Catatan Kritis Pengaturan Tindak Pidana Berat Terhadap HAM di R-KUHP: Makin Sulit Adili Pelaku

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan menyoroti secara tajam proses perumusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) yang rencananya segera disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bersama dengan Pemerintah. Proses pembahasan dan penyusunan tersebut begitu minim partisipasi masyarakat dan kurang memfasilitasi hak untuk didengarkan, hak untuk dipertimbangkan dan hak untuk mendapatkan jawaban atau penjelasan atas pendapat yang telah diberikan masyarakat. Pada sisi lain proses perumusan R-KUHP masih memuat pasal-pasal yang mengancam demokrasi seperti pasal penghinaan terhadap pemerintah (Pasal 240 RKUHP), penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (Pasal 349 dan 350 RKUHP), serta penyelenggaraan unjuk rasa dan demonstrasi tanpa izin (Pasal 273 RKUHP). .

Proses perumusan R-KUHP juga minim memperhatikan masukan masyarakat apalagi kelompok terdampak. Salah satu buktinya adalah dengan tetap dimasukkannya delik-delik khusus ke dalam R-KUHP termasuk delik mengenai tindak pidana berat terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan yang diatur pada Pasal 600 dan 601 R-KUHP yang sebelumnya telah diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM (UU Pengadilan HAM).

Merespon hal tersebut, KontraS menerbitkan catatan kritis mengenai pengaturan tentang tindak pidana berat terhadap HAM. Catatan kritis ini dibuat berdasarkan hasil kajian KontraS mengenai rancangan pengaturan tindak pidana yang berat terhadap HAM dalam R-KUHP dengan mendalami substansi muatan pasal, perbandingan dengan UU Pengadilan HAM serta kemungkinan dampak yang ditimbulkan dengan diaturnya tindak pidana yang berat terhadap HAM dalam R-KUHP. Patut juga disoroti bahwa ancaman hukuman tindak pidana yang berat terhadap HAM dalam R-KUHP lebih ringan dibanding ancaman hukuman pelanggaran HAM berat dalam UU Pengadilan HAM, membuktikan bahwa R-KUHP mendegradasi kekhususan dari tindak pidana yang berat terhadap HAM.

Pelanggaran HAM berat atau yang dalam R-KUHP dikenal sebagai tindak pidana yang berat terhadap HAM memiliki kekhususan karena tingkat keparahan yang ditimbulkannya. Oleh karena pelanggaran HAM berat juga memerlukan cara penanganan yang khusus, dan diatur secara khusus dalam suatu payung hukum tersendiri. Diaturnya tindak pidana yang berat terhadap HAM dalam R-KUHP akan menghilangkan kekhususan dari tindak pidana yang berat terhadap HAM dan mempersulit penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat.

KontraS juga menilai pengaturan mengenai tindak pidana yang berat terhadap HAM dirumuskan tidak sesuai dengan standar internasional seperti Statuta Roma. Statuta Roma sebagai dasar Mahkamah Pidana Internasional mengatur empat jenis kejahatan yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi sementara R-KUHP hanya mengatur dua jenis tindak pidana yaitu genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan.

Masalah lain yang patut disoroti adalah nihilnya pengecualian terhadap asas non-retroaktif dalam R-KUHP dan diaturnya secara ketat batas waktu penuntutan atau daluarsa. Asas non-retroaktif berarti muatan R-KUHP tidak dapat digunakan terhadap tindak pidana yang terjadi sebelum disahkannya R-KUHP, tidak dibukanya ruang terhadap pengecualian asas non-retroaktif akan menutup upaya penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu seperti peristiwa 1965, pembunuhan misterius, Talangsari, serta tragedi Trisakti dan Semanggi I & II. R-KUHP juga mengenal pengaturan mengenai daluarsa pada Pasal 136 yang menyatakan bahwa kewenangan penuntutan gugur atau kadaluwarsa apabila telah melewati waktu 20 (dua puluh) tahun. Ketentuan daluarsa tidak dikenal dalam UU Pengadilan HAM sehingga memungkinkan proses pengusutan kasus pelanggaran HAM berat tanpa batas waktu, mengingat kerumitan kasus pelanggaran HAM berat maka dibutuhkan pengecualian terhadap daluwarsa sehingga pengaturan mengenai daluarsa seperti yang termuat R-KUHP akan menyulitkan proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan pelaku pelanggaran HAM berat.

Hal penting lain yang menjadi catatan KontraS adalah tidak dimasukkannya pengaturan mengenai tanggung jawab komando dalam materi muatan R-KUHP, yang sebelumnya telah dimuat dalam UU Pengadilan HAM. Pengaturan mengenai tanggung jawab komando menjadi krusial bagi upaya untuk menjerat komandan yang seringkali tak terjamah dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Nihilnya materi muatan mengenai tanggung jawab komando secara khusus akan menyulitkan upaya untuk menghadirkan keadilan substansial dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan pelanggaran HAM berat.

Berdasarkan catatan di atas, kami mendesak:

Pertama, DPR RI untuk mencabut ketentuan pasal 600 dan 601 R-KUHP tentang tindak pidana berat terhadap HAM dari draf R-KUHP pada saat tahap pembahasan. Selain tidak ada alasan yang mendesak, delik ini hanya akan mempersulit penuntasan kasus pelanggaran HAM, khususnya yang terjadi di masa lalu;

Kedua, pemerintah RI untuk fokus untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu lewat jalur yudisial sebagaimana dimandatkan UU No. 26 Tahun 2000 dan sesuai dengan standar internasional dengan menjamin hak atas kebenaran, hak atas keadilan, hak atas pemulihan, dan jaminan ketidak-berulangan ketimbang membuka celah langgengnya praktik impunitas.

 

Jakarta, 9 November 2022
Badan Pekerja KontraS

 

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator

klik disini untuk melihat catatan kritis selengkapnya