Cegah Berulangnya Penghilangan Orang Secara Paksa, DPR Harus Segera Mengesahkan Konvensi Anti Penghilangan Paksa Melalui Undang-Undang

Payung hitam mengembang sepanjang bulan September. Saking banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di bulan ini, kita menyebutnya dengan #SeptemberHitam. Diawali dengan peringatan wafatnya pembela HAM Munir Said Thalib, peringatan Peristiwa Pelanggaran HAM yang berat Tanjung Priok 1984 pada 12 September, peringatan peristiwa Pelanggaran HAM yang berat Semanggi II, Serangkaian Operasi Militer di Timor Leste, dan peringatan peristiwa pelanggaran HAM berat 1965/1966 di akhir September sampai awal Oktober.

Bulan September juga terjadi pembunuhan pada Salim Kancil, petani Lumajang yang dibunuh karena menolak tambang pasir, ditembaknya Pendeta Yeremia di Hitadipa, Papua, serta peristiwa Reformasi Dikorupsi 24 dan 30 September 2019 di mana masyarakat sipil bersatu dengan mahasiswa dan pelajar yang menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), Revisi UU pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) namun berujung pada penangkapan sewenang-wenang ratusan pelajar dan mahasiswa. Selain itu, pada 17-18 September 2017, kantor LBH Jakarta diserang oleh sekelompok orang yang mengaku sebagai massa anti komunis yang mencurigai kegiatan seni.

September semakin muram saat setahun lalu Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan melayangkan somasi pada Haris Azhar mantan koordinator KontraS dan Fatia Maulidiyanti sebagai koordinator KontraS setelah mereka berbicara tentang keterlibatan petinggi militer di pusaran bisnis tambang Papua. 

Semua peristiwa pelanggaran HAM tersebut memiliki pola yang sama. Diantaranya ada kejahatan penghilangan orang secara paksa, pembunuhan, penyiksaan, pembiaran hukum, penyalahgunaan kekuasaan, dan sebagainya. Pola siklus ini perlu dihentikan agar tidak kembali terjadi di masa depan. Salah satu cara negara dapat mencegah keberulangan sebuah peristiwa pelanggaran HAM adalah dengan segera mengesahkan RUU Pengesahan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Orang Secara Paksa (International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance/ICPPED). Sebagaimana setidaknya 5 dari 10 kasus diatas mengandung kejahatan penghilangan paksa.

Pada 14 September 2022, pukul 10.00 WIB, Komisi I DPR RI telah mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pakar/Akademisi di Gedung Nusantara II termasuk Koordinator KontraS sebagai satu dari empat narasumber terkait pembahasan RUU Pengesahan Konvensi Anti Penghilangan Paksa, memasuki lima bulan setelah Presiden mengirimkan Surat Presiden kepada DPR pada tanggal 27 April 2022. Kini memasuki masa reses pada tanggal 5 Oktober 2022, masih tidak terlihat adanya pembahasan lanjutan di Komisi I mengenai RUU Pengesahan Konvensi ini. Kami berharap ini bukanlah pertanda Komisi I DPR kembali menunda pembahasan hingga habis masa jabatan 2019-2024 seperti nasib yang pernah terjadi pada RUU Pengesahan Konvensi Anti Penghilangan Paksa di tangan Komisi I DPR periode 2009-2014, mengingat 2023 sudah merupakan tahun politik bagi para politisi dan pejabat untuk kembali berebut koalisi dan suara.

Selain itu, penghilangan orang secara paksa merupakan tindak pidana yang kompleks, perbuatannya dapat mencakup beberapa ketentuan tindak pidana yang termuat dalam KUHP sekaligus, seperti penculikan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, pembunuhan, dan lainnya. Akibatnya, upaya untuk menjerat pelaku menggunakan ketentuan pasal-pasal ini secara sendiri-sendiri tidak dapat memenuhi keseluruhan unsur. Secara khusus, KUHP tidak mengatur pemidanaan tentang penghilangan orang secara paksa. Tindakan tersebut baru masuk ke dalam kerangka hukum pidana Indonesia setahun kemudian dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (UU Pengadilan HAM). Undang-undang ini mengkriminalisasi tindakan penghilangan orang secara paksa sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM berat, yakni kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).

Mengingat bahwa ICPPED adalah satu-satunya Konvensi HAM yang belum juga disahkan Indonesia meski Indonesia telah mengesahkan 8 Konvensi HAM lainnya. Rencana pengesahannya telah masuk Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM dua kali, yaitu tahun 2011–2014 yang telah disahkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 23 tahun 2011 dan masuk kembali di RAN HAM tahun 2014-2018 Manusia melalui Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2018, selain itu komitmen Indonesia yang terus diawasi oleh dunia internasional untuk mengesahkan Konvensi tersebut dalam Universal Periodic Review (UPR) 2012, 2017, dan akan memasuki masa UPR berikutnya pada November 2022. Maka Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Komisi I DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa, paling lambat dalam masa sidang berikutnya yang akan dimulai lagi pada 1 November 2022.

Jakarta, 30 September 2022
Badan Pekerja KontraS,

Fatia Maulidiyanti
Koordinator