Catatan Kritis atas Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 Pilkada Serentak 2020 : Demi Kekuasaan, Kejahatan Diwajarkan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan

I. Pengantar
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) telah menyusun laporan perihal pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)  serentak tahun 2020 yang diselenggarakan di 9 Provinsi dan 161 Kabupaten/Kota. Laporan ini kami susun untuk menyampaikan kepada publik  dan stakeholders terkait perihal berbagai dampak yang tidak diinginkan yang  muncul akibat pelaksanaan Pilkada Serentak tahun 2020 yang dipaksakan di  tengah-tengah pandemi COVID-19. Dalam menyusun laporan ini, KontraS melakukan pemantauan media dan wawancara jaringan terkait berbagai  fenomena penerapan protokol kesehatan, kekerasan dan intimidasi, serta  penyalahgunaan wewenang yang dilakukan seputar Pilkada 2020.  Secara umum, penyelenggaraan Pilkada berpotensi besar menimbulkan  kerumunan baik dalam rangka kampanye maupun saat hari pemilihan  dikhawatirkan akan menjadi klaster-klaster penyebaran COVID-19 yang semakin  tidak terkendali. Di sisi lain, penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi secara  tidak langsung mewajarkan praktik penyalahgunaan wewenang oleh beberapa  pihak.

Dalam hal ini, pemantauan KontraS menemukan bahwa masih banyak daerah  yang tidak secara tegas mengontrol pemberlakuan protokol kesehatan selama pelaksanaan Pilkada 2020. Temuan atas pelanggaran protokol kesehatan dalam penyelenggaraan Pilkada 2020 adalah buah dari penanganan pandemi yang tidak serius sejak awal. Hal ini terlihat dari banyaknya kasus aktif namun minim  test, tracing, treat yang mumpuni. Dampaknya, pandemi semakin tidak  terkendali dan membahayakan kesehatan warga negara. Namun, kondisi  tersebut tidak dipandang sebagai pertimbangan dalam pelaksanaan Pilkada  2020.

Temuan kami juga menunjukkan masih terdapat pola lama dalam upaya  mendapat dukungan publik, seperti intimidasi berunsur SARA, diskriminasi  gender, dan kekerasan verbal maupun nonverbal yang dilakukan antar  pendukung pasangan calon kepala daerah. Berkaitan dengan fenomena  penyalahgunaan wewenang, kami menemukan setidak-tidaknya 60 peristiwa  ketidaknetralan Aparatur Negara di 19 Provinsi. Selain itu, praktik intimidasi  berbasis SARA, diskriminasi gender, hingga ketidaknetralan Aparatur Negara adalah wujud nyata pewajaran terhadap pelanggaran yang tanpa tindakan tegas  semakin menunjukkan penyelenggaraan pilkada yang dipaksakan di tengah  pandemi.

Laporan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran kepada publik bahwa  Pilkada ataupun pemilihan pada umumnya bukanlah satu-satunya cara untuk  mempraktikan demokrasi, dan bahwa penyelenggaraan Pilkada dengan kondisi  saat ini lebih banyak memberikan kerugian berupa fenomena kekerasan,  penyebaran COVID-19, dan penyalahgunaan wewenang, tanpa dibarengi dengan  perbaikan yang signifikan terhadap kondisi demokrasi yang memiliki  permasalahan jauh lebih sistemik dari soal pergantian pimpinan daerah. Secara lebih jauh, KontraS akan menyampaikan temuan atas pemantauan  terhadap pelaksanaan Pilkada 2020 di sejumlah daerah yang kami jadikan alat  ukur untuk melihat efektivitas penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi.

II. Metodologi
Dalam menyusun laporan ini, KontraS mengumpulkan data melalui dua metode,  yakni pemantauan media selama masa kampanye (September – Desember) serta  wawancara secara daring dengan jaringan KontraS di Riau, Sulawesi Tengah,  Maluku Utara, dan Papua guna menggali secara lebih dalam isu-isu yang muncul  dalam penyelenggaraan Pilkada pada masing-masing daerah. Dalam hal ini, KontraS melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan Pilkada khususnya pada  masa kampanye yang dimulai pada tanggal 26 September 2020 sampai tanggal 5  Desember untuk mencatat seluruh peristiwa terkait COVID-19, kekerasan, dan penyalahgunaan wewenang yang terjadi dalam kurun waktu tersebut sebagai  catatan terhadap ekses dari pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. Sedangkan, Pemilihan daerah yang kami lakukan wawancara dimaksudkan sebagai sampel  untuk secara kualitatif memetakan fenomena terkait Pilkada yang terjadi di  berbagai wilayah dengan kondisi sosial, politik, dan budaya yang berbeda.

III. Antara Penanganan Pandemi dan Pelaksanaan Pilkada
Pada tanggal 21 September 2020, Pemerintah bersama DPR RI secara resmi  menetapkan bahwa Pilkada serentak tahun 2020 akan tetap dilaksanakan dengan tanggal pemilihan jatuh pada 9 Desember 2020.1 Pada waktu yang  bersamaan, angka penambahan orang yang positif COVID-19 di Indonesia berjumlah 4.176 orang, dengan tren yang masih terus meningkat dari mingguminggu sebelumnya, yakni sekitar 2.000 orang per hari di akhir bulan agustus dan menjadi lebih dari 3.000 orang per hari sejak awal bulan September.2 Bahkan, hingga satu minggu sebelum penyelenggaraan Pilkada (3 Desember 2020) tercatat 8.369 kasus baru. Dengan kondisi tingkat penularan COVID-19  yang masih meningkat setiap minggunya, penetapan tetap dilaksanakannya  penyelenggaraan Pilkada 2020 tidak mempertimbangkan kondisi laju penyebaran Covid-19.

Sejumlah permasalah terkait dengan penanganan pandemi masih terdapat  lubang besar. WHO mencatat dari 34 provinsi, hanya lima provinsi yang telah memenuhi standar tes per seribu penduduk perminggu, yaitu DKI Jakarta, Jawa  Tengah, Yogyakarta, Sumatera Barat dan Kalimantan Timur, namun tidak ada  satupun yang memiliki proporsi positif di bawah 5%.3 Penambahan jumlah kasus  yang tinggi pada waktu tertentu masih dalam taraf tes kasus yang minim. Selain  itu, penanganan pandemi yang tebang pilih dengan membiarkan sejumlah kerumunan terjadi.

Berdasarkan hasil pemantauan pelaksanaan kampanye Pilkada, kami  menemukan sejumlah hal pelanggaran yang terjadi, antara lain:

III.1 Pengabaian terhadap Protokol Kesehatan
Di Daerah Riau misalnya, kami mendapatkan informasi bahwa dari 9 daerah  yang melaksanakan Pilkada, setidaknya pada dua daerah marak terdapat  pelanggaran protokol kesehatan, seperti banyaknya orang yang berkerumun  tanpa menjaga jarak dan menggunakan masker. Hal yang sama juga terjadi di  Ternate, yang mana dalam pelaksanaan kampanye ada banyak kerumunan yang  nyaris sama sekali tidak menerapkan protokol kesehatan dengan berdesakdesakan dan tidak menggunakan masker. Kami juga mendapat informasi bahwa  di Ternate terdapat perbedaan perlakuan oleh Satgas COVID-19 di tingkat kota  yang enggan membubarkan kerumunan yang berkaitan dengan Pilkada, namun  kegiatan masyarakat lainnya yang berkerumun namun tidak berkaitan dengan  Pilkada dibubarkan. Hal ini mengindikasikan adanya perbedaan perlakuan dari  otoritas negara dalam menegakkan protokol disiplin kepada masyarakat umum dengan para peserta Pilkada.

III.2 Saling Lempar Tanggung Jawab
Ketidakseriusan dalam penerapan protokol kesehatan juga diamini dari tindakan  pihak yang berwenang dalam mengawasi pelaksanaan Pilkada 2020. Berdasarkan penyampaian Bawaslu RI, terdapat 237 dugaan pelanggaran  protokol kesehatan hanya dalam kurun waktu 10 hari yakni dari 26 September hingga 5 Oktober 2020.4 Bahkan meningkat drastis hingga 17 November 2020 yang mencatat 1.448 kegiatan kampanye yang melanggar protokol kesehatan.

Di sisi lain, Bawaslu menyatakan bahwa pihaknya tidak mampu membubarkan  berbagai kerumunan yang diakibatkan oleh Pilkada,5 sementara dalam beberapa peristiwa terutama ketika adanya kerumunan massa yang dilakukan oleh calon petahana, pihak kepolisian dan Satpol PP terkesan enggan melakukan  pembubaran.6 Pada sisi lain, Polri justru menyatakan bahwa yang bertanggung  jawab atas kerumunan seputar Pilkada adalah Bawaslu.

Peristiwa saling lempar tanggung jawab antar lembaga negara ini menunjukkan bahwa sepanjang pelaksanaan Pilkada masih terdapat ketidakjelasan perihal  penerapan peraturan perundang-undangan terkait pelaksanaan Pilkada di  tengah pandemi COVID-19. Ketidaksinkronan ini merupakan bentuk minimnya  kehadiran negara dalam memastikan penyelenggaraan Pilkada tidak berakibat pada dampak tingkat penularan COVID-19 yang semakin parah.

III.3 Tebang Pilih Ketegasan
Temuan berupa adanya ketidaktegasan aparatur negara dalam menertibkan  pelaksanaan protokol kesehatan selaras dengan hasil wawancara dengan  beberapa jaringan daerah. Berdasarkan wawancara ini, kami menemukan bahwa  Satgas COVID-19 di tingkat daerah beserta aparat berwenang lainnya, masih  tidak tegas dalam menegakkan protokol kesehatan dalam pelaksanaan Pilkada,
sebagaimana kami rangkum dalam tabel berikut ini:

DaerahTemuan
RiauPelaksanaan kampanye di tiga daerah Kabupaten/Kota melanggar protokol kesehatan dengan berdesak-desakan dan tidak menggunakan masker. Tidak ada ketegasan dari Bawaslu maupun

Kepolisian.

Maluku Utara1. Pelaksanaan kampanye di Ternate melanggar protokol kesehatan dengan berdesak-desakan dan

tidak menggunakan masker; dan

2. Satgas COVID di  tingkat  Kota tebang pilih dalam menegakkan protokol kesehatan, dengan membubarkan                                       kerumunan masyarakat yang tidak berkaitan dengan Pilkada namun tidak membubarkan kerumunan akibat Pilkada

IV. Kekerasan, SARA, dan Diskriminasi Gender dalam Pilkada 2020

Dalam pemantauan kami terhadap pelaksanaan Pilkada tahun 2020, kami menemukan bahwa cara-cara kekerasan masih kerap digunakan baik untuk mengintimidasi kelompok berseberangan dalam Pilkada maupun untuk menekan warga untuk memilih calon-calon tertentu.

Atas situasi tersebut di atas, Negara tidak menyiapkan infrastruktur dan suprastruktur yang mumpuni dalam penyelenggaraan Pilkada 2020. Alih-alih menyelesaikan problem substansial atas penanganan pandemi selama ini, Negara justru memperburuk situasi penanganan pandemi dengan perilaku lembaga negara yang membiarkan kerumunan terjadi.

Berdasarkan pemantauan kami sejak  September hingga Desember 2020 tercatat
29 peristiwa kekerasan yang berkaitan dengan kampanye Pilkada 2020. Peristiwa kekerasan ini didominasi praktik intimidasi, penganiayaan, provokasi, dan perusakan alat peraga kampanye. Dari peristiwa tersebut, tercatat 19 orang luka-luka yang sebagian besar adalah panitia pengawas pemilu.

Adapun para pelaku kekerasan dan intimidasi ini beragam mulai dari  orang tidak dikenal, pendukung pasangan calon, sampai dengan aparatur negara. Praktik intimidasi terhadap pendukung pasangan calon yang dilakukan oleh aparatur sipil negara, salah satunya terjadi di Sulawesi Selatan. Salah seorang Kepala Desa mengintimidasi dua orang warganya dan menahan jatah air bersih kedua orang tersebut hanya karena berbeda dukungan dalam Pilkada.9 Peristiwa serupa terjadi juga di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, dengan adanya aparatur Dinas Pendidikan Kabupaten yang mengarahkan guru-guru setempat untuk memilih petahana dalam Pilkada. Berdasarkan pemantauan kami, peristiwa kekerasan ini tersebar di 12 daerah dan didominasi oleh peristiwa di Jawa Timur. Di daerah tersebut, kami menemukan penggunaan isu SARA10 dan intimidasi bernuansa penyalahgunaan wewenang dari beberapa kelompok Paslon.

Di Papua, berawal dari tidak diloloskannya salah satu Paslon oleh KPU, berujung pada aksi demonstrasi yang disertai dengan aksi kekerasan dari massa pendukung acalon lainnya. Dalam peristiwa ini, massa pendukung salah satu Paslon melakukan pembakaran terhadap rumah seorang calon bupati lainnya yang dianggap menyinggung dukungannya di media sosial, serta terdapat pula

peristiwa penganiayaan terhadap seorang wartawan dan seorang anggota kepolisian.12

Selain kekerasan, kami juga menemukan isu SARA dan gender yang digunakan untuk kepentingan politik elektoral. Berdasarkan pemantauan, kami menemukan setidaknya dua peristiwa penggunaan isu SARA demi kepentingan elektoral. Pada kasus penggunaan isu SARA yang terjadi di Ternate, ujaran- ujaran bernuansa SARA yang disebarkan melalui media sosial telah mengamplifikasi berbagai ujaran kebencian yang mengarah pada ajakan tindak kekerasan. 13 Sedangkan, praktik diskriminasi berbasis gender terjadi di Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Ternate ketika Ketua DPD salah satu partai politik menyatakan secara publik bahwa Kota Ternate harus dipimpin oleh laki-laki.14 Isu gender dalam bentuk kekerasan berbasis gender juga terjadi di Tangerang Selatan, dalam bentuk penyebaran foro pribadi dengan ujaran pelecehan kepada calon Wakil Wali Kota Perempuan.15

Penyebaran isu SARA dan diskriminasi terhadap gender menunjukkan pewajaran berbagai pelanggaran demi mendapat kekuasaan yang mana berdampak pada semakin tajamnya polarisasi di masyarakat. Terlebih lagi, pernyataan tersebut disampaikan oleh calon pejabat publik kepada masyarakat luas. karena dapat memperparah stigmatisasi berbasis gender yang memang sudah ada dalam tatanan masyarakat Indonesia.

Dalam konteks pelaksanaan pilkada, praktik kekerasan melalui intimidasi ataupun penganiayaan, isu SARA, sampai dengan diskriminasi gender merupakan ekses dari pelaksanaan Pilkada yang dapat menumpuk dan memperparah masalah-masalah sosial di Indonesia, khususnya mengenai perlindungan kepada kelompok rentan.

V. Penyalahgunaan Wewenang Aparatur Negara

 Fenomena lain yang sangat marak kami temukan dalam penyelenggaraan Pilkada serentak tahun 2020 adalah penyalahgunaan wewenang aparatur negara, khususnya Aparatur Sipil Negara (ASN). Netralitas ASN dalam penyelenggaraan Pilkada sangat penting mengingat ASN memiliki akses terhadap sumber daya pemerintahan yang rentan disalahgunakan untuk menguntungkan calon tertentu. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan, netralitas ASN juga telah berkali-kali ditegaskan, termasuk dengan adanya ancaman pidana terhadap ASN yang terbukti tidak netral dan menggunakan wewenangnya untuk menguntungkan peserta Pilkada tertentu.16 Namun, temuan kami justru menunjukkan bahwa peristiwa ASN di beberapa daerah tidak netral selama pelaksanaan Pilkada cukup marak.

Kami mencatat 60 peristiwa ketidaknetralan Aparatur Negara yang tersebar di

19 Provinsi. Tindakan tidak netral tersebut didominasi oleh pernyataan dukungan kepada calon tertentu (21 peristiwa), ikut serta menggalang dukungan kepada calon tertentu (20 peristiwa), interaksi di media sosial yang menguntungkan/mempromosikan calon tertentu (16 peristiwa), partisipasi dalam kegiatan calon tertentu (8 peristiwa), mengisyaratkan dukungan (6 peristiwa), intimidasi kepada masyarakat (3 Peristiwa), dan foto bersama calon tertentu (3 peristiwa). Hal ini misalnya terlihat pada peristiwa seorang Kepala Desa yang mengancam memutus akses air bersih kepada warganya yang

Berbeda pilihan politik dengannya di Sulawesi Selatan, 17 atau ancaman pemutusan akses Bansos kepada masyarakat yang berbeda pilihan politik dengan seorang Kepala Desa di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.18 Dalam jangka panjang, terdapat potensi politik balas budi oleh calon terpilih kepada aparatur negara yang telah membantunya memenangi Pilkada, yang akan mengesampingkan kepentingan masyarakat umum.

Keberpihakan aparatur sipil negara terhadap salah satu calon pasangan pilkada atau pengerahan aparatur sipil negara untuk mendukung salah satu calon semakin menegaskan praktik abuse of power dalam mendapatkan kekuasaan. Selain itu, praktik tersebut juga berujung kepada politik balas budi yang mencederai kehidupan demokrasi.

VI.Kesimpulan

 Pemilihan umum, dalam hal ini Pemilihan Kepala Daerah, memang salah satu aspek penting demokrasi, untuk memastikan adanya pergantian pemimpin berdasarkan pilihan masyarakat. Namun, perlu diingat pula bahwa Pemilu  ataupun Pilkada bukanlah satu-satunya aspek dari kehidupan demokratis yang harus dijaga. Dalam hal ini, kondisi luar biasa yakni pandemi seharusnya dijadikan pertimbangan yang paling utama dalam menentukan pelaksanaan Pilkada. Apabila tidak, maka tidak heran muncul berbagai ekses ataupun dampak yang tidak diinginkan dari pelaksanaannya.

Problem penanganan pandemi yang masih memiliki lubang besar seperti dilupakan negara dengan pelaksanaan Pilkada 2020 dan pengabaian terhadap pelanggaran protokol kesehatan yang terjadi. Situasi tersebut semakin diperparah dengan tidak sinkronnya pengawasan kampanye, baik oleh Bawaslu maupun Kepolisian yang ditunjukkan dengan saling lempar tanggung jawab. Sikap abai pemerintah dengan tetap melangsungkan pilkada tanpa mempertimbangkan kondisi penanganan pandemi yang masih minim membahayakan kesehatan dan keselamatan nyawa peserta dan panitia pilkada, serta masyarakat.

Praktik kekerasan dan intimidatif yang kerap digunakan oleh berbagai kelompok yang berkepentingan dalam Pilkada menunjukkan adanya gejala tidak sehat dalam proses demokrasi. Hal ini kelak akan mempengaruhi tren kebijakan yang intimidatif pula oleh para kepala daerah terpilih. Terlebih lagi, penggunaan isu SARA dan diskriminasi berdasarkan gender akan memperuncing polarisasi masyarakat yang semakin represif terhadap kelompok rentan. Penyalahgunaan wewenang dengan mengerahkan aparatur sipil negara dalam proses kampanye adalah bentuk abuse of power dan melanggengkan politik balas budi yang berdampak pada marjinalisai kepentingan publik secara lebih luas.

Pada akhirnya, Pilkada 2020 adalah menjadi panggung yang mempertontonkan ambisi elit politik yang mengesampingkan kepentingan publik demi kekuasaan semata. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan melalui otonomi daerah, Pilkada 2020 hanya menimbulkan dampak polarisasi yang makin meruncing dan memperburuk situasi hak asasi manusia dan demokrasi.