Hentikan Intimidasi Pasca Pengakuan dan Penyesalan Presiden!

Belum genap satu bulan pasca Presiden Jokowi menyatakan pengakuan dan penyesalan atas 12 pelanggaran HAM berat di Indonesia. 11 Januari 2023 terjadi setidaknya dua peristiwa yang justru bertolak belakang dengan yang diharapkan. Harapan atas terciptanya rasa aman dari potensi keberulangan tindak pidana berat terhadap HAM bagi para penyintas, keluarga korban dan publik secara umum–sebagaimana dicantumkan Keppres No. 17/2022 tentang pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu. Dua peristiwa yang dimaksud ialah intimidasi terhadap penyintas Peristiwa Simpang Kertas Kraft Aceh (Simpang KKA) dan peretasan akun WhatsApp dari setidaknya lima orang pegiat Aksi Kamisan di Medan pada 8-9 Februari 2023 serta melarang Aksi Kamisan 9 Februari 2023 dengan alasan kedatangan Presiden untuk memperingati Hari Pers Nasional di ibukota Provinsi Sumatera Utara tersebut.

Pada 7 Februari 2023, salah seorang penyintas Peristiwa Simpang KKA merasakan intimidasi oleh sejumlah pihak dari Kepolisian dan Militer setempat. Selain ditelpon berkali-kali untuk meminta data-data korban Peristiwa Simpang KKA, sekelompok orang yang diduga anggota Polsek Lhokseumawe dan Polsek Dewantara mendatangi rumahnya dan memintanya beserta korban Simpang KKA lainnya untuk tidak berunjuk rasa dan membawa atribut yang “bernada melawan” saat Presiden Joko Widodo mengunjungi Aceh untuk meresmikan pabrik pupuk pada 10 Februari 2023. Keesokan harinya, 8 Februari 2023 sekelompok orang yang diduga Babinsa mendatangi rumahnya dan mengatakan bahwa mereka melakukan tersebut karena diperintah atasan. Hal ini tentu saja tidak menunjukkan profesionalitas polisi dan tentara Indonesia, jika tidak dapat dikatakan lebih jauh sebagai sikap premanisme. Dalam konteks penuntasan tindak pidana berat terhadap HAM, pihak yang berwenang memperoleh informasi dalam kerangka penyelidikan, penyidikan dan persiapan menuju proses pengadilan adalah Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, bukan menggunakan polisi dan militer. Selain itu tindakan demikian juga berpotensi memicu kembali trauma para penyintas dan keluarga korban yang memiliki trauma mendalam atas aktivitas aparat selama pemberlakuan Daerah Operasi Militer dan Darurat Militer di Bumi Rencong tersebut.

Intimidasi ini patut dianggap sebagai ketidakpekaan yang berlanjut, mengingat sejak pertengahan 2022, Provinsi Aceh dipimpin oleh seorang Penjabat Gubernur yang memiliki latar belakang karir militer yakni Mayjen TNI (Purn.) Achmad Marzuki. Evaluasi dan koreksi terhadap aparat yang terlibat dalam sejumlah tindak pidana berat terhadap HAM di Aceh yang belum terselenggara sebab belum adanya Pengadilan HAM juga menjadi faktor valid atas kekhawatiran penyintas akan intimidasi yang dilakukan aparat.

Peristiwa intimidasi kedua, terjadi pada 8-9 Februari 2023. Kunjungan kerja Presiden Jokowi yang berlangsung di hari Kamis, 9 Februari 2023 bersamaan dengan hari penyelenggaraan Aksi Kamisan Medan. Para pegiat HAM dan warga yang menggunakan haknya untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat secara damai justru mendapatkan teror dan pembungkaman. Massa Aksi Kamisan yang hanya berjumlah belasan orang dikepung ratusan polisi yang berjaga, mengalami intimidasi dan alat peraga aksi diambil secara paksa. Identitas pihak yang menghubungi yang teridentifikasi dari Polda Sumatera Utara juga menunjukkan upaya berlebihan dan tidak perlu sehingga tergambar dengan jelas langkah pembatasan yang keliru atas penyelenggaraan Aksi Kamisan Medan.

Pola pelanggaran HAM pada kedua peristiwa di atas dapat terlihat muncul berkaitan dengan adanya rencana kunjungan Presiden Jokowi ke sejumlah tempat. Intimidasi dan represi kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat justru terjadi pada lokasi yang akan didatangi oleh Presiden Jokowi. 

Meski tidak ada petunjuk berupa instruksi langsung dari Presiden Jokowi, namun adanya “perintah Atasan” dalam kedua peristiwa di atas adalah bentuk kelirunya tindakan dari TNI dan POLRI. Padahal Rekomendasi Tim PPHAM yang sudah diterima Jokowi sendiri sudah menyebutkan Reformasi TNI dan POLRI baik secara struktural atau kultural. Cara-cara intimidasi menggunakan Polisi dan TNI adalah gaya Orde Baru yang sudah tidak memiliki tempat dalam Reformasi. Presiden Jokowi dan jajaran harus memperhatikan kenyataan ini untuk bisa menjamin tidak berulangnya  pelanggaran HAM berat bagi masyarakat Indonesia.

Dengan berbagai temuan dan catatan di atas, kami mendesak:

1. Presiden dan Menkopolhukam untuk memerintahkan TNI dan POLRI menghentikan intimidasi terhadap penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM berat jika memang benar-benar peduli pada korban dan bukan sekadar pencitraan. Termasuk dengan menindak anggotanya yang melakukan intimidasi terhadap penyintas Peristiwa Simpang KKA, serta pengambilalihan sarana komunikasi para pegiat dan pelarangan penyelenggaraan Aksi Kamisan di Medan.

2. Komnas HAM dan LPSK RI dalam posisinya untuk meningkatkan perlindungan terhadap para penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM berat dari sesama instansi Negara, yakni TNI dan Polri. Mekanisme perlindungan harus mengutamakan kesiapsiagaan untuk mencegah pelanggaran HAM kembali terjadi bagi para penyintas, keluarga korban pelanggaran HAM berat hingga publik yang ada dalam posisi rentan dalam relasi kuasa dengan aparat.

 

Jakarta, 17 Februari 2023

KontraS, KontraS Aceh, YLBHI, PBHI, Amnesty International Indonesia, AJAR.