Penembakan dan Penggunaan Kekuatan Berlebihan Terhadap Massa Aksi Tolak DOB di Yahukimo, Harus Diusut Secara Tuntas dan Transparan!

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam seluruh rangkaian tindakan kepolisian yang bertentangan dengan hukum dan hak asasi manusia (HAM) saat menangani massa aksi warga Papua yang menolak kebijakan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Yahukimo pada 15 Maret 2022 lalu. Diketahui, akibat dari penanganan massa aksi tersebut terdapat korban jiwa dan luka-luka.

Berdasarkan informasi yang kami terima, tragedi tersebut dimulai ketika sejumlah warga Papua tengah melakukan aksi di Distrik Dekai, Kabupaten Yahukimo yang menolak kebijakan Daerah Otonomi Baru (DOB). Aksi tersebut berjalan dengan damai sampai salah satu anggota kepolisian mencoba untuk masuk barisan aksi massa, dan merobek poster-poster ekspresi warga Papua sehingga menyulut terjadinya kerusuhan.

Dalam pembubaran aksi yang diwarnai dengan kekerasan tersebut, telah mengakibatkan jatuhnya 2 (dua) korban jiwa yaitu Alm. Esron Weipsa dan Alm. Yakon Meklok yang diduga karena penggunaan peluru tajam oleh aparat keamanan tepat pada bagian dada korban. Tidak hanya itu, satu (1) orang lainnya bernama Anton Itlay (23) mendapati luka berat sehingga diperlukan tindakan medis berupa amputasi kaki kiri sebab peluru tajam yang singgah, dan empat orang lainnya luka-luka.

Di sisi lain, pasca aksi tersebut berhasil dibubarkan, kami mendapat informasi bahwa satu orang telah ditahan dengan sewenang-wenang (arbitrary detention) atas nama Fetty Kobak, dan beberapa massa aksi melakukan pengungsian untuk melarikan diri dari Yahukimo sebab mendapat ancaman pembunuhan.

Kami sangat menyayangkan keberulangan penanganan massa aksi yang jauh dari prinsip-prinsip hak asasi manusia terhadap masyarakat Papua. Kami berpendapat, melalui peristiwa di atas, aparat kepolisian jelas-jelas telah melecehkan semangat Pasal 5 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Perkap) Nomor 1 tahun 2009 yang pada intinya menyatakan bahwa tujuan penggunaan kekuatan dalam tindak kepolisian ialah untuk mencegah, menghambat, dan menghentikan tindakan yang diduga melakukan perbuatan melawan hukum. Namun dalam hal ini yang terjadi adalah sebaliknya, aparat justru menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk melukai massa aksi.​​

Meskipun di Internal Polri telah diatur dan sudah berlaku Perkap Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian, namun nampaknya mandat tersebut tidak diterapkan dengan sebagaimana mestinya. Besarnya jumlah korban jiwa yang jatuh, luka ringan dan luka berat korban kekerasan dalam penanganan aksi demonstrasi, menunjukkan kepolisian setempat tidak menerapkan prinsip nesesitas dan proporsionalitas. Lebih jauh, kami melihat semakin masifnya pendekatan-pendekatan kekerasan yang diterapkan terhadap orang asli papua sebab aktivitas ekspresinya adalah bukti alpanya penghormatan, pemenuhan, perlindungan HAM bagi orang Papua. Polisi seharusnya menghormati hak asasi orang Papua dalam hal unjuk rasa, berkumpul, dan menyampaikan pendapat di muka umum. Adapun hak mereka selaku warga negara telah dijamin dalam konstitusi untuk dihormati dan dilindungi sebagaimana disebutkan Pasal 28E UUD 1945 dan Pasal 5 UU No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.  Lebih lanjut, demikian dengan instrumen internasional Kovenan Hak Sipil dan Politik serta UU Nomor 39 Tahun 1999 telah menjamin hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi.

Segala bentuk rangkaian tindakan kekerasan hingga mengakibatkan jatuhnya dua korban jiwa Orang Asli Papua serta luka-luka lainnya tentu tidak dapat dibenarkan, sehingga diperlukan penghukuman terhadap oknum aparat kepolisian melalui mekanisme peradilan pidana (criminal justice system) dengan mengedepankan standar dan prinsip hak asasi manusia.

Rangkaian peristiwa kekerasan di atas tidak hanya telah mencederai komitmen Indonesia atas jaminan kebebasan menyatakan pendapat/opini di muka umum, namun hal tersebut juga turut kembali mempertegas kultur kekerasan yang masih mengakar dalam tubuh Polri. Peristiwa pelanggaran HAM semacam ini kembali menambah deretan catatan hitam institusi Polri yang tak kunjung menunjukan tanda-tanda perbaikan. Lemahnya pengawasan, evaluasi dan minimnya penerapan prinsip-prinsip HAM dalam tindakan-tindakan kepolisian harus menjadi agenda perbaikan utama mengingat kejadian-kejadian seperti ini besar potensi akan kembali terjadi di kemudian hari.

Atas dasar tersebut, kami mendesak beberapa pihak untuk:

Pertama, Kapolda Papua untuk evaluasi dan koreksi secara menyeluruh dan terstruktur untuk mencegah adanya korban jiwa yang jatuh kedepannya sebab penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force) dalam penanganan aksi unjuk rasa. Lebih lanjut, Kapolda Papua segera membebaskan seluruh korban penangkapan sewenang-wenang tanpa syarat, melakukan pengusutan pelaku penembakan terhadap massa aksi unjuk rasa, menghukum dengan maksimal anggotanya yang terbukti telah melepaskan peluru tajam kepada peserta aksi melalui mekanisme peradilan umum. 

Kedua, Komnas HAM untuk proaktif melakukan rangkaian penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat kepolisian setempat. Selain itu, Komnas HAM dapat mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi yang memberikan tekanan agar proses hukum terhadap para terduga pelaku penembakan dapat berjalan secara transparan dan akuntabel;

Ketiga, Kompolnas untuk menaruh perhatian terhadap kasus ini dengan melakukan pengawasan serta memastikan pengusutan diselenggarakan secara tuntas dan komprehensif.

Jakarta, 24 Juni 2022

 

Rivanlee Anandar, M. Kesos.
Wakil Koordinator