungan sebagai whistleblower. Untuk twit yang dihapus, Surya Anta sudah menanyakan secara resmi kepada Twitter pada sabtu (12/7) namun hingga kini tidak ada jawaban dari Twitter.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara khususnya pada pasal 4 sudah menegaskan tentang larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar di dalam setiap rumah tahanan yang ada di republik ini. Untuk itu serangkaian tindakan haruslah dilakukan untuk mengusut tuntas dan menghukum setiap pihak yang terlibat. Sedangkan untuk Twitter, larangan hanya diberlakukan terhadap twit yang mempromosikan terorisme, kekerasan, eksploitasi seksual anak, pelecehan, bunuh diri, promosi barang dan jasa ilegal, atau memanipulasi pemilihan umum (lihat Twitter rules and policies). Twitter harus memberi penjelasan karena yang dilakukan Surya Anta adalah memberitakan pelanggaran hukum. Tidak sepatutnya kicauan tersebut dihapus oleh Twitter selama ini selalu mendukung kebebasan berekspresi di dunia maya.

Lebih dari itu, diperlukan koordinasi lintas sektor antar penegak hukum untuk mengatasi permasalahan di Rutan maupun Lapas secara mendasar dalam hal kelebihan kapasitas (overcrowded) karena per Maret 2020 jumlah penghuni Rutan dan Lapas di Indonesia mencapai 270.466 orang padahal kapasitas resminya hanya  132.335 orang.  Kesimpulannya beban Rutan dan Lapas di Indonesia mencapai 204%. Kemenkumham sudah memulainya dengan mengeluarkan Permenkumham Nomor 11 Tahun 2017 tentang Grand Design Penanganan Overcrowded pada Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan namun belum ada pelaksanaan konkrit Permenkumham tersebut, khususnya dalam hal pemidanaan yang berlebihan oleh aparat penegak hukum (UU Narkotika, penahanan, RKUHP yang masih berperspektif pemidanaan, dan sebagainya).

 

Oleh karena itu, Tim Advokasi Papua menuntut:

  1. Pemerintah untuk serius membenahi masalah overcrowded di Rutan-Lapas melalui implementasi Permenkumham Nomor 11 Tahun 2017 tentang Grand Design Penanganan Overcrowded pada Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan;
  2. Kemenkumham untuk mengusut tuntas dan menghukum seluruh pihak yang bersalah sebagaimana dibagikan oleh Surya Anta di akun twitternya;
  3. Twitter menjelaskan kepada Surya Anta maupun publik mengapa twitnya hilang tanpa sebab;

 

Jakarta, 22 Juli 2020

Tim Advokasi Papua