Pengesahan UU DOB: Pemaksaan Kepentingan Jakarta di Papua

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam langkah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bersama pemerintah dalam mengesahkan tiga rancangan undang-undang (RUU) daerah otonomi baru (DOB) Papua, yakni RUU tentang Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Provinsi Papua Pegunungan pada 30 Juni 2022. Pengesahan ini tentu bentuk pemaksaan kehendak pemerintah, sebab proses legislasi UU tersebut tidak melalui prosedural yang sah. Proses ugal-ugalan dan tidak partisipatif terus dilanjitkan oleh DPR bersama Pemerintah di tengah penolakan revisi Otsus serta DOB yang dilakukan dengan masif oleh masyarakat Papua. Hal ini tentu saja akan menambah besar luka Orang Asli Papua (OAP).

Kami melihat bahwa ruang dialog tidak dibuka secara maksimal utamanya terhadap OAP. Terlebih secara formil, pengesahan DOB ini tidak pernah mendapatkan persetujuan dari Majelis Rakyat Papua (MRP).[1] Hal ini bertentangan dengan Pasal 76 UU Otonomi Khusus yang memandatkan bahwa pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi provinsi-provinsi dan kabupaten/kota dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan pada masa yang akan datang.

Proses pemekaran atau pembentukan DOB ini juga seharusnya dibahas secara mandalam sebab akan berimplikasi pada seluruh masyarakat Papua baik dalam tataran administrasi, kewilayahan, kependudukan, kesejahteraan dan kesiapan penyelenggaraan daerah. Terlebih masalah struktural Papua belum juga dapat diselesaikan secara maksimal oleh pemerintah Indonesia. Kami mengkhawatirkan bahwa pemberlakuan DOB ini justru akan menambah masalah di lapangan.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan RI, Mahfus MD menyatakan bahwa lebih dari 80% masyarakat Papua mendukung DOB. Sayangnya, ketika kami meminta data tersebut lewat mekanisme keterbukaan informasi publik, Kemenkopolhukam RI justru menyatakan bahwa tidak memiliki data yang dimaksud. Hal ini jelas mengada-ngada dan manipulative, padahal kebijakan yang sedang diambil sifatnya krusial.

Kami juga mengkhawatirkan bahwa pasca pengesahan DOB ini dilakukan akan memperuncing konflik yang terjadi di Papua antara masyarakat yang menolak dengan aparat keamanan. Sebelumnya, dalam gelombang penolakan masyarakat Papua terhadap DOB disikapi dengan brutal dan represif sehingga menimbulkan banyak korban jiwa. Hal ini lagi-lagi merupakan tindakan diskriminatif terhadap OAP, padahal hak menyampaikan pendapat dan berpartisipasi dalam pemerintahan merupakan hak konstitusional sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.

Langkah ini juga hampir pasti memperkuat cara pandang sekuritisasi di Papua, sebab pemekaran dalam wujud DOB akan dijadikan sebagai legitimasi pengerahan aparat secara besar-besaran menuju Bumi Cenderawasih. Provinsi baru otomatis akan menambah satuan keamanan baik Kepolisian atau kemiliteran. Sebagai contoh, provinsi baru otomatis akan memunculkan Kepolisian Daerah (Polda), Kepolisian Resor (Polres), Kepolisian Sektor (Polsek) Polsek, hinga pos-pos polisi baru di Papua. Hal ini terbukti dari langkah Kepolisian yang ingin menyegerakan pembangunan Polda di tiga provinsi baru tersebut.[2]

KontraS juga mencurigai bahwa pemekaran ada kaitannya dengan kepentingan ekonomi bisnis dan terhambatnya arus investasi di Papua. Selama ini, di berbagai lokasi seperti Kabupaten Intan Jaya disinyalir memiliki kekayaan alam melimpah sehingga sangat menggiurkan untuk dieksploitasi. Sayangnya, jejak pertambangan selama ini kerap kali mendapatkan penolakan dari berbagai pihak termasuk warga setempat,Bupati hingga Gubernur. Pemecahan wilayah tentu saja dapat dijadikan sebagai siasat untuk memperlancar aktivitas pertambangan tersebut.

“Pemberlakuan DOB ini akan sangat berbahaya dan tidak akan menjawab permasalahan struktural di Papua. Selain mekanisme yang dibangun tidak partisipatif, kami khawatir bahwa sekuritisasi akan semakin kental di Papua. Hal ini nantinya akan kembali menaikkan eskalasi kekerasan antara aparat keamanan dengan masyarakat yang menolak DOB. Terlebih, kami meragukan bahwa ini murni untuk kepentingan masyarakat Papua, melainkan ada kaitannya dengan kepentingan ekonomi-bisnis dan investasi.” Ujar Rozy Brilian, Divisi Riset dan Dokumentasi KontraS.

 

Jakarta, 1 Juli 2022
Badan Pekerja KontraS

 

 

Rivanlee Anandar
Wakil Koordinator

 

 

[1] https://mrp.papua.go.id/2022/06/27/mrp-kalau-ada-gesekan-akibat-pengesahan-dob-dpr-ri-harus-bertanggung-jawab/

[2] https://nasional.tempo.co/read/1607396/ruu-dob-papua-disahkan-polri-berencana-bentuk-3-polda-baru