24 Tahun Tragedi Trisakti: Isu HAM Kembali Jadi Jualan Tahun Politik?

Jelang peringatan ke-24 tahun Tragedi Trisakti dan dua tahun menuju Pemilu 2024, Menteri BUMN Erick Thohir menugaskan PT Bank Tabungan Negara (BTN) untuk memberikan satu rumah kepada  keempat keluarga korban Tragedi Trisakti. Selain itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bersama Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita memberikan uang sebesar Rp 750 juta kepada masing-masing keluarga korban dalam kegiatan yang berlangsung di Universitas Trisakti pada 26 April 2022.

Memberi perhatian dan kepedulian kepada korban pelanggaran HAM adalah kebajikan yang dapat dilakukan oleh setiap manusia, pada tingkat personal, tanpa perlu memegang jabatan. Pada tingkat pemerintahan, perhatian dan kepedulian terhadap korban pelanggaran HAM menjadi kewajiban hitam di atas putih, berdasarkan Konstitusi UUD 1945, UU 39/1999, UU 26/2000, UU 31/2014 dan peraturan perundang-undangan relevan lainnya. Sebagai pejabat publik, merumuskan kebijakan yang tepat dengan partisipasi aktif korban dalam perumusannya dapat memaksimalkan penggunaan APBN serta SDM Kementerian/Lembaga bagi pemulihan yang menyeluruh, menghormati martabat korban dengan memberi pengakuan serta pertanggungjawaban negara atas pelanggaran HAM yang telah terjadi, dan dapat menggapai seluruh korban pelanggaran HAM. Kebijakan berdasarkan hukum demikian juga penting untuk menjamin kebersambungan pemulihan bagi korban, tanpa mudah diganggu kepentingan politik yang berbeda antar pejabat publik dari satu periode ke periode berikutnya.

Faktanya, penuntasan pelanggaran HAM berat secara berkeadilan dan bermartabat adalah hutang janji yang belum ditepati oleh Pemerintahan Joko Widodo sejak 2014. Negara masih berhutang dan berkewajiban untuk mengungkapkan kebenaran, menggelar pengadilan untuk menegakkan keadilan dan juga menghukum pelaku, memulihkan kondisi korban-korban pelanggaran HAM, hingga menjamin ketidak berulangan pelanggaran HAM berat yang juga menjadi hak seluruh warga negara. Tindak lanjut akan laporan penyelidikan oleh Komnas HAM serta penggunaan wewenang Presiden untuk menyelenggarakan Pengadilan HAM Tragedi Trisakti dan pelanggaran HAM berat lainnya masih terus dituntut oleh publik di Indonesia.

Kondisi sosial ekonomi sebagai salah satu sisi yang terdampak dari adanya pelanggaran HAM berat memang wajib menjadi tanggung jawab Negara. Pemulihan aspek sosial ekonomi bersamaan dengan aspek medis dan psikologi sudah diatur secara jelas dalam UU 31/2014 yang berkelindan dengan penyelenggaraan Pengadilan HAM sesuai UU 26/2000. Memilah secara serampangan kebijakan dan sasaran penuntasan pelanggaran HAM berat hanya akan menghadirkan diskriminasi dan mengkerdilkan peraturan yang telah mengatur tentang pemenuhan hak korban. Sebagai konsekuensi,  cara tersebut  tidak menyelesaikan inti permasalahan karena hanya melanggengkan impunitas.

Pemilihan kebijakan hanya di ranah sosial ekonomi dan hanya ke sejumlah pihak hanya mengulang apa yang dilakukan tim-tim rekonsiliasi pemerintah selama ini dan terbukti bukan pilihan yang tepat. Pemberian sejumlah aset terhadap korban tanpa kebijakan berdasar hukum masih terekam dengan jelas dalam sejumlah momen. Di momen Pengadilan HAM atas Peristiwa Tanjung Priok medio 2003 – 2006, terdapat intervensi berupa pemberian materi dari pelaku terhadap sejumlah saksi dan korban untuk mengubah keterangannya di Pengadilan sehingga memecah belah posisi para korban. Untuk korban Peristiwa Talangsari, pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan dan sarana perairan di tahun 2019 dianggap sebagai bentuk pemulihan dan penuntasan pelanggaran HAM berat. Kegiatan yang berbarengan dengan “islah” versi Tim Terpadu yang diinisiasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan ini kemudian telah dinyatakan sebagai bentuk maladministrasi oleh Ombudsman Republik Indonesia.

Perubahan keterangan para korban Peristiwa Tanjung Priok terbukti jadi salah satu kelemahan di balik tidak adanya satu pun pelaku yang diputus bersalah oleh pengadilan. Buruknya kualitas Pengadilan HAM Peristiwa Tanjung Priok juga menyebabkan akses pemulihan korban secara menyeluruh yang berbasis putusan pengadilan menjadi terputus. Manuver Tim Terpadu Kemenkopolhukam yang maladministratif juga dianggap menjadi satu contoh terobosan oleh Negara dan kemudian sempat coba direplikasi Pemerintah di sejumlah titik dan turut menjadi cikal bakal regulasi yang problematik seperti Rencana Peraturan Presiden Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat Melalui Mekanisme Non-Yudisial (UKP-PPHB). Ketidaksesuaian langkah Negara dengan ketentuan hukum serta suara korban pelanggaran HAM berat menjadi pola yang terus ditempuh dan tak kunjung diubah. 

Kondisi ini menyebabkan keadilan dan pemulihan menyeluruh belum didapatkan korban. Kebenaran dari peristiwa juga belum diungkap dan disebarluaskan kepada publik. Kondisi paling parah ialah bahwa masih belum ada perubahan berarti di tubuh institusi pelaku pelanggaran HAM berat yakni TNI dan POLRI yang membuat potensi keberulangan menjadi tinggi. Dalam konteks Tragedi Trisakti, cara Negara yang direpresentasikan Kepolisian dalam menangani aksi massa masih represif dan menghadirkan korban di sejumlah peristiwa.

Keterlibatan Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Perindustrian dan Kementerian BUMN dalam aktivitas ini juga patut diperiksa perihal kesesuaian nomenklatur serta tugas pokok dan fungsi kementerian lembaga terkait penuntasan pelanggaran HAM berat. Asal-usul kebijakan dan anggaran dari aktivitas ini juga menjadi aspek yang patut untuk dibuat transparan. Landasan hukum, latar belakang serta motif di balik aktivitas ini juga harus dibuat terang mengingat aktivitas Airlangga Hartarto dan Erick Thohir dalam pusaran politik praktis. Gelagat pencitraan dua orang yang mencoba masuk dalam bursa elektoral di 2024 ini dapat terlihat dalam nada sejumlah pemberitaan yang muncul akibat adanya aktivitas ini.

“Menggunakan isu dan korban pelanggaran HAM berat demi mendulang konstituen menjelang tahun politik sudah berulang kali masyarakat Indonesia saksikan bersama. Kami berharap tidak hanya janji manis dan pengaburan kebenaran yang kembali diterima keluarga korban,” ucap Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar.

Dengan berbagai fakta dan pertimbangan di atas, KontraS mendesak:

  1. Presiden Jokowi memenuhi janji dan melaksanakan tanggung jawab untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat di Indonesia sesuai ketentuan hukum yang berlaku di level nasional dan internasional.
  2. Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian BUMN mempublikasikan informasi detail mengenai kebijakan pemberian uang dan rumah terhadap keluarga korban Tragedi Trisakti.

 

Jakarta, 12 Mei 2022
Badan Pekerja KontraS

 

Rivanlee Anandar
Wakil Koordinator Bidang Eksternal