Penyiksaan di Lapas Kembali Berulang, Segera Reformasi Sistem dan Tata Kelola Pemasyarakatan

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mengecam keras tindakan penyiksaan dan kekerasan yang dilakukan oleh sipir kepada warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Narkotika Kelas IIA Yogyakarta, Pakem, Sleman. Sebanyak sepuluh eks narapidana yang pernah mendekam di Lapas tersebut mengaku mendapatkan kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya. Berdasarkan pengakuan para korban, penyiksaan dimulai sejak April 2021.[1] Adapun beberapa tindakan penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi yang dilakukan kepada korban seperti: dipukul dengan potongan kayu, selang berisi cor-coran semen, torpedo sapi; diinjak dengan kabel; ditelanjangi, disiram, serta berbagai tindakan lainnya.[2] Motif tindakan tersebut pun tidak jelas, hukuman hanya didasarkan pada subjektivitas petugas Lapas.

Dalam kurun waktu 6 bulan terakhir saja, kami mencatat setidaknya telah terjadi 5 kasus penyiksaan yang dilakukan oleh sipir penjara. Lapas memang menjadi tempat yang sangat rawan atas praktik penyiksaan, sebab ada kendali penuh dan relasi kuasa antara petugas dengan narapidana. Petugas yang memiliki otoritas yang sangat besar berpotensi melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Ditambah, pengawasan yang dilakukan juga sangat minim terhadap proses pembinaan di Lapas. Kami juga menyoroti tindakan penyiksaan telah dinormalisasi sebagai bentuk penghukuman terhadap kesalahan narapidana. Lebih jauh, instrumen hukum positif di Indonesia pun belum mengakomodir secara maksimal pengawasan serta penghukuman terhadap pelaku penyiksaan.

Tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh Sipir tentu melecehkan komitmen the United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UNCAT) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Pengesahan konvensi tersebut seharusnya berjalan lurus dengan perbaikan situasi penyiksaan di Indonesia.

Selain penyiksaan, petugas Lapas juga melakukan pelecehan seksual seperti penelanjangan dan memaksa narapidana untuk masturbasi. Hal ini juga membuktikan bahwa petugas lapas tidak memiliki sensitivitas gender dan perspektif hak asasi manusia. Beriringan dengan hal itu, hukuman yang dijatuhkan sipir juga tidak bersesuaian dengan tindakan yang dilakukan narapidana dan tidak memiliki dasar atau ukuran yang jelas.

Lebih lanjut, masalah kekerasan di Lapas yang terus berulang merupakan konsekuensi dari tidak adanya perbaikan menyeluruh dan struktural pada sistem pemasyarakatan Indonesia. Pemerintah tidak kujung berupaya untuk menyelenggarakan sistem pemasyarakatan kita menjadi lebih transparan dan akuntabel. Terlebih, setelah peristiwa kebakaran di Lapas Tangerang pada 8 September 2021 lalu, kami pun tak melihat ada perbaikan serius serta signifikan yang dilakukan oleh Negara dalam hal ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham. Padahal peristiwa kebakaran yang memakan 41 korban tewas tersebut seharusnya sudah cukup untuk Kemenkumham melakukan pembenahan secara serius.

Kami juga menilai bahwa permasalahan penyiksaan dan kekerasan dalam Lapas merupakan akibat tidak layaknya situasi lapas, karena masalah Overcrowding. Reformasi kebijakan dalam sistem peradilan pidana harus segera dilakukan, khususnya dalam konteks kejahatan narkotika. Sebab, politik hukum kebijakan pidana masih sangat punitif, yang mana masih menganut paradigma dan semangat untuk memenjarakan sebagai jalan satu-satunya dalam menghukum. Selain itu, penuhnya lapas juga disebabkan oleh overkriminalisasi yang dilakukan oleh aparat negara. Banyaknya narapidana di penjara tentu akan berimplikasi pada munculnya permasalahan-permasalahan baru dalam lapas.

Berdasarkan uraian di atas, kami mendesak beberapa pihak untuk segera:

Pertama, Polri dalam hal ini Polda Yogjakarta untuk mengusut tuntas kejadian penyiksaan yang terjadi kepada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Yogyakarta, Pakem, Sleman;

Kedua, LPSK untuk memulihkan hak-hak korban penyiksaan yang terjadi di dalam lapas;

Ketiga, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham untuk mengevaluasi secara menyeluruh sistem dan tata kelola pemasyarakatan dengan melibatkan organ pengawas eksternal guna menciptakan tata kelola lapas menjadi lebih akuntabel. Selain itu, Dirjenpas juga harus merumuskan strategi khusus untuk mengurangi kekerasan yang terjadi di Lapas dan memperhatikan kondisi kelayakan dalam Lapas;

Keempat, Koalisi untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) yang terdiri dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman RI, KPAI dan LPSK untuk secara aktif mengawasi praktik pemasyarakatan dalam lapas guna mempersempit ruang-ruang penyiksaan.

Kelima, pemerintah dan DPR untuk segera meratifikasi OPCAT sebagai legitimasi NPM untuk mengujungi secara regular tempat-tempat dimana seseorang dirampas kebebasannya dan besar potensinya terjadi praktik penyiksaan.

 

Jakarta, 2 November 2021
Badan Pekerja KontraS,

 

 

Rivanlee Anandar
Wakil Koordinator

[1] https://regional.kompas.com/read/2021/11/01/184044378/disiksa-petugas-lapas-narkotika-yogyakarta-mantan-napi-melapor-ke-ombudsman?page=all

[2] https://www.viva.co.id/berita/nasional/1419246-eks-napi-lapas-narkotika-yogyakarta-ungkap-penyiksaan-di-dalam-lapas?page=2&utm_medium=page-2