Pemutakhiran Data Virtual Police

Genap satu bulan, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merilis Posko #PantauBareng Virtual Police. Sejak awal pembentukannya pada 22 maret lalu, kami berharap adanya keterlibatan publik untuk memantau secara aktrif kinerja yang dilakukan oleh Virtual Police. Hal tersebut bertujuan untuk menguji sejauhmana efektivitas aktivitas virtual police ini. 

Selama satu bulan dibuka, kami menerima 3 (tiga) pengaduan dari korban peneguran virtual police. Ketiga teguran tersebut seluruhnya berkaitan dengan ekspresi atau kritik terhadap unsur pemerintah baik lewat platform twitter, Instagram, maupun WhatsApp. Namun, kami juga tidak melihat penindakan dilakukan kepada akun yang melakukan tindak pidana di ranah siber seperti praktik penipuan, unggahan pornografi atau ujaran rasial. Selain itu, upaya kami meminta keterbukaan informasi publik berkaitan dengan Virtual Police ini juga tidak mendapatkan respon dari Mabes Polri. 

Minimnya pengaduan yang masuk kami anggap wajar karena masyarakat telah enggan untuk melaporkan. Setelah ditegur lewat direct message, masyarakat tak mau memperpanjang urusan dan langsung menghapus konten publikasinya. Dapat terlihat bahwa suasana ketakutan berekspresi lewat media sosial tereskalasi di tengah masyarakat, pasca virtual police melakukan patroli siber. 

Dari beberapa pengaduan yang masuk, kami juga mencatat bahwa teguran virtual police menyasar kepada mereka yang aktif mengkritisi pemerintah. Salah satunya terhadap akun Surabaya Melawan. Konten yang mendapatkan teguran adalah publikasi di akun Instagram mereka yang berisi kritik terhadap kerumunan Presiden Jokowi saat berkunjung ke NTT. Selain itu, virtual police juga menegur akun AM, mahasiswa asal Slawi yang mengkritik Walikota Solo, Gibran Rakabumingraka karena dianggap tidak mengerti sepak bola. 

Kami menilai operasi siber yang dilakukan virtual police ini eksesif dan berimplikasi pada menyusutnya ruang kebebasan sipil. Sebab, standar dan mekanisme penindakan belum diatur secara jelas. Surat Edaran Nomor: SE/2/11/2021 hanya mengatur pembentukannya saja.  Selain itu, pengawasan yang dilakukan terhadap operasi virtual police ini juga sangat minim. Tentu saja hal tersebut akan berimplikasi besar pada tindakan yang sewenang-wenang. Pengintaian dan penindakan akan semakin masif ditujukan bagi mereka yang aktif berekspresi dalam mengkritisi kebijakan pemerintah.  Baru 2 bulan beroperasi saja, sebanyak 329 konten dianggap melanggar UU ITE dan 200 konten dinyatakan lolos verifikasi sehingga mendapatkan teguran.

Kepolisian selalu mendalihkan bahwa seluruh teguran tersebut bersifat edukatif. Padahal langkah-langkah yang ditempuh virtual police ini bersifat menindak dan mengatur ekspresi warga negara. Seharusnya, penindakan diperuntukkan bagi mereka yang melakukan tindakan kriminal lewat media sosial, seperti penipuan online, menyebarkan konten pornografi, pelecehan secara daring, serta beberapa kasus rasisme. Tetapi, kami tak melihat itikad kepolisian menegur serta memberikan edukasi kepada akun-akun tersebut. 

Kami juga melihat bahwa polisi salah kaprah dalam mengimplementasi konsep restorative justice dalam operasi virtual police ini. Konsep tersebut berorientasi pada pemulihan bagi korban demi kembalinya keadaan semula. Tetapi dalam kasus virtual police, model kerja pun tidak terbuka bagi publik yang berimplikasi pada kesewenang-wenangan praktik dalam menegur sebuah akun. Semisal dalam kasus AM, ia diminta untuk meminta maaf secara terbuka atas apa yang diperbuat. Peristiwa ini tentu saja semakin menambah ketakutan masyarakat, khususnya jika ingin mengkritik pejabat publik. 

Selain itu, aktivitas virtual police ini juga kontraproduktif dengan ucapan Presiden Joko Widodo yang meminta masyarakat aktif dalam mengkritik pemerintah. Kepolisian harus segera melakuan reformulasi edukasi kepada pengguna sosial media, tanpa menggunakan cara-cara represi di dunia digital. 

 

Jakarta, 22 April 2021
Badan Pekerja KontraS,

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator

Narahubung: Rozy Brilian 082122031647