Bongkar dan Temukan Aktor di Balik Serangan Sistematis Terhadap Jurnalis Narasi

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras praktik serangan digital terhadap sejumlah jurnalis media Narasi sejak 24 September 2022. Serangan yang dilakukan terlihat begitu sistematis dengan menyasar para kru yang bahkan tidak ada kaitannya dengan urusan redaksi.[1] Serangan digital  yang ditujukan pada jurnalis yang sedang menyuarakan kepentingan publik semacam ini tentu bukan kali pertama. Praktik tersebut juga merupakan bentuk pelanggaran serius  kebebasan pers sebagai pilar penting dalam suatu negara demokrasi.

Kami mencurigai bahwa peretasan yang dilakukan secara sistematis terhadap para jurnalis dan kru narasi ada kaitannya dengan topik yang sedang diangkat dalam beberapa waktu belakangan. Salah satunya terkait pemberitaan keterlibatan Badan Intelijen Negara (BIN), Budi Gunawan dan Tito Karnavian dalam perkara korupsi Lukas Enembe.[2] Begitupun saat Najwa Shihab, salah satu founder dari Narasi mengkritik gaya hidup anggota Kepolisian yang tidak sesuai dengan gaji serta tunjangan.[3] Tak berselang lama Najwa pun diserang oleh Sahabat Polisi dan dipaksa untuk minta maaf.[4] Berdasarkan hal tersebut kuat dugaan bahwa serangan sistematis tersebut merupakan serangan balik dari pihak-pihak tertentu yang tidak senang dengan topik yang diangkat oleh jurnalis Narasi.

Dalam kasus peretasan terhadap jurnalis dan kru narasi, upaya pengambilalihan akun menyasar pada akun Whatsapp, Facebook, Telegram, Instagram, bahkan hingga platform komunikasi internal.[5] Dan hingga saat ini, sudah ada 37 jurnalis dan kru narasi yang diretas akun media sosialnya.[6] Jika dilihat dari indikasinya, bentuk serangan yang dilakukan pun sangat canggih seperti halnya kerja-kerja intelijen. Kami menduga bahwa terdapat aktor dan perangkat negara yang ikut terlibat dalam peristiwa peretasan ini. Indikasi tersebut sangat berdasar, sebab tindakan peretasan seakan-akan didiamkan oleh aparat kepolisian. Terbukti, sampai hari ini tidak ada satupun kasus peretasan atau serangan digital lainnya yang berhasil diungkap kepada publik.

Aksi semacam ini tentu merupakan bentuk pelanggaran terhadap kebebasan pers sebagaimana dijamin dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Setiap jurnalis dijamin kebebasannya dalam mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.[7] Serangan digital juga merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap hak atas privasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28G konstitusi dan article 12 Deklarasi Universal HAM. Perlindungan hak atas privasi – yang artinya bebas dari berbagai serangan digital pun ditegaskan dalam article 17 Konvenan Hak Sipil dan Politik yang menjamin bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan dan serangan.

Tindakan  terhadap kru Narasi juga telah memenuhi unsur pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam UU Transaksi dan Informasi Elektronik (UU ITE). Dalam Pasal 30 UU tersebut, setiap orang dilarang untuk mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun. Begitupun untuk motif mendapatkan informasi atau dengan cara menjebol sistem keamanan.[8] Dengan demikian, sudah cukup kuat bagi Kepolisian sebagai aparat penegak hukum untuk mengusut rangkaian serangan digital terhadap para kru Narasi.

Kami menilai aksi teror dan serangan digital bertujuan untuk menciptakan iklim ketakutan pers yang kerap melakukan kerja-kerja investigasi guna membongkar suatu fenomena. Objek yang diberitakan pun seringkali mengganggu kepentingan segelintir orang yang memiliki kedudukan tinggi. Wajar, jika masyarakat menduga ada campur tangan pemilik otoritas.” Ujar Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti.

Rivanlee Anandar, Wakil Koordinator KontraS menambahkan “Kejadian semacam ini tidak hanya menimpa Narasi, melainkan sudah berlangsung lama. Sayangnya, tidak ada pelaku yang diketahui atau diungkap ke publik. Aktivitas peretasan menjadi cara efektif untuk membungkam masyarakat di tengah perlindungan data pribadi yang minim. Pengusutan dan pembongkaran kasus ini harus dilakukan karena bisa jadi pintu untuk membuka praktik pembungkaman lewat berbagai serangan digital.”

Atas dasar uraian di atas kami mendesak:

Kepolisian Republik Indonesia untuk segera mengusut secara tuntas kasus peretasan terhadap jurnalis dan kru Narasi. Kepolisian harus membongkar dan menemukan para pelaku serangan digital kemudian memprosesnya lewat jalur hukum. Pengusutan mutlak dan harus dilakukan agar kejadian serupa tak berulang di kemudian hari;

 

Jakarta, 29 September 2022

 

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator

[1] Lihat https://www.merdeka.com/peristiwa/kronologi-twitter-mata-najwa-hingga-kru-narasi-jadi-korban-peretasan.html

[2] Lihat https://narasi.tv/read/narasi-daily/eks-jenderal-polisi-somasi-tim-pengacara-lukas-enembe-mereka-sebut-budi-gunawan–tito-karnavian-ingin-kuasai-papua

[3] https://www.republika.co.id/berita/rik22u396/najwa-shihab-singgung-gaya-hidup-hedon-polisi-dpr-bukan-tuduhan

[4] https://www.suara.com/news/2022/09/21/195818/apa-itu-sahabat-polisi-pihak-yang-minta-najwa-shihab-minta-maaf-ke-polisi

[5] https://www.merdeka.com/peristiwa/kronologi-twitter-mata-najwa-hingga-kru-narasi-jadi-korban-peretasan.html

[6] Lihat https://www.tribunnews.com/nasional/2022/09/29/meutya-hafid-peretasan-terhadap-37-jurnalis-narasi-bentuk-ancaman-demokrasi

[7] Lihat Pasal 4 Ayat 1 dan Ayat 3 UU Nomor 40 Tahun 1999

[8] Lihat Pasal 30 ayat (1) – (3) UU ITE.