Tunda Pembahasan Rancangan Perpres Peran TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme!

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menunda proses pembahasan Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) tentang Peran TNI dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Mengingat RPerpres tersebut masih memiliki banyak masalah dan belum sesuai dengan tujuan UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme).

Berdasarkan informasi yang kami terima bahwa RPrepres tersebut akan dibahas dalam Rapat Gabungan Pimpinan Komisi I dan III DPR pada masa sidang II tahun 2020-2021. Sejak awal perumusan rancangan Perpres ini, berbagai lapisan masyarakat sipil telah memberikan kritik dan masukan konstruktif terhadap RPrepres tersebut. Namun RPerpres hasil penyempurnaan dari Pemerintah pada tanggal 1 Oktober 2020, belum mengakomodir masukan-masukan dari pelbagai elemen masyarakat.

Dalam kesempatan ini, kami ingin menegaskan kembali catatan dan masukan perbaikan, antara lain;

Pertama RPerpres ini masih memposisikan TNI sebagai aktor utama penanggulangan terorisme dengan memberikan fungsi yang sangat luas yaitu penangkalan, penindakan, dan pemulihan. Hal ini bertentangan dengan semangat UU 5/2018-dimana TNI merupakan sebagai bagian dalam upaya penanggulangan terorisme dibawah koordinasi BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Fungsi penangkalan dan pemulihan yang diatur dalam RPerpres ini menciptakan ketidakpastian hukum perihal batasan fungsi TNI dalam melakukan penangkalan dan pemulihan. Fungsi ini juga dapat ditafsirkan secara sepihak oleh TNI yang berpotensi tumpang tindih dan mengacaukan koordinasi antar instansi yang seharusnya dikoordinasikan oleh BNPT. Seharusnya sebagai peraturan pelaksana UU Terorisme, RPerpres ini hanya mengatur secara operasional lebih jelas mengenai peran TNI khusus pada fungsi penindakan.

Kedua RPerpres seharusnya juga mengatur bagaimana mekanisme akuntabilitas apabila terjadi pelanggaran hukum dan HAM dalam pelaksanaannya. Hal ini penting diatur mengingat praktik pertanggungjawaban tindak pidana terhadap anggota TNI yang secara faktual berlaku saat ini adalah mekanisme peradilan militer yang sudah seharusnya direvisi namun sampai saat ini belum terdapat progress yang signifikan. Faktanya, aspek ini tidak diatur dalam Rperpres ini. Terlebih, anggota TNI tidak terikat pada batasan-batasan serta ancaman sanksi yang melekat pada penyidik kepolisian dalam menjalankan fungsi-fungsi penanggulangan terorisme, sehingga menempatkannya dalam posisi yang sulit ditagih akuntabilitasnya ketika terjadi pelanggaran hukum atau tindak pidana.

Ketiga, ketiadaan pengaturan mengenai mekanisme pengawasan dan akuntabilitas dalam Perpres ini diperparah dengan belum adanya Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat tentang tim pengawas penanggulangan terorisme sebagaimana mandat yang diberikan oleh pasal 43J UU Terorisme. Padahal, penanggulangan terorisme yang melibatkan banyak sektor sangat membutuhkan pengawasan yang ekstra, utamanya dalam konteks penggunaan kekuatan yang bersinggungan dengan hak-hak masyarakat.

Keempat terkait pendanaan, RPerpres ini masih memasukan sumber pendanaan dari APBD dan sumber lainnya yang bertentangan dengan ketentuan dalam UU TNI bahwa sumber pendanaan TNI berasal dari APBN.

Maka dari itu, KontraS mendesak:

Kepada Dewan Perwakilan Rakyat agar menunda pembahasan rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme, dan mengembalikan kepada Pemerintah untuk menyempurnakan dan menampung masukan-masukan yang telah disampaikan oleh masyarakat sipil dan akademisi. DPR lebih baik memfokuskan membahas Peraturan DPR RI tentang Tim Pengawas Penanggulangan Terorisme.

Jakarta, 8 November 2020

Badan Pekerja KontraS

Fatia Maulidiyanti