Proses Hukum Terdakwa Dalam Kasus Penembakan Disertai Mutilasi Warga Sipil Timika Berjalan Serampangan Dan Terkesan Melindungi Pelaku TNI: Menuntut Kembali Tanggungjawab Negara

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, bersama  Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM mengecam proses peradilan yang dijalankan serampangan terhadap 6 (enam) terdakwa prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) aktif berkaitan dengan kasus pembunuhan dan mutilasi terhadap empat orang warga sipil di Papua. Adapun peristiwa pembunuhan dan mutilasi tersebut terjadi pada 22 Agustus 2022 yang menimpa orang asli papua amat mencederai rasa kemanusiaan. Hingga kini dalam kasus tersebut, sebanyak 10 (sepuluh) orang telah ditetapkan sebagai tersangka, 6 (enam) diantaranya merupakan prajurit tentara aktif dari kesatuan Detasemen Markas (Denma) Brigade Infanteri 20/Ima Jaya Keramo Kostrad. 

Dari proses yang berjalan sampai saat ini, kami menyoroti beberapa hal:

Pertama, tidak akuntabel dan transparannya proses peradilan para terdakwa. Diketahui saat ini, proses hukum para terdakwa dari militer dan sipil diadili secara terpisah. Terhadap para terdakwa militer yakni Kapten (Inf) Dominggus Kainama, Prajurit Satu (Pratu) Rahmat Amin Sese, Pratu Robertus Putra Clinsman, Pratu Rizky Oktav Muliawan, dan Prajurit Kepala Pargo Rumbouw diadili melalui Pengadilan Militer III-19 Jayapura, Papua. Sedangkan, Mayor (Inf) Helmanto Fransiskus Dakhi diadili melalui Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya, Jawa Timur. Sedangkan para tersangka sipil berkas perkaranya masih belum dilimpahkan ke pengadilan umum. 

Terpisahnya upaya menuntut pertanggungjawaban pidana, tidak hanya bermasalah secara teknis, namun juga tidak bersesuaian dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU 48/2009). Secara teknis, terpisahnya proses peradilan sangat tidak efisien secara waktu dan biaya khususnya bagi keluarga yang diperiksa sebagai saksi. Diketahui bahwa para keluarga berdomisili di Timika, ketika diperiksa sebagai saksi dalam perkara para terdakwa militer membuat keluarga harus terbang ke  Pengadilan Militer III-19 Jayapura menggunakan transportasi udara yang biayanya tidak murah. Proses peradilan tersebut sejatinya telah menjauhkan aksesibilitas keluarga korban yang berdomisili di Timika terhadap proses peradilan. 

Sedangkan secara ketentuan peraturan perundang-undangan, proses peradilan yang terpisah juga tidak sesuai dengan Pasal 16 UU 48/2009 yang menyatakan: “Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. “ Perlu digaris bawahi bawahi, frasa ‘dalam keadaan tertentu’ dimaknai dari seberapa besar titik berat kerugian yang timbul dari tindak pidana yang dilakukan pelaku.

Hal itu diperkuat dengan penjelasan Pasal 16 UU 48/2009 yang menegaskan: “Jika titik berat kerugian terletak pada kepentingan militer, perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer, namun jika titik berat kerugian tersebut terletak pada kepentingan umum, maka perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum.” Artinya, jika menilik titik beratnya kerugian dalam kasus ini, justru pihak sipil dalam hal ini para korban yang paling berat dirugikan. Sehingga tidak alasan apapun bahwa persidangan dilakukan secara terpisah yang maka harus dilakukan melalui peradilan umum. Selain itu, hingga kini Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM tidak mendapatkankan informasi perihal adanya keputusan Ketua Mahkamah Agung yang menyatakan proses peradilan dalam kasus ini harus dijalankan terpisah. 

Situasi tersebut, kemudian diperparah dengan tidak adanya kepastian informasi yang diterima oleh Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM atas pelaksanaan sidang pada peradilan militer. Informasi dimulainya sidang justru diperoleh secara mandiri oleh  Tim Advokasi dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) pengadilan militer Pengadilan Militer III-19 Jayapura dan Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya.  Informasi yang diperoleh dari SIPP juga tidak secara komprehensif memberikan informasi dakwaan. Adapun selama berjalannya proses sidang di Pengadilan Militer III-19 Jayapura, berdasarkan pemantauan Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM sidang kerap kali dilaksanakan secara terlambat. Selain itu, majelis hakim dan orditur tidak aktif mencari kebenaran materil dan menggali keterlibatan utuh dari para terdakwa militer. 

Kedua, Pelaku yang berlatar belakang pangkat Mayor didakwa secara tidak cermat oleh orditurat. Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui SIPP, terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Dakhi oleh Orditurat Tinggi didakwa di  Primer : Pasal 480 ke-2 jo 55 ayat (1) KUHP. Subsider : Pasal 365 ayat (4) jo 55 ayat (1) KUHP. Lebih Subsidair : Pasal 340 jo pasal 55 ayat (1) KUHP. Lebih lebih Subsidair : Pasal 340 jo pasal 55 ayat (1) KUHP. Dan Pertama : pasal 132 KUHPM Atau Kedua : Pasal 121 ayat (1) KUHPM Atau Ketiga : pasal 221 ayat (1) ke-2 KUHP jo pasal 55 ayat (1) KUHP. Atau Keempat : Pasal 181 jo pasal 56 ke-2 KUHP. 

Susunan dan struktur dakwaan ini kami anggap sangat problematis, sebab menaruh Pasal 480 ke-2 KUHP tentang penadahan dengan hukuman maksimal 4 tahun penjara sebagai dakwaan primer. Padahal dalam hukum pidana, bentuk surat dakwaan subsidair yang ideal adalah dakwaan yang terdiri dari dua atau beberapa dakwaan yang disusun dan dijejerkan secara berurutan, mulai dari dakwaan tindak pidana ‘yang terberat’ sampai kepada dakwaan tindak pidana ‘yang teringan’. Susunan dakwaan yang ada pada peradilan militer tersebut kami khawatirkan akan berimplikasi pada tuntutan dan putusan yang sangat ringan bagi para pelaku, khususnya dari kalangan militer. Yang tak kalah penting, proses penghukuman terhadap seluruh pelaku militer harus disertai dengan hukuman tambahan berupa dipecat secara tidak hormat dari institusi militer. 

Ketiga, Jauh dari Harapan keluarga. Proses peradilan yang mendakwa para tersangka secara terpisah sebagaimana berjalan hingga saat ini masih jauh dari harapan keluarga para korban. Dari awal kasus ini ditangani para penyidik Subdenpom XVII/C Mimika dan Satreskrim Polres Mimika, keluarga menuntut agar tersangka diadili melalui peradilan umum. Keluarga juga menginginkan agar peradilan umum tersebut juga dilaksanakan di Mimika agar dapat turut memantau proses jalannya persidangan. Pasalnya, proses pencarian keadilan bagi korban yang didambakan keluarga tidak diakomodir oleh negara melalui institusi penegak hukum.  Hal yang tampak dari negara justru menunjukan ketidak seriusannya dengan mengadili secara terpisah para pelaku, bukan malah diadili melalui peradilan umum. Selain itu, upaya perlindungan bagi keluarga yang akan diperiksa sebagai saksi dalam proses persidangan masih belum mendapatkan kejelasan dari lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK). 

Atas dasar hal tersebut, Kami Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM menyatakan:

  1. Panglima Tentara Nasional Indonesia melakukan pengawasan terhadap proses peradilan dan penegakan hukum secara transparan dan akuntabel bagi para anggotanya yang terlibat dalam tindak pidana pembunuhan disertai mutilasi yang terjadi di Timika;
  2. Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia segera memutuskan  permohonan untuk memberikan perlindungan serta pemulihan yang telah diajukan oleh keluarga para korban;
  3. Ketua Mahkamah Agung melakukan pemantauan langsung atas kinerja perangkat peradilan yang menyidangkan para terdakwa anggota militer maupun sipil;

 

Jakarta, 16 Januari 2023
Tim Advokasi Kemanusiaan Untuk Papua

Narahubung:

  • Narik Yimin Tabuni (Perwakilan Keluarga Korban)
  • Rivanlee Anandar (KontraS)
  • Emanuel Gobay (LBH Papua)
  • Gustaf Kawer (PAHAM Papua)
  • Latifah Anum Siregar (ALDP)