Pekan Penghilangan Paksa Internasional 2022: 13 Aktivis Masih Hilang, 13 Tahun Rekomendasi DPR Diabaikan

Frasa “penghilangan paksa” membawa ingatan kita kepada  sejumlah peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang era kepemimpinan Soeharto. Penghilangan paksa tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di Negara dengan kepemimpinan otoriter. Kepemimpinan otoriter melihat penghilangan paksa sebagai metode sistemik untuk meneror dan mengintimidasi rakyat agar mereka tidak melawan dan membahayakan Pemerintahan yang berkuasa. 

Seiring dengan penuntutan kepada Negara terhadap mereka yang hilang, gerakan “Mothers of the Plaza de Mayo” pun tumbuh sebagai upaya mendesak Negara (Argentina) untuk menyelesaikan kejahatan penghilangan paksa. Aksi tersebut berhasil memicu kelompok regional maupun internasional untuk melawan praktik-praktik penghilangan paksa.

Gerakan tersebut kemudian mendorong lahirnya Konvensi Internasional Bagi Perlindungan Semua Orang Dari Penghilangan Paksa (Konvensi Anti-Penghilangan Paksa) yang kemudian disahkan pada 20 Desember 2006 oleh Majelis Umum PBB, juga Pekan Penghilangan Paksa yang diperingati seluruh dunia setiap pekan terakhir pada bulan Mei.

Indonesia kemudian turut menandatangani Konvensi ini pada 27 September 2010. Namun, proses yang berlangsung kerap kali tidak berjalan mulus. Setelah 12 tahun penandatanganan, dokumen internasional ini pun belum diratifikasi. Padahal, ratifikasi ini merupakan upaya untuk mengisi kekosongan hukum kejahatan penghilangan paksa di Indonesia, karena Indonesia tidak memiliki hukum yang mengatur penghilangan paksa diluar pola sistematis atau meluas, dan juga tidak tidak mengatur excess yang ditimbulkan kejahatan ini seperti status kependudukan, hak anak yang dihilangkan paksa, hak korban atas investigasi dsb sehingga penghilangan paksa masih sangat rentan kembali terjadi di Indonesia.

Proses yang lama untuk meratifikasi dokumen tersebut melahirkan konsekuensi peristiwa serupa yang terjadi di rentang tahun penandatanganan hingga saat ini, tidak dianggap sebagai penghilangan paksa meski unsurnya sudah terpenuhi. Di sisi lain, kemunculan langkah kontraproduktif, seperti mengangkat penjahat HAM mulai dari tingkat Pangdam hingga Menteri, memperparah situasi untuk menghapuskan impunitas. 

Kami juga mendapatkan informasi bahwa pada 27 April 2022 RUU Ratifikasi telah masuk ke Komisi I DPR menunggu dibahas. Ini bukan kali pertama, sebelumnya pada 2013 RUU ratifikasi ini juga pernah masuk ke Komisi I DPR namun ditolak pembahasannya dengan alasan memerlukan waktu pendalaman. Kami menaruh harapan kepada DPR agar hal tersebut tidak kembali terulang dan DPR konkret menunjukkan komitmennya.

Dalam momentum Pekan Penghilangan Paksa ini, KontraS bersama dengan korban dan keluarga korban mendesak sejumlah pihak untuk:

  1. Komisi I DPR segera membahas dan meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa bersama Pemerintah eksekutif;
  2. Presiden Jokowi segera membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus penghilangan paksa 1997/1998;
  3. Jaksa Agung ST Burhanuddin segera menindaklanjuti kasus penghilangan paksa 1997/1998 ke tingkat penyidikan dan penuntutan;
  4. Presiden Jokowi segera membentuk Komisi untuk Orang Hilang dan memerintahkan pencarian atas 13 aktivis yang masih hilang.

 

Jakarta, 23 Mei 2022
Badan Pekerja KontraS,

 

Rivanlee Anandar
Wakil Koordinator Eksternal