Laporan Hari Anti Hukuman Mati Internasional: Konsistensi Negara dalam Melanggengkan Hukuman Mati

Bertepatan dengan Hari Anti Hukuman Mati Internasional 2021, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kembali menyusun laporan tahunan terkait kondisi penghukuman mati yang masih diterapkan di Indonesia pada periode Oktober 2020–September 2021. Catatan pendek ini akan memberikan paparan ekstensif namun padat atas gambaran praktik penghukuman mati di Indonesia. Dalam menganalisis temuan yang ada, kami menggunakan kerangka hak asasi manusia, kebijakan, dan berbagai peraturan yang ada baik secara internasional (konvensi) maupun nasional.

Pada periode Oktober 2020–September 2021, kami menemukan adanya keberulangan pola yang terjadi dalam konteks penghukuman mati di Indonesia. Berdasarkan hasil pemantauan kami, terdapat setidaknya 35 vonis hukuman mati yang dijatuhkan di Indonesia dengan daerah yang paling banyak menjatuhkan vonis adalah Provinsi Sumatera Utara (9 vonis). Vonis mayoritas dijatuhkan dalam kasus narkoba (60 terdakwa), setelah itu baru disusul kasus pembunuhan berencana (6 terdakwa), dan terorisme (6 terdakwa). Sedangkan, pengadilan yang paling banyak menjatuhkan vonis hukuman mati adalah Pengadilan Negeri. Keberulangan pola yang terjadi seperti dominasi terpidana mati dalam kasus narkoba dan konsisten banyaknya vonis yang dijatuhkan di Pengadilan Negeri seharusnya menggugah Negara dalam mengevaluasi kembali efektifitas dan tepat sasarannya penjatuhan vonis hukuman mati ini.

Kemudian, kami juga menyoroti berbagai ketimpangan yang terjadi, seperti terpidana mati dalam kasus narkoba yang mayoritasnya merupakan masyarakat miskin yang mengedarkan narkoba dalam jumlah kecil dan keberadaan terpidana mati perempuan yang memiliki kerentanan tersendiri, seperti kemiskinan, ketiadaan pekerjaan di dalam negeri, informasi, dan pengetahuan yang terbatas yang beriringan dengan pengalaman kekerasan dalam rumah tangga. Alih-alih menanggulangi permasalahan-permasalahan ini dengan mengkaji ulang pemberlakuan mati, pemerintah justru bersikeras mempertahankan hukuman mati dengan tetap mencantumkannya sebagai pidana alternatif dalam RKUHP.

Padahal, sejauh ini tidak ada bukti empirik yang dapat membuktikan pemberlakuan pidana mati efektif dalam memberikan efek jera dan menurunkan tingkat kejahatan. Ditambah, Indonesia juga masih memiliki permasalahan besar dalam menciptakan sistem peradilan yang adil (fair trial). Proses peradilan bagi terpidana mati seringkali masih cacat hukum menyebabkan banyaknya  hak-hak terpidana mati yang terenggut bahkan sebelum eksekusi berlangsung. Berbagai perlakuan tidak adil seringkali diterima oleh terpidana mati, seperti kualitas pendamping hukum yang buruk; kurangnya akses penerjemah yang berkualitas; pengakuan-pengakuan secara paksa yang dijadikan bukti dalam proses persidangan; dan akses terbatas menuju banding, peninjauan kembali dan prosedur grasi.

Oleh sebab itu, pemberlakuan hukuman mati merupakan suatu bentuk pengabaian pemerintah atas berbagai problematika penerapannya yang banyak terjadi. Pemerintah seharusnya segera mengevaluasi kembali efektivitas dan tepat sasarannya pemberlakuan pidana mati ini. Dalam hal ini, pemerintah harus mulai mengikuti arus global yang kini telah bergerak menjauhi praktek penghukuman mati. Langkah ini dapat diawali dengan meratifikasi Protokol Opsional Kedua ICCPR, sebagai bentuk komitmen dalam menghapuskan hukuman mati secara keseluruhan dalam sistem hukum pidana Indonesia.

Jakarta, 10 Oktober 2021

Badan Pekerja KontraS

 

Arif Nur Fikri

Wakil Koordinator

Klik disini untuk melihat laporan selengkapnya