Catatan Kritis Tahun 2020: Reformasi Habis Dikorupsi Oligarki!

Menguatnya konsolidasi oligarki menjadi salah satu permasalahan bagi demokrasi Indonesia. Tahun 2020 menjadi waktu yang berat bagi perbaikan hukum dan tata kelola pemerintahan. Serangkaian langkah serta kebijakan hukum pemerintah bersama DPR sejak akhir Tahun 2019 hingga hari ini berhasil menuai kritik publik. Diawali dengan operasi senyap revisi UU KPK pada akhir tahun lalu, yang kemudian diikuti oleh bermacam undang-undang lainnya, seperti perubahan UU Minerba dan UU MK, serta dilahirkannya UU Cipta Kerja. Produk legislasi yang sejak awal diduga bermasalah akan menjadi tendensi buruk bagi upaya penegakan hukum di Indonesia.

Tidak hanya produk legislasi, pemerintahan kali ini juga memunculkan beberapa permasalahan lain seperti praktik korupsi, pelanggaran Hak Asasi Manusia, hingga penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi. Serangkaian problematika tersebut tidak terlepas dari sistem politik yang lebih memihak pada kepentingan oligarki.

Bertepatan dengan peringatan Hari Anti Korupsi Internasional serta Hari HAM Internasional yang jatuh pada Tanggal 9 dan 10 Desember tiap tahunnya, berikut beberapa catatan dari Koalisi Masyarakat Sipil atas permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia sepanjang Tahun 2020.

Cacat Hukum Undang-Undang tentang Cipta Kerja

Sejak awal, upaya pembahasan UU Cipta Kerja telah diadang oleh teknis prosedural pembentukan peraturan perundang-undangan. Dimulai dengan niat untuk mengharmonikan sebelas klaster regulasi dari pelbagai undang-undang. Di antaranya penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan investasi, pengendalian lahan, kemudahan berusaha, serta ketenagakerjaan.

Kemudian teknis pembentukannya pun tidak merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Padahal Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah menegaskan bahwa sebuah rancangan undang-undang harus mudah diakses oleh masyarakat. Itu bertujuan agar membuka ruang yang luas untuk melakukan dialog dan menampung setiap masukan dari masyarakat. Namun dalam pembahasan UU Cipta Kerja, ruang dialog tersebut sengaja ditutup dengan rapat.

Komposisi panitia kerja UU Cipta Kerja yang terafiliasi dengan perusahaan-perusahaan tertentu, ditambah dengan anggota satuan tugas UU Cipta Kerja yang diisi oleh nama-nama pengusaha membuka ruang konflik kepentingan. Pasalnya beberapa ketentuan dalam klaster ketenagakerjaan serta pertanahan hanya menguntungkan kelompok pengusaha tertentu.

UU Cipta Kerja juga memperlemah kuasa pemerintah daerah yang secara konstitusional menjalankan prinsip otonomi seluas-luasnya dan diatur dalam UUD 1945. Seperti izin usaha di daerah dan tata ruang desa. Kewenangan yang awalnya berada di tangan pemerintah daerah akhirnya ditarik ke pemerintah pusat menggunakan undang-undang ini. Sehingga undang-undang ini dapat dipastikan lahir bukan untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi seluruh masyarakat, namun hanya diperuntukan bagi kepentingan dan kesejahteraan sekelompok orang saja.

Korupsi Melanggengkan Oligarki

Upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi hingga saat ini hanya sebatas jargon semata. Sejak dikebirinya wewenang komisi antirasuah melalui revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pertimbangan pejabat publik untuk tidak melakukan korupsi makin rendah. Buktinya, pola korupsi yang dilakukan oleh dua Menteri di Kabinet Presiden Joko Widodo menggunakan cara-cara lama. Misal, kasus dugaan suap yang melibatkan Menteri Sosial karena meminta fee dari setiap paket bantuan sosial untuk Covid-19 sebesar Rp10 ribu.

Munculnya kasus dugaan korupsi yang melibatkan Menteri tidak terlepas dari peran Presiden Joko Widodo selama ini. Pada saat pemilihan Menteri di periode kedua,Presiden tidak pernah melibatkan KPK dalam penelusuran rekam jejak. Sehingga ketika KPK menangkap dua Menteri, maka tanggung jawab sepenuhnya ada di pundak Presiden yang telah memilih orang dengan rekam jejak yang diduga bermasalah.

Persoalan lain yakni Pilkada 2020 yang diprediksi rawan kecurangan. Di saat masyarakat kesulitan secara ekonomi dalam kondisi pandemi, pemerintah cenderung memaksakan untuk menyelenggarakan Pilkada. Celah tersebut berpotensi dimanfaatkan oleh para calon untuk melakukan praktik politisasi bansos atau vote buying. Terlebih, upaya publik dalam melakukan pengawasan cenderung melemah karena pandemi Covid-19.

Dalam dana kampanye Pilkada 2020, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan adanya celah terkait dengan ketiadaan batas maksimal dana kampanye. Selain itu, ICW juga menemukan adanya sejumlah kandidat yang tidak patuh dan tidak jujur dalam melaporkan dana kampanye. Hal ini membuka ruang bagi oligarki untuk membiayai kampanye kandidat.

Problematika Hak Asasi Manusia

Koalisi Masyarakat Sipil mencatat bahwa terdapat beberapa pelanggaran yang menunjukan rendahnya komitmen pemerintah terhadap perlindungan HAM. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa aksi demonstrasi yang berakhir dengan brutalitas aparat terhadap massa aksi. Seperti pada aksi #ReformasiDikorupsi yang menolak revisi UU KPK, UU Minerba, serta KUHP yang terjadi pada akhir Tahun 2019. Hal tersebut kembali terulang dalam aksi #MosiTidakPercaya dalam penolakan UU Cipta Kerja pada Tahun 2020.

Gejolak pelanggaran HAM di Papua juga menjadi salah satu persoalan hingga hari ini. Beberapa pelanggaran yang muncul adalah pembatasan hak untuk berserikat dan berkumpul, pembunuhan di luar hukum, penahanan sewenang-wenang, hingga pembatasan akses informasi masyarakat yang terjadi pada akhir Tahun 2019 (Amnesty Internasional, 2020). Sehingga harus dilakukan komitmen dan tindakan nyata pemerintah untuk menghentikan pelanggaran HAM di Papua.

Terkait kondisi kebebasan sipil di Indonesia selama satu tahun terakhir, berangkat dari hasil pemantauan dan dokumentasi yang dilakukan terkait tindakan, serta kebijakan negara yang bersifat pembatasan maupun serangan terhadap hak berekspresi baik ekspresi yang disampaikan dalam ruang digital maupun ruang-ruang publik lainnya, baik secara individual maupun kolektif dalam satu tahun terakhir. Dalam aspek kebebasan sipil ini, kami menemukan bahwa selama satu tahun terakhir negara kerap menggunakan instrumen yang dimiliki, baik instrumen hukum maupun instrumen kelembagaan untuk memberangus ekspresi orang-orang yang kritis terhadap Pemerintah maupun berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Dalam isu ini, UU ITE masih menjadi salah satu ancaman utama bagi warga masyarakat yang kritis, karena norma yang terkandung di dalamnya dapat digunakan secara sepihak untuk menargetkan kritik kepada Pemerintah.

Fenomena pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berekspresi selama satu tahun terakhir tidak hanya terjadi di ruang-ruang fisik, namun juga di ruang ditigal melalui berbagai kasus peretasan, intimidasi, doxing, sampai penyiksaan di ruang siber terhadap individu maupun kelompok yang menyampaikan kritik, mengadakan diskusi, atau mempublikasikan berita yang memprotes dan mengkritisi kebijakan pemerintah.

Padahal kemerdekaan untuk dapat menyampaikan pendapat merupakan hak asasi yang dilindungi oleh Pasal 28 UUD 1945. Sehingga menjadi keharusan bagi pemerintah untuk melindungi dan memenuhi hak konstitusional tersebut. Namun tingginya angka pelanggaran HAM seperti tindakan represif yang dilakukan oleh aparat serta kriminalisasi terhadap aktivis menjadi tendensi buruk bagi perlindungan keamanan serta keselamatan masyarakat.

Selain permasalahan dalam usaha untuk menyampaikan pendapat, meningkatnya angka terjadinya konflik agraria menjadi salah satu catatan penting lainnya. Pada Tahun 2020 terjadi perluasan dan peningkatan wilayah yang terdampak konflik. Termasuk apabila dilihat dari eskalasi kekerasan, jumlah petani, masyarakat adat, dan aktivis yang ditangkap karena mempertahankan hak atas tanahnya, di tahun 2020 mengalami peningkatan. Hingga pada maret tahun 2020, kembali tercatat sembilan kasus tentang konflik agraria dan susulan kasus-kasus di bulan berikutnya. Angka penambahan kasus serta penangan konflik agraria menunjukan bahwa, penangan konflik agraria tidak sejalan dengan pencegahan konflik agraria.

Pilkada di Tengah Pandemi

Penyebaran Covid-19 di Indonesia makin mengkhawatirkan. Hingga akhir Bulan November, tercatat lebih dari lima ribu kasus yang menunjukan bahwa pandemi ini makin tidak terkendali (bbc.com, 2020). Namun di tengah meningkatnya korban akibat pandemi, pemerintah masih memaksa untuk menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi.

Pilihan untuk mengadakan Pilkada Serentak 2020 dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan hanyalah menjadi tameng politik belaka apabila dilihat dari banyaknya pelanggaran protokol kesehatan yang terjadi pada proses penyelenggaraannya. Di mulai dari tahap pendaftaran Paslon hingga saat ini yang sedang memasuki masa kampanye.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat bahwa terdapat pelanggaran protokol kesehatan dalam masa tahapan kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Setidaknya Bawaslu mencatat sebanyak 1.315 pelanggaran. Pelanggaran tersebut tercatat sejak 26 September hingga 4 November 2020 dan dibagi menjadi setiap 10 hari. Misalnya pada jumlah pelanggaran soal protokol kesehatan pada 26 September hingga 5 Oktober, Bawaslu mencatat terdapat 237 pelanggaran (Suara.com, 2020).

Hal ini membuktikan bahwa protokol kesehatan yang katanya akan diutamakan pada pelaksanaan Pilkada 2020 akan berakhir sebagai pepesan kosong jika PKPU Nomor 13 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di tengah Covid-19 hanya sebatas peringatan tertulis dan pembubaran kegiatan kampanye di tempat semata, seperti yang tertuang pada Pasal 88C Ayat (1) dan (2) PKPU tersebut.

Menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi akan menjadi sebuah kesalahan fatal jika pemerintah dan penyelenggara tidak mengutamakan kesehatan dan keselamatan jiwa masyarakat. Persoalan ini juga muncul karena sanksi yang diberikan tidak membuat jera para paslon pelanggar protokol kesehatan. Karena komitmen terhadap penerapan protokol kesehatan serta pemberian sanksi yang tegas merupakan salah satu bentuk keseriusan penyelenggara dalam menyukseskan pilkada di tengah Pandemi Covid-19.

Memaksakan penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi juga tidak terlepas dari agenda oligarki untuk mempertahankan status quo. Mekanisme pemilihan langsung hanya dijadikan sebagai dasar legalitas kekuasaan oligarki.

Berdasarkan empat catatan yang telah dipaparkan di atas, maka Koalisi Masyarakat Sipil menyimpulkan bahwa

  1. Reformasi telah habis dikorupsi oligarki. Dibuktikan dengan menguatnya konsolidasi oligarki yang secara langsung menyandera demokrasi. Kelompok oligarki tidak hanya menggurita pada sistem perekonomian dan investasi, namun saat ini mereka juga memaksa masuk ke dalam sistem pemerintahan melalui penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi.
  2. Menyatakan dan menyerukan #MosiTidakPercaya kepada Pemerintah dan mendorong adanya perubahan menyeluruh dalam sistem. Selama tidak ada perubahan sistem pemerintahan dan politik, maka tidak akan ada perbaikan bagi kehidupan masyarakat. Langgengnya praktik korupsi dan pelanggaran HAM akan terus berlanjut jika tidak ada komitmen dan langkah konkret untuk mencegahnya. Sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut, dibutuhkan gerakan bersama untuk mendorong perubahan sistem politik.

Jakarta, 9 Desember 2020

Laporan Rujukan

  1. https://storage.googleapis.com/planet4-indonesia-stateless/2020/09/142558eb-ekspansi-perkebunan-sawit-korupsi-struktural.pdf
  2. https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers/5510/ringkasan-eksekutif-ekspansi-perkebunan-sawit-korupsi-struktural-dan-penghancuran-ruang-hidup-di-tanah-papua/
  3. https://antikorupsi.org/id/article/catatan-icw-atas-dana-kampanye-pilkada-2020
  4. https://www.jatam.org/pilkada-2020-vaksin-imunitas-bagi-oligarki/

Koalisi Masyarakat Sipil :
1. Bersihkan Indonesia
2. Fraksi Rakyat Indonesia
3. YLBHI
4. KontraS
5. Pusako FH UNAND
6. Trend Asia
7. Greenpeace Indonesia
8. ICW
9. JATAM
10.WALHI
11.Desantara
12.FNKSDA
13.FSBKU – KSN
14.Elsam
15.KIARA
16.PK-GEBRAK-UNP
17.BEM Unsoed
18.BEM FH UI
19.UKM PHP UNAND
20.PUSAD UMSurabaya
21.BHAKTI FH UBH
22.BEM FH UPNVJ
23.SGBN
24.BAKAT FH UNRI
25.SAKSI FH UNMUL
26.KPRI