Tuntutan Jaksa membelakangi Fakta Persidangan, mengangkangi Hukum serta melecehkan Peradilan

Tim Advokasi Anti Penyiksaan mengecam keras tuntutan Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi dalam persidangan perkara dugaan salah tangkap dan penyiksaan Tambelang di Pengadilan Negeri Cikarang, Kamis (24/3). Dalam tuntutannya, Terdakwa atas nama Abdul Rohman dituntut 2 Tahun 5 Bulan Penjara, sedangkan Terdakwa lainnya atas nama Muhamad Fikry, Randi Apriyanto, dan Muhamad Rizky dituntut 2 tahun penjara. Tuntutan yang dibacakan Penuntut Umum tersebut, justru semakin menunjukkan inkompetensi sekaligus keragu-raguan Penuntut Umum atas segala dalil yang didakwahkannya terhadap Para Terdakwa.

Hal tersebut karena. Pertama, Penuntut Umum secara serampangan menjadikan keterangan Saksi dan Keterangan Terdakwa yang diberikan di luar pengadilan (confessions given outside of the court) berupa berita acara pemeriksaan (BAP) sebagai bagian dari fakta persidangan dalam surat tuntutan. Padahal, berdasarkan Pasal 185 ayat (1) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, Keterangan Saksi dan Keterangan Terdakwa adalah apa yang ia nyatakan di muka persidangan.

Kedua, Penuntut Umum dalam Tuntutannya secara keliru menyatakan bahwa saksi penangkap dan saksi verbalisant yang juga merupakan anggota Polsek Tambelang telah memberikan keterangan di persidangan sesuai dengan perluasan makna saksi sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010. Padahal perluasan makna saksi dalam Putusan tersebut merujuk pada saksi a de charge yang dihadirkan oleh Tersangka/Terdakwa dalam Pasal 65 KUHAP.

Ketiga, Penuntut Umum membantah keterangan saksi alibi yang memberikan keterangan bahwa Para Terdakwa sedang berada di tempat lain saat tindak pidana yang didakwakan terjadi. Bantahan penuntut umum hanya sekadar menyatakan bahwa saksi alibi memiliki kedekatan personal dengan Para Terdakwa. Padahal saksi alibi yang dihadirkan telah disumpah dan didengar keterangannya di muka persidangan sehingga memiliki kekuatan pembuktian sebagai alat bukti keterangan saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Keempat, Dalam tuntutannya, Penuntut Umum menyatakan bahwa pembuktian dalam persidangan telah memenuhi asas minimum pembuktian, yakni didasarkan pada 2 alat bukti yang sah. Nyatanya, dalam persidangan Penuntut Umum hanya mampu menghadirkan 1 orang saksi yang secara sepihak diklaim sebagai orang yang melihat, mendengar, dan mengalami tindak pidana. Sisanya, merupakan saksi-saksi yang sama sekali tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP.

Atas hal-hal tersebut di atas, kami mendesak:

  1. Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menyatakan surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi batal demi hukum;
  2. Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini membebaskan Para Terdakwa dari segala dakwaan dan memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya seperti semula;
  3. Jaksa Agung memerintahkan Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi mengawasi, mengevaluasi, dan menjatuhkan sanksi atas kinerja Jaksa Penuntut Umum yang bertugas pada perkara ini; dan
  4. Jaksa Agung memberikan pendidikan lebih lanjut kepada Jaksa Penuntut Umum yang bertugas pada perkara ini agar memiliki kemahiran yang cukup dalam melakukan penuntutan tindak pidana. Sehingga kedepannya tidak terjadi kesesatan dalam proses penuntutan (malicious prosecution).

 

Narahubung:

Teo Reffelsen (LBH Jakarta)
Andi Muhammad Rezaldy (KontraS)