Temuan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman Yogyakarta dan Rekomendasi Komnas HAM Menyebut Terdapat Dugaan Rangkaian Tindakan Kekerasan Oleh Kepolisian Dalam Peristiwa Klitih, Bukti Dugaan Rekayasa Kasus dan Penyiksaan Semakin Kuat!

Jalan panjang perjuangan membebaskan korban praktik dugaan rekayasa kasus disertai dengan penyiksaan peristiwa kejahatan jalanan (klitih) yang terjadi pada 3 April 2022 lalu semakin menemukan titik terang bahwa proses penyidikan dalam perkara ini diwarnai dengan rangkaian tindakan kekerasan. Hal ini dibuktikan melalui temuan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman Perwakilan Yogyakarta serta surat rekomendasi Komnas HAM.

Sebelumnya pada hari senin tanggal 6 Maret 2023,  Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama dengan pendamping hukum salah satu korban dan keluarga korban telah melakukan agenda audiensi dengan Komisioner Komnas HAM. Dalam pertemuan tersebut Komisioner Komnas HAM menyebutkan berkaitan dengan perkara ini, pihak Komnas HAM akan kembali berupaya untuk mengirim pendapat ham kepada Mahkamah Agung, mengingat pendapat HAM yang sebelumnya dikirim pada tingkat pertama dan tingkat banding telah dikesampingkan oleh Majelis Hakim. Kami menilai, pendapat HAM yang diajukan oleh Komnas HAM penting untuk dipertimbangkan oleh Majelis Hakim tingkat kasasi, sebab berdasarkan pendapat HAM yang telah dikirim oleh Komnas HAM, proses pemidanaan terhadap korban Andi, Hanif, Affandi, Ryan, dan Dito telah mengangkangi berbagai norma prosedur pemolisian dan sarat akan pelanggaran HAM.

Selanjutnya, kami juga telah menerima Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Yogyakarta dan Rekomendasi Komnas HAM RI. Dalam kedua surat tersebut secara eksplisit semakin menguak sebuah fakta bahwa proses pemidanaan terhadap kelima korban diwarnai dengan indikasi pelanggaran terhadap hak-hak fair trial, hingga langgengya praktik penyiksaan yang diduga kuat dilakukan oleh kepolisian dalam melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan.

Adapun berkaitan dengan beberapa temuan Ombudsman Perwakilan Yogyakarta dan Komnas HAM tersebut akan kami uraikan sebagai berikut:

Pertama; Dalam kesimpulan LAHP Ombudsman, disebutkan bahwa penyidik kepolisian telah melakukan tindakan maladministrasi berupa pengabaian pemberian akses bagi penasihat hukum untuk bertemu dengan para tersangka. Lebih lanjut, dalam kesimpulan tersebut juga turut menyebutkan proses penjemputan hingga penangkapan para tersangka dinilai maladministrasi sebab tidak menyertakan surat perintah tugas, surat penangkapan yang sah, serta menyampaikan alasan penangkapan kepada tersangka. Terakhir, Ombudsman juga menemukan sebuah temuan penyalahgunaan wewenang berupa penggunaan praktik kekerasan yang dilakukan penyidik kepolisian selama proses pemeriksaan terhadap para tersangka;

Kedua: Melalui surat rekomendasi Komnas HAM, disebutkan pada intinya secara eksplisit Wakapolda Yogyakarta telah membenarkan bahwa dalam melaksanakan penyelidikan dan penyidikan peristiwa pidana kejahatan jalanan (klitih) di Gedongkuning, terjadi sebuah praktik kekerasan yang diduga dilakukan oleh anggotanya di dalam ruang Unit Reskrim Polsek Sewon terhadap kelima korban.

Berdasarkan kedua temuan di atas menegaskan bahwa terdapat upaya sewenang-wenang yang dilakukan oleh petugas kepolisian, antara lain berupa: melakukan pembatasan terhadap akses bantuan hukum, proses pemidanaan yang berjalan telah mengangkangi prinsip due process of law, pengabaian terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik, hingga terdapat tindakan penyiksaan maupun intimidasi yang terjadi di dalam ruang-ruang detensi dengan tindakan dan durasi waktu yang variatif. 

Seperti yang tertulis pada bagian analisis dan pendapat Ombudsman, penolakan terhadap akses bantuan hukum yang diduga dilakukan oleh aparat Kepolisian, tindakan ini tentu bertentangan dengan hak untuk menghubungi dan komunikasi dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan untuk kepentingan pembelaan perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Ayat 1 KUHAP. Selanjutnya, dalam konteks penangkapan, aparat Kepolisian yang bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perkara ini turut mengabaikan ketentuan dalam Pasal 18 KUHAP yang pada intinya menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, petugas kepolisian harus memperlihatkan surat tugas dan memberikan surat perintah penangkapan kepada tersangka. Disamping itu, selain telah melanggar norma prosedural dalam melaksanakan penyelidikan dan penyidikan, rangkaian tindakan penyiksaan oleh aparat telah mengangkangi instrumen hak asasi manusia. Mengacu pada Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik sebagaimana telah diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, praktik penyiksaan yang diduga dilakukan oleh Kepolisian telah menerabas Pasal 7 peraturan tersebut yang pada intinya menyebutkan bahwa tidak seorangpun dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat.

Melalui Kedua temuan tersebut seharusnya dapat menjadi pintu masuk bagi Polda Yogyakarta untuk segera mengungkap dugaan praktik rekayasa kasus, dan melakukan pengusutan serta penghukuman secara transparan dan maksimal bagi anggotanya yang bertugas di lapangan pada saat melakukan rangkaian penyelidikan dan penyidikan peristiwa kejahatan jalanan (klitih) di Gedongkuning. Kami memandang proses pengusutan dugaan rangkaian praktik kekerasan yang dialami para korban terkesan sangat lamban, sebab hingga saat ini, kami belum menerima informasi terkait langkah konkrit dari Kepolisian untuk mengungkap praktik keji tersebut.

Kasus ini bermula dari ditangkapnya kelima anak remaja oleh aparat kepolisian pada tanggal 9 dan 10 April 2022 secara sewenang-wenang. Mereka dituduh oleh polisi sebagai pelaku kejahatan jalanan (klitih) di Gedongkuning yang terjadi pada 3 April 2022 lalu. Setelah ditangkap, mereka dibawa menuju Polsek Sewon. Saat ini, perjuangan kelima remaja menjemput keadilan tengah memasuki upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung, sebab baik putusan Majelis Hakim pada pengadilan tingkat pertama maupun banding belum mampu memberikan rasa keadilan bagi para korban.

Atas dasar hal tersebut, kami mendesak beberapa pihak untuk:

  1. Majelis Hakim tingkat Kasasi yang memeriksa dan memutus perkara ini memberikan pertimbangannya terkait kedua temuan dalam surat LAHP Ombudsman, surat Rekomendasi, serta pendapat ham Komnas HAM untuk membebaskan para korban, dan melihat kasus ini sebagai sebuah konstruksi dugaan praktik rekayasa kasus disertai penyiksaan yang mengarah pada praktik peradilan sesat (miscarriage of justice);

  2. Kepala Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta untuk segera melaksanakan saran tindakan korektif dari Ombudsman Perwakilan Yogyakarta dan rekomendasi Komnas HAM agar melakukan rangkaian pemeriksaan secara transparan terhadap anggotanya yang bertugas di lapangan. Kami mendesak agar pengusutan ini tidak hanya terbatas pada aktor di lapangan, melainkan turut menyasar atasan para pelaku bilamana diduga terbukti terlibat. Kami juga mendesak hasil dari pemeriksaan tersebut nantinya dapat diungkap ke publik sebagai bentuk akuntabilitas atas proses hukum yang dilakukan.

Jakarta, 8 Maret 2023

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Keluarga Korban Pendamping Hukum korban

Narahubung: 0895701027221