Belakangan ini media sosial riuh oleh sebuah tagar #PercumaLaporPolisi. Hal itu dipantik oleh kasus pencabulan tiga orang anak oleh ayahnya sendiri, di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kasus tersebut awalnya diangkat oleh Project Multatuli dalam artikel yang berjudul Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyidikan.[1] Dalam artikel tersebut terdapat beberapa kejanggalan yang disebutkan seperti pemaksaan penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), kondisi kesehatan mental ibu korban, hingga penghentian penyelidikan atau penutupan kasus baik di tahap Polres Luwu Timur dan Polda Sulawesi Selatan.
Seiring dengan ramainya perbincangan terhadap tidak profesionalnya Polres Luwu Timur dalam menangani kasus pemerkosaan tersebut, kami menilai bahwa tagar #PercumaLaporPolisi sebagai bentuk kritik publik atas kinerja Korps Bhayangkara. Tagar #PercumaLaporPolisi membicarakan kenihilan hasil dari upaya publik untuk mendapatkan keadilan, baik dari segi pelayanan maupun pengayoman, mulai dari pencarian terhadap barang hilang, penanganan sebuah perkara, hingga pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kepolisian itu sendiri. Kasus ini dapat menjadi ukuran bahwa kinerja Kepolisian masih jauh dari memuaskan. Kasus di Luwu tentu hanya satu kasus diantara kasus serupa lainnya yang butuh perhatian publik agar segera mendapatkan jalan penyelesaian secara berkeadilan.
Berdasarkan pemantauan KontraS, kami mencatat selama periode Juli 2020 – Oktober 2021 terdapat 12 kasus yang tidak dilanjutkan oleh kepolisian. Berdasarkan pemantauan kami kasus-kasus yang tidak dilanjutkan oleh pihak kepolisian tersebar pada level Polsek dan Polres dengan laporan kasus yang beragam seperti kekerasan, gratifikasi pejabat, penganiayaan, kekerasan seksual, dan penembakan oleh aparat. Kami menemukan bahwa alasan berbagai kasus tersebut tidak ditindaklanjuti yakni tidak adanya saksi, kurangnya barang bukti, arahan untuk diselesaikan secara internal dalam menangani kasus, terdapat kendala dalam mengungkap identitas pelaku, dan beberapa alasan perkara lainnya. Sejumlah alasan yang kami temukan lewat pemantauan tersebut juga berbanding lurus dengan beberapa kasus yang kami dampingi dalam beberapa waktu terakhir, yaitu:
Selain kasus-kasus yang ditolak dan tidak ditindaklanjuti oleh Kepolisian dengan berbagai dalih, permasalahan lain yang kerap terjadi yakni penundaan kasus secara berlarut (undue delay). Hal ini disebabkan oleh kultur kepolisian yang seringkali mengabaikan kepentingan pelapor. Selain itu, belum ada pengaturan yang tegas mengenai jangka waktu maksimal perkara harus ditindaklanjuti oleh aparat. Sebenarnya Kepolisian telah memiliki satu pedoman dalam Kode Etik Profesi Polisi[2] untuk tidak mengabaikan pengaduan atau laporan dari masyarakat. Sayangnya, praktik di lapangan justru berlainan, begitu banyak kasus yang sampai saat ini terkesan diabaikan oleh kepolisian. Salah satunya adalah kasus Ravio Patra. Setelah ponselnya diretas dan tuduhan provokasi tidak terbukti, ia melapor kepada Polda Metro Jaya. Akan tetapi sampai saat ini kasusnya terbengkalai tanpa proses lanjutan.[3]
Tagar #PercumaLaporPolisi harus dimaknai sebagai ruang koreksi bagi Kepolisian Republik Indonesia. Pasalnya, sejumlah permasalahan di atas tak kunjung menjawab berbagai macam keresahan dan persoalan publik, bahkan justru melahirkan praktik kesewenang-wenangan baru, seperti langkah reaktif terhadap sejumlah aksi, perburuan terhadap masyarakat, penangkapan secara sewenang-wenang, serta tindakan manipulatif dalam proses penyelidikan/penyidikan.
Selain itu, tagar #PercumaLaporPolisi juga dapat memantik perbaikan di sektor pengawasan, baik pengawas internal maupun eksternal. Kritik publik yang muncul menunjukkan bahwa selama ini tidak ada sistem yang kuat untuk mereformasi tubuh kepolisian dari ranah pengawasan karena terjadi pada sektor teknis pengaduan sebuah perkara. Pengawas internal kepolisian, yakni Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) memiliki kewenangan berdasarkan Kep KAPOLRI Nomor : Kep/54/X/2002 untuk membina dan menyelenggarakan fungsi pertanggungjawaban profesi dan pengamanan internal termasuk penegakan disiplin dan ketertiban di lingkungan POLRI dan pelayanan pengaduan masyarakat tentang adanya penyimpangan tindakan anggota/PNS POLRI. Hal demikian sekaligus menandakan bahwa Propam juga berwenang untuk melakukan pemantauan rutin terhadap kinerja anggota kepolisian sebagai bagian dari evaluasi berkala agar Polri bisa memperbaiki pelayanannya.
Sementara itu, lembaga pengawasan eksternal kepolisian seperti Kompolnas seperti macan ompong sebab fungsi pengawasannya tidak berjalan dengan maksimal dan efektif. Padahal Pasal 3 Perpres No. 17 Tahun 2011 telah menyebutkan bahwa fungsi Kompolnas adalah melaksanakan fungsi pengawasan fungsional terhadap kinerja Polri untuk menjamin kemandirian dan Profesionalisme Polri. Begitupun DPR RI selaku lembaga yang memiliki fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah selama ini juga terkesan melakukan pembiaran terhadap praktik pelanggaran yang dilakukan oleh Polri. Lemahnya pengawasan yang ada tentu akan memunculkan keberulangan peristiwa sebagaimana terjadi pada konteks kasus Luwu dan kasus-kasus kekerasan lainnya.
Atas tagar #PercumaLaporPolisi, sudah semestinya kepolisian dan pemerintah memaknainya sebagai bagian dari mereformasi Korps Bhayangkara, bukan sebagai serangan terhadap sebuah institusi. Kritikan yang ada selama ini harus menjadi bahan evaluasi secara mendalam dan serius. Hal ini juga sesuai dengan semangat perbaikan institusi sebagaimana menjadi misi Kapolri yakni Presisi. Institusi Kepolisian tak boleh resisten terhadap kritik atau bahkan justru menuding balik orang yang mengkritik sebagai sebuah penyerangan. Dengan begitu, kepolisian bisa memperbaiki pelayanan dan pengayoman yang selama ini masih menjadi masalah bagi publik.
Berdasarkan hal tersebut di atas, KontraS merekomendasikan sejumlah hal ke beberapa pihak, antara lain sebagai berikut:
Pertama, Presiden untuk secara serius mengevaluasi institusi Kepolisian dengan menginstruksikan Kapolri melakukan perbaikan secara menyeluruh terhadap tugas-tugas Kepolisian saat ini. Langkah peneguran terhadap Kapolri beberapa waktu lalu tentu tidak cukup. Butuh langkah yang nyata untuk menghilangkan kultur kekerasan dan sewenang-wenang kepolisian dalam rangka reformasi institusi Kepolisian.
Kedua, Kapolri untuk menindak tegas anggotanya yang melakukan pelanggaran seperti enggan menyelesaikan laporan masyarakat. Selain itu, Kapolri juga harus memperketat mekanisme pengawasan internal dengan meningkatkan efektivitas fungsi Propam. Setiap pelanggaran harus diselesaikan secara akuntabel dan berkeadilan, baik lewat sanksi etik, disiplin ataupun pidana.
Ketiga, Komisi III dpr ri untuk segera melakukan pengawasan eksternal dan evaluasi terkait kinerja aparat Kepolisian. Komisi III dapat memanggil Kapolri untuk melakukan RDP kemudian menanyakan secara serius kinerja Kapolri beserta bawahannya, khususnya berkaitan dengan kasus-kasus mandek dan kental dengan kekerasan.
Keempat, lembaga pengawas eksternal seperti Ombudsman, Komnas HAM, dan Kompolnas dapat secara aktif dan meningkatkan kinerja pengawasannya terhadap institusi Kepolisian sesuai dengan porsi lembaga masing-masing.
Jakarta, 10 Oktober 2021
Badan Pekerja KontraS
Rivanlee Anandar
Wakil Koordinator KontraS
[1] Selengkapnya: https://projectmultatuli.org/kasus-pencabulan-anak-di-luwu-timur-polisi-membela-pemerkosa-dan-menghentikan-penyelidikan/
[2] “Setiap Anggota Polri dilarang: menolak atau mengabaikan permintaan pertolongan, bantuan, atau laporan dan pengaduan dari masyarakat yang menjadi lingkup tugas, fungsi dan kewenangannya.” Pasal 15 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
[3] https://kontras.org/2020/04/28/usut-tuntas-kasus-peretasan-ravio-laporkan-kasus-peretasan-ke-polda-metro-jaya/