Catatan Kritis, Pergantian Panglima TNI: Presiden dan DPR Harus Meninjau Masalah pada Tubuh TNI

Menjelang masa pensiun Panglima TNI, Hadi Tjahjanto, berbagai perkembangan informasi menyebutkan sejumlah nama sebagai calon pengganti, baik dari TNI AL, TNI AD, dan TNI AU. Beriringan dengan hal tersebut, KontraS [Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan] menuliskan sejumlah catatan evaluatif terhadap langkah Tentara Nasional Indonesia di bawah kepemimpinan Jenderal Hadi Tjahjanto selama periode 2017-2021. Hal ini kami lakukan sebagai bagian dari partisipasi publik dalam turut serta memperkuat alat negara dari perspektif hak asasi manusia. Catatan evaluatif ini menggunakan perspektif hak asasi manusia yang kami analisis ssberdasarkan aturan hukum nasional dan internasional dengan penggunaan data terbuka, baik melalui pemantauan media maupun pengaduan kasus yang masuk ke KontraS. Sepanjang kepemimpinan Jenderal TNI Hadi Tjahjanto, KontraS melakukan pemantauan terhadap sejumlah langkah, keputusan, atau kebijakan pada tubuh TNI yang berdampak pada hak asasi manusia.

Secara umum, selama kurang/lebih 3 tahun terhitung dari januari 2018 hingga agustus 2021, kami mencatat jumlah kasus kekerasan yang dilakukan oleh TNI berjumlah 277 peristiwa. Adapun peristiwa kekerasan tersebut meliputi penganiayaan, penyiksaan, penembakan, tindakan tidak manusiawi, intimidasi, penangkapan sewenang-wenang, bisnis keamanan, pengggusuran paksa, okupasi lahan, dan kejahatan seksual. Catatan pemantauan tersebut juga menunjukkan pola relasi kuasa yang tidak berubah dari waktu ke waktu. Adapun tindakan terbanyak adalah penganiayaan sebanyak 151 kasus diikuti oleh intimidasi dengan 57 kasus. Setiap tahunnya, peristiwa kekerasan terus didominasi oleh matra TNI Angkatan darat dengan 228 kasus. Di samping itu, pola kekerasan yang berulang tersebut juga menunjukkan mekanisme pengawasan yang masih lemah terhadap sikap prajurit di lapangan, baik pelanggaran etik, pelanggaran disiplin, maupun pelanggaran pidana.

Kami juga menyoroti sejumlah langkah kontraproduktif terhadap reformasi sektor keamanan yang berkonsekuensi pada kondisi kebebasan sipil. Hal ini dapat dilihat dari wacana revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang memperbolehkan penempatan militer aktif pada jabatan sipil,  pelibatan TNI dalam penanganan terorisme,  penerapan UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) yang memperbesar peran TNI tanpa mengatur batasan-batasan konkritnya,  semakin meluasnya militerisme di Papua,  konflik agraria antara petani dan TNI,  hingga pelibatan TNI yang berlebihan dalam penanganan pandemi COVID-19.  Dalam kerangka kebijakan publik, Keterlibatan luas dari TNI dalam ranah sipil berimplikasi pada tata kelola pemerintahan yang baik karena menutup ruang bagi instansi atau stakeholder yang berwenang dalam menjalankan tugas dan fungsinya, serta berpotensi terjadi konflik kepentingan pada beberapa hal, seperti pengambilan keputusan penting yang melibatkan prajurit TNI atau aset TNI.

Sejumlah catatan di atas menggambarkan bahwa Panglima TNI selanjutnya memilki pekerjaan berat dalam memimpin institusi beberapa tahun ke depan. Pergantian Panglima tak boleh hanya menjadi agenda yang sifatnya formalistik belaka, melainkan harus menjadi momentum perbaikan tubuh TNI. Beberapa permasalahan harus segera dibenahi demi TNI yang professional, transparan dan akuntabel sebagai bagian dari upaya perwujudan agenda reformasi sektor keamanan.

Jakarta, 16 September 2021
Badan Pekerja KontraS

Fatia Maulidiyanti
Koordinator

Klik disini untuk melihat catatan kritis “Pergantian Panglima TNI” selengkapnya