20 Tahun Peristiwa Wasior: Selesaikan Kasus dan Hentikan Kekerasan di Tanah Papua

Sudah genap dua puluh tahun berlalu, Peristiwa Wasior masih menyisakan duka mendalam bagi keluarga korban. Peristiwa ini bermula dari terbunuhnya 5 anggota Brimob dan 1 orang sipil di base camp perusahaan CV. Vatika Papuana Perkasa di Desa Wondiboi, Distrik Wasior, pada 13 Juni 2001. Sejumlah besar pasukan polisi diturunkan untuk mencari pelaku yang juga mengambil 6 pucuk senjata dari anggota Brimob yang tewas. Namun pengejaran pelaku oleh aparat ini disertai tindak kekerasan terhadap penduduk sipil yang tidak bersalah, seperti penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan terhadap lebih dari 30 orang, pembunuhan, penghilangan paksa, hingga perkosaan.

Meski Komnas HAM telah menyelesaikan dan menyerahkan hasil penyelidikan pro justitia nya kepada Jaksa Agung pada 2003, namun pingpong berkas antara Jaksa Agung dan Komnas HAM kembali terjadi pada berkas kasus ini setidaknya sebanyak 3 kali, yakni November 2004, Maret 2008 dan November 2016 dengan alasan belum melengkapi persyaratan formil dan materiil. Kendati demikian, dalam Sidang UPR (Universal Periodic Review) PBB yang diadakan di Jenewa pada 3 Mei 2017, Pemerintah Indonesia menjanjikan bahwa Kejaksaan Agung sedang mempersiapkan proses pengadilan di Pengadilan HAM di Makassar untuk memproses kasus Wasior-Wamena. Namun hingga menjelang Sidang UPR berikutnya pada akhir 2022 nanti, nyatanya masih belum ada sedikitpun terlihat kemajuan dalam membawa kasus Wasior ke Pengadilan HAM. Terbukti bahwa janji tersebut hanya sebatas alat diplomasi Pemerintah untuk meredam perhatian internasional terhadap situasi Papua, termasuk kemandekan penyelesaian kasus Wasior-Wamena.

Pola penurunan aparat berlebihan dan pendekatan militeristik sebagaimana terjadi pada kasus Wasior ini terus berlangsung dan menyebabkan penderitaan dan pelanggaran HAM bagi masyarakat sipil Papua hingga 20 tahun ini. Sebagaimana kita saksikan, alih-alih mengamankan, cara ini justru menghilangkan rasa aman masyarakat Papua. Hingga hari ini, setiap tahunnya angka kekerasan di Papua tetap tinggi. Berdasarkan hasil pemantauan KontraS dalam kurun waktu Januari-Desember 2020 telah terjadi 40 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh Polri, TNI maupun keduanya dengan didominasi oleh tindakan penembakan, penganiayaan, dan penangkapan sewenang-wenang. Puluhan peristiwa yang terdokumentasikan ini mengakibatkan kurang lebih 276 orang menjadi korban, baik korban luka, tewas, maupun ditangkap. KontraS juga mencatat di Januari-Desember 2020 setidaknya terdapat 10 peristiwa pembunuhan di luar proses hukum yang mengakibatkan 20 orang meninggal dunia. Permasalahan ini menjadi cerminan kebrutalan dan pertimbangan serampangan dari Pemerintah dan aparat yang kerap berdalih bahwa orang-orang yang disasar adalah KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata).

Beberapa fakta di atas menjadi bukti bahwa kekerasan masa lalu yang tak kunjung diselesaikan oleh negara telah berdampak pada keberulangan di masa selanjutnya. Untuk itu, seiring dengan peringatan Wasior Berdarah, KontraS mendesak agar Presiden:

  1. Menginstruksikan langsung Jaksa Agung untuk segera melakukan penyidikan terhadap kasus Wasior-Wamena dan berbagai kasus pelanggaran HAM berat di Papua. Kejaksaan Agung memiliki kewenangan lebih kuat untuk melengkapi kekurangan hasil berkas laporan penyelidikan Komnas HAM. Tidak ada alasan bagi Kejaksaan Agung untuk terus menerus mengembalikan berkas laporan kepada Komnas HAM. Tindakan penyidikan oleh Kejaksaan Agung dan proses hukum di Pengadilan HAM merupakan indikator untuk membuktikan komitmen Pemerintah Indonesia;
  2. Menarik pasukan dan menghentikan operasi militer di Papua dan Papua Barat, serta berkomunikasi dengan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata di Papua untuk mencari gencatan senjata atau jeda kemanusiaan agar penduduk yang mengungsi dapat kembali ke kampung halaman dengan rasa aman.