Pidana Mati Belum Tentu Menyelesaikan Masalah!

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mendukung penuh penjatuhan pidana seberat-beratnya terhadap kasus kejahatan seksual yang dilakukan oleh Herry Wirawan, seorang pemerkosa 13 Santriwati di Bandung. Kami sepakat bahwa perbuatan keji berupa pemerkosaan tidak boleh ditolerir dalam bentuk apapun. Pada 11 Januari 2022, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut hukuman mati beserta hukuman tambahan berupa kebiri kimia. Kami menilai bahwa penjatuhan hukuman ini belum tentu menyelesaikan problematika kekerasan seksual dan membuat jera para pelaku.

Penjatuhan hukuman mati tentu melanggar ketentuan Pasal 28 I UUD 1945 yang menyebutkan bahwa hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun  (non derogable rights). Hukuman mati juga bertentangan dengan Konvensi Hak Sipil dan Politik (ICCPR) sebagaimana diatur dalam Pasal 6. Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia.

Selain tidak manusiawi, tak ada satupun bukti ilmiah yang dapat membuktikan bahwa pidana mati dapat memberikan efek jera (deterrent effect) dan menurunkan angka kejahatan. Saat ini, sudah 70% negara di dunia yang menghapus hukuman mati dalam hukum mereka atau melakukan moratorium (tidak melaksanakannya).[1] Artinya, sudah banyak negara yang menggeser paradigma pemidanaan yang awalnya sangat punitif. Dalam kasus kekerasan seksual, kami juga mendorong agar fokus utama dari penyelesaian masalah ini yakni pemulihan korban. Lebih jauh, harus dibentuk suatu sistem yang menciptakan ruang aman bagi kelompok rentan kekerasan seksual, utamanya bagi perempuan.

Metode penghukuman mati pun sering kali merupakan perlakuan yang tidak manusiawi, menempatkan manusia pada posisi yang tidak memiliki pilihan lain; selain untuk dihukum mati oleh negara. Pemancungan, kursi listrik, hukum gantung, suntik mati, atau penghukuman mati dengan regu tembak seperti yang diberlakukan di Indonesia tidak menyelesaikan kejahatan yang ada, dan malah memperpanjang daftar kekerasan di Indonesia.  Penghilangan hak untuk mempertahankan kehidupan inilah yang juga merendahkan martabat, dan tidak mengubah situasi apapun terkait perlindungan perempuan di Indonesia, terlebih jika tidak ada pemberlakuan regulasi yang lebih komprehensif.

Kami juga menyayangkan ucapan-ucapan provokatif yang dilakukan beberapa pihak, seperti salah satu anggota DPR RI yang menyatakan ‘kalau perlu tembak saja kepalanya’.[2] Ucapan tersebut seakan mempolitisasi dan mengambil keuntungan elektoral dari penjatuhan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan seksual. Seharusnya DPR RI mencari atau merumuskan pendekatan alternatives to death penalty, agar tak ada lagi nyawa manusia yang harus dirampas akibat dari sistem peradilan pidana.

Adapun tindakan yang dilakukan oleh Anggota Dewan seharusnya berbentuk edukasi kepada publik secara luas mengenai bahaya kekerasan seksual. Selain itu, sebagai lembaga pengawas, DPR juga seharusnya mendorong pemerintah untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan khususnya di tempat rawan kejahatan. Ketimbang bertindak populis dan memprovokasi masyarakat, DPR dapat bertindak lebih konkret dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang selanjutnya akan menjadi payung hukum perlindungan bagi  bagi para korban kekerasan seksual.

 

Jakarta, 16 Januari 2022
Badan Pekerja KontraS,

 

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator

 

Narahubung: Auliya Rayyan (+628998443242)

[1] Topo Santoso, Menyoal Hukuman Mati, https://law.ui.ac.id/v3/topo-santoso-media-indonesia-menyoal-hukuman-mati/ diakses 15 Januari 2022.

[2] Lihat ​​https://www.liputan6.com/news/read/4859020/headline-tuntutan-hukuman-mati-dan-kebiri-kimia-herry-wirawan-timbulkan-efek-jera