Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Jaksa Agung: Upaya Mengoreksi Negara

Peristiwa Semanggi II terjadi pada tanggal 24 September 1999 saat maraknya aksi mahasiswa menentang RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) dan menuntut pencabutan dwi fungsi ABRI. Peristiwa tersebut menyebabkan 11 korban meninggal dunia dan 217 korban luka-luka. Hingga 21 tahun berlalu, keluarga korban tak henti menghadapi tantangan dalam memperjuangkan penyelesaian peristiwa Semanggi II. Jaksa Agung yang seharusnya menjadi ujung tombak penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu justru enggan melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai penyidik dan penuntut umum. Alih-alih memberikan perkembangan kasus, Jaksa Agung justru menyatakan bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukan termasuk pelanggaran HAM Berat yang disampaikannya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI tanggal 16 Januari 2020 silam.

Tidak ada kata menyerah dalam kamus keluarga korban. Bersama dengan Koalisi Untuk Keadilan Semanggi I dan II, keluarga korban telah mengajukan keberatan administratif atas pernyataan Jaksa Agung pada tanggal 13 Februari 2020. Dalam surat balasannya, Kejaksaan Agung tidak menunjukkan itikad untuk mencabut pernyataan bahwa peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat. Kecewa, keluarga korban terus menuntut peristiwa Semanggi I dan II segera diselesaikan dalam surat-surat Aksi Kamisan yang dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo. Pada tanggal 12 Mei 2020, keluarga korban  melayangkan gugatan perbuatan melawan hukum melawan Jaksa Agung ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Dalam gugatannya, keluarga korban menuntut bahwa pernyataan Jaksa Agung tanggal 16 Januari 2020 sebagai berikut: “…Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang sudah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat, seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM…” harus dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum oleh pejabat pemerintahan. Konsekuensinya, Jaksa Agung harus menyatakan peristiwa Semanggi I dan II termasuk dalam pelanggaran HAM berat berdasarkan hasil penyelidikan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Trisakti Semanggi I dan II (KPP HAM TSS) dalam forum resmi negara.

Pernyataan tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang mengatur bahwa Jaksa Agung adalah penyidik dalam pelanggaran HAM berat. Sebagai penegak hukum, Jaksa Agung  bertanggung jawab menindaklanjuti laporan KPP HAM TSS selaku penyelidik, bukannya tunduk pada keputusan lembaga politik seperti DPR RI—hal mana juga ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-V/2007 tentang pengujian kembali Undang-Undang Pengadilan HAM. Seolah bolak-balik berkas perkara antara Kejaksaan Agung-Komnas HAM tak cukup mencederai rasa keadilan keluarga korban, Jaksa Agung justru membuat pernyataan yang dapat melanggengkan impunitas. Jika peristiwa Semanggi I dan Semanggi II dianggap bukan pelanggaran HAM berat, maka para pelakunya tak perlu diadili. Hal ini yang ingin diluruskan dalam gugatan melawan Jaksa Agung yang saat ini telah masuk ke dalam tahap pembuktian.  Oleh karenanya, dalam peringatan 21 tahun peristiwa Semanggi II yang merupakan pelanggaran HAM berat, kami mendesak Presiden agar:

  1. Memerintahkan Jaksa Agung mencabut pernyataannya yang menyatakan bahwa peristiwa Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan pelanggaran HAM berat;
  2. Memerintahkan Jaksa Agung untuk menyatakan bahwa peristiwa Semanggi I dan Semanggi II merupakan peristiwa pelanggaran HAM yang berat berdasarkan penyelidikan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Trisakti Semanggi I dan II (KPP HAM TSS);
  3. Memerintahkan Jaksa Agung meneruskan berkas perkara Peristiwa Semanggi I dan II ke tahap penyidikan.

Jakarta, 24 September 2020

Koalisi Untuk Keadilan Semanggi I dan II

Narahubung:
Tioria Pretty (+62 813 8254 4121)
Adelita Kasih (+62 813 1199 0790)