UNAS Harus Berhenti Merepresi Suara Kritis Mahasiswa

Tim Advokasi Untuk Demokrasi mengecam keras tindakan Universitas Nasional (UNAS) yang hingga kini terus merepresi kritisisme mahasiswanya yang menuntut keringanan biaya kuliah. Tidak hanya melanggar prinsip kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi yang seharusnya dijunjung tinggi civitas akademika, tindakan UNAS juga melanggar hukum.

Sejak 16 Mei 2020, mahasiswa UNAS telah menuntut adanya keringanan biaya kuliah di tengah pandemi Covid-19. Merespon tuntutan awal, UNAS melakukan pemotongan uang kuliah sebesar Rp 100.000 melalui SK No. 52 Tahun 2020 tentang Pemotongan Biaya Kuliah Semester Genap Tahun 2019/2020. Sayangnya, ketentuan pemotongan uang kuliah tersebut tidak berlaku bagi seluruh mahasiswa dan diputuskan tanpa memberikan dasar penghitungan yang jelas. Mahasiswa berpandangan pemotongan dapat dilakukan lebih besar mengingat perkuliahan dilakukan dengan daring. Aspirasi tersebut berlanjut dengan dibentuknya Aliansi Mahasiswa UNAS Gawat Darurat (UGD) yang menuntut transparansi pengelolaan dana pendidikan di UNAS dan pemotongan uang kuliah yang lebih besar. Dengan kajian yang ditawarkan, Aliansi UGD menyampaikan tuntutannya melalui media sosial.

UNAS tidak merespon tuntutan pada aksi online tersebut dengan baik. Pada 10-12 Juni 2020, ± 31 mahasiswa dipanggil Komisi Disiplin atas dugaan pelanggaran aturan kampus berupa pencemaran nama baik. Merespon panggilan tersebut, UGD melakukan serangkaian aksi solidaritas di kampus UNAS. Beberapa surat telah disampaikan kepada rektor termasuk permintaan audiensi, namun tidak satupun ditanggapi. Aksi solidaritas yang dilakukan pun seringkali diintimidasi dengan pengerahan aparat kepolisian yang berlebihan.

Pada awal Juli 2020, UNAS menerbitkan sanksi akademik pemberhentian permanen (Drop Out) kepada 3 mahasiswa, pemberhentian sementara (skorsing) kepada 3 mahasiswa, dan peringatan keras kepada 15 mahasiswa lainnya. Semuanya merupakan mahasiswa yang menyampaikan tuntutan transparansi dan pengurangan uang kuliah melalui UGD. Adapun dasar penjatuhan sanksi tersebut karena mahasiswa dianggap telah mencemarkan nama baik kampus ketika menyampaikan tuntutan pengurangan biaya kuliah. Tidak cukup di situ, UNAS juga melakukan upaya kriminalisasi dan intimidasi terhadap mahasiswa UGD. UNAS melaporkan mahasiswa ke pihak kepolisian menggunakan Pasal 29 jo 45 UU ITE dan juga Pasal 170 KUHP. Hingga kini beberapa mahasiswa yang sebelumnya telah mendapatkan sanksi akademik telah mendapatkan panggilan kepolisian atas laporan UNAS tersebut. Salah satu mahasiswa bahkan mengaku didatangi oleh pihak asing yang mengaku kepolisian (meski tidak menunjukan identitas) di rumahnya pada malam hari dengan dasar untuk melakukan tes urin disertai ancaman mempidanakan dirinya. Mahasiswa juga mendapatkan intimidasi dengan serangkaian tindakan kekerasan yang dilakukan keamanan kampus UNAS saat melakukan aksi solidaritas di kampus. Terhadap tindakan kekerasan tersebut telah dilakukan pelaporan tindak pidana kepada Polda Metro Jaya.

Tim Advokasi Untuk Demokrasi beranggapan bahwa tindakan kekerasan tersebut menambah panjang catatan buruk UNAS dalam mengelola kehidupan kampus yang demokratis dan menjunjung nilai HAM sebagaimana dimandatkan Pasal 4 ayat 1 UU Sistem Pendidikan Nasional.

Tuntutan mahasiswa untuk meminta transparansi keuangan kampus dan pemotongan biaya kuliah sebagai dampak Covid-19 TIM sesungguhnya memiliki dasar konstitusional yang kuat. Pasal 28 C dan E UUD 1945 dan Pasal 13 UU No. 11 Tahun 2005 sesungguhnya telah menjamin bahwa pendidikan tinggi secara progresif harus dapat semakin terjangkau. Transparansi pengelolaan dana pendidikan sebagaimana tuntutan mahasiswa juga sudah selayaknya dilakukan UNAS jika merujuk pada Pasal 48 UU Sistem Pendidikan Nasional. UNAS seharusnya wajib menjunjung tinggi prinsip transparansi dan dialogis ketimbang cara-cara represif, apalagi aksi mahasiswa UGD hingga saat ini dilakukan tanpa kekerasan. Penggunaan aturan karet pencemaran nama baik sebagai dasar penjatuhan sanksi akademik dan kriminalisasi mahasiswa menunjukan bahwa UNAS melanggar prinsip kebebasan berpendapat, menciderai nilai kebebasan akademik, dan melanggar hak atas pendidikan mahasiswa dengan melakukan pemecatan pada mahasiswa secara inkonstitusional.

Atas pertimbangan tersebut, Tim Advokasi Untuk Demokrasi menuntut:

  1. Rektor UNAS untuk segera mencabut sanksi akademik kepada mahasiswa UGD yang menyampaikan tuntutan yang sah, menghentikan cara-cara kekerasan, menghentikan upaya kriminalisasi mahasiswa dan segera membuka ruang dialog dengan mahasiswa yang menuntut haknya atas transparansi dan akuntabilitas kampus;
  2. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk memeriksa Rektor UNAS atas pelanggaran prinsipprinsip dasar pendidikan yang demokratis dan tanpa kekerasan. Rektor UNAS adalah perpanjangan tangan Menteri dalam pelaksanaan tugas pendidikan tinggi di universitas swasta. Dengan diam saja artinya Menteri setuju dengan tindakan-tindakan antidemokrasi ini;
  3. Kepolisian Republik Indonesia untuk menghentikan kriminalisasi terhadap mahasiswa atas ekspresi yang sah dijamin konstitusi dan menghentikan cara-cara penyelidikan dan penyidikan yang tidak sesuai dengan KUHAP;

 

23 JULI 2020

TIM ADVOKASI UNTUK DEMOKRASI
(LBH Jakarta, LBH Pers, Kontras, Lokataru, Elsam, Jatam, Greenpeace 1Indonesia)

Narahubung:
LBH Jakarta (081224024901)
Elsam (085655004863)
LBH Pers (081398526238)