Darurat Implementasi Perpres 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri di Aceh

Seruan Masyarakat Sipil untuk Menyelamatkan Pengungsi Rohingya di Perairan Aceh

(Jakarta, 29/12) Pada 26 Desember 2021 ditemukan sekitar 120 pengungsi Rohingya di atas kapal terombang-ambing di lautan daerah Aceh. Hingga saat ini, mereka masih berada di lautan. Berdasarkan kejadian tersebut, kami Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah Indonesia untuk:

  1. Menerapkan pemenuhan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dalam merespon pengungsi dengan salah satunya tidak menolak atau mendorong kembali para pengungsi tersebut kembali ke laut karena akan mengingkari tanggung jawab dalam penghormatan prinsip non- refoulement dan respon kemanusiaan;
  2. Mendorong Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan untuk segera mengambil sikap dan mengkoordinasikan kebijakan penyelamatan pengungsi dari luar negeri dengan berbagai instansi pusat dan daerah sesuai Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri;
  3. Mengimplementasikan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri untuk membawa pengungsi Rohingya ke penampungan. Hal ini mengingat kondisi perempuan dan anak-anak di kapal tersebut s;
  4. Mengkoordinasikan dan menyediakan ruang kolaborasi bagi penanganan pengungsi bersama dengan organisasi internasional, organisasi masyarakat sipil, dan warga lokal terkait kebutuhan dasar yang mendesak termasuk makanan, kesehatan, pemulihan aspek psikologis, dan perlindungan utamanya bagi kelompok rentan termasuk perempuan dan anak-anak. Dokumen dan praktek bersama dalam pengalaman lalu di Lhokseumawe dapat dijadikan referensi;
  5. Menetapkan dan memfasilitasi lokasi penampungan sementara yang ditentukan Pemerintah Daerah dalam kondisi darurat. Hal ini, salah satunya, dapat dilakukan dengan pemanfaatan fasilitas penampungan yang sudah tersedia serta memadai di BLK Lhokseumawe;.
  6. Melanjutkan koordinasi penerapan protokol kesehatan dan penyediaan perlengkapan kesehatan untuk perlindungan dari Covid-19 demi keselamatan para pengungsi dan warga lokal serta jika diperlukan memfasilitasi penyembuhan apabila terdapat pengungsi dengan hasil tes yang tidak diinginkan;.
  7. Mengapresiasi nilai adat lokal dan inisiatif baik warga Aceh yang secara nyata memberikan respon kemanusiaan bagi mereka yang rentan dan lemah.

Latar Belakang

Sejak ditemukan dua hari yang lalu pada tanggal 26 Desember 2021, pengungsi yang diduga asal Rohingya masih terperangkap di kapal yang rusak dan bocor. Mereka masih terombang ambing di perairan Bireuen, Provinsi Aceh. Pengungsi yang berjumlah lebih kurang 120 orang tersebut terdiri dari 11 orang laki-laki dan selebihnya adalah perempuan dan anak-anak. Tak sedikit elemen masyarakat sipil dan warga lokal yang memberikan pernyataan publik dan seruan untuk menolong mereka.

Sayangnya instruksi pendaratan dalam kondisi darurat tak kunjung diberikan meskipun Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri (“Perpres 125/2016”) secara jelas telah memandatkan demikian dalam Pasal 9. “Pengungsi yang ditemukan dalam keadaan darurat segera dilakukan tindakan berupa: a. memindahkan Pengungsi ke kapal penolong jika kapal akan tenggelam; b. membawa ke pelabuhan atau daratan terdekat jika aspek keselamatan nyawa Pengungsi dalam keadaan terancam” dan seterusnya.

Lebih parah dari itu, Anggota TNI Angkatan Laut melalui media internasional Reuters1 menyebutkan bahwa “Orang-orang Rohingya bukanlah warga negara Indonesia, dimana kita tidak bisa membawa mereka meskipun mereka adalah pengungsi dari luar negeri. Hal ini sesuai dengan kebijakan pemerintah.” Lebih lanjut disebutkan bahwa otoritas akan menyediakan bantuan kemanusiaan untuk kapal yang rusak tersebut termasuk makanan, obat-obatan dan air sebelum didorong keluar dari Indonesia.

Pernyataan ini tentu saja sangat berbeda dengan Perpres 125/2016 yang dengan tegas memandatkan untuk penyelamatan, apalagi ketika pengungsi tersebut sudah berada di perairan Indonesia dan dalam kondisi darurat. Dari berita yang sama diketahui bahwa pengungsi sudah berada di laut setidaknya selama 28 hari dimana sudah ada yang meninggal dan sakit. Mendorong mereka kembali ke laut, adalah tindakan yang tidak sesuai norma internasional termasuk UNCLOS dan ketentuan hak asasi manusia. Mendorong pengungsi kembali ke laut hanyalah menambah daftar hitam pengabaian kita sebagai umat manusia untuk membiarkan pengungsi terkatung-katung dan meninggal di laut. Apalagi kapal dapat karam dan cuaca yang

1 https://www.reuters.com/world/asia-pacific/indonesia-says-will-turn-away-stricken-boat-rohingya-refugees-2021-12-28/

semakin buruk. Tentunya pernyataan demikian dapat memberikan dampak buruk bagi citra Indonesia sebagai Anggota Dewan HAM PBB dan martabat bangsa di level internasional.

Selain alasan kewarganegaraan yang disampaikan anggota TNI AL, pemerintah Kabupaten Bireuen juga tidak siap menerima para pengungsi akibat takut penyebaran virus COVID-19. Contoh pendaratan sebelumnya menunjukan bahwa kolaborasi pemerintah daerah dan lembaga- lembaga kemanusiaan dapat mengatasi hal tersebut dengan serangkaian proses pemeriksaan dan penerapan protokol kesehatan.

Ketidakjelasan pernyataan dan kebijakan ini diakibatkan tidak diimplementasikan Perpres 125/2016 dengan baik. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan yang memiliki mandat utama dalam pengkoordinasian justru belum tampak hadir. Hal ini mengakibatkan instansi-instansi lain seakan membuat pernyataan dan kebijakan masing-masing.

Terkenal dengan nilai adat-adat lokal mengenai solidaritas dan penyelamatan, kali ini para nelayan Aceh pun semakin takut dalam menyelamatkan pengungsi. Kejadian terakhir yang mempidanakan nelayan membuat nilai-nilai adat Aceh yang sudah turun temurun seakan hilang akibat ketidakjelasan regulasi dan kebijakan. Meski demikian, Panglima Laot, nelayan setempat dan beberapa lembaga swadaya masyarakat lokal telah mengantarkan makanan dan minuman ke kapal para pengungsi. Hal ini tidaklah cukup. Dalam kondisi sekarang, respon untuk mendaratkan para pengungsi harus menjadi prioritas utama, seperti yang diamanatkan oleh Perpres 125/2016.

Etnis Rohingya merupakan orang tanpa kewarganegaraan yang merupakan kelompok rentan yang patut diberikan perlindungan. Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai HAM, dan bahkan menjadi Anggota Dewan HAM PBB saat ini, sudah sepatutnya menjadi contoh bagi negara lain dengan tidak mendorong pengungsi kembali ke laut. Tidak sepantasnya ditengah kondisi pengungsi yang memprihatinkan, pemerintah Indonesia menyatakan akan membantu memperbaiki kapal dan “mendorong” mereka kembali ke lautan lepas. Hal itu sangat tidak berperikemanusiaan dan melanggar prinsip ‘non-refoulement’ yang juga diatur dalam Pasal 3 Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi Indonesia dan merupakan hukum kebiasaan internasional.

Tahun 2020, terdapat setidaknya 2,413 orang Rohingya yang berlayar demi mendapatkan perlindungan. 218 diantaranya meninggal dunia. Jumlah ini delapan kali lipat dari tahun 2019. Seperti kondisi saat ini di Aceh, sejak tahun 2020, semakin banyak perempuan dan anak-anak

yang berlayar dalam bahaya. Perhatian khusus juga diberikan kepada perempuan dan anak- anak.

Penanganan pengungsi adalah penanganan kolaboratif. Warga Aceh yang merupakan bagian dari koalisi masyarakat sipil telah memiliki beragam pengalaman dalam penyelamatan. Pembelajaran dan praktik baik ini menjadi modal bagi penyelamatan pengungsi saat ini, apalagi di Lhokseumawe telah terdapat tempat penampungan yang dapat dimanfaatkan dengan mekanisme bantuan kemanusiaan.

Narahubung:
Atika Yuanita P. (SUAKA) – 081383399078
Gading Gumilang Putra (JRS Indonesia) – 08111116772 Aulia Rayyan (KontraS) – 08998443242
Hendra Lawhan (KontraS Aceh) – 08113362235
Mayang Krisnawardhani (Sandya Institute) – 085774336360 Reza Maulana (Yayasan Geutanyoe) – 085260279292 Rama Adi Wibowo (Dompet Dhuafa) – 08111916478