Kekerasan Aparat dalam Aksi Penolakan UU Cipta Kerja: Pembangkangan Konstitusi diikuti Represi Kebebasan Sipil

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras segala bentuk tidak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam pembubaran aksi penolakan terhadap UU Cipta Kerja yang terjadi di beberapa Kota beberapa waktu ke belakang. Aksi penolakan yang terjadi merupakan dampak dari pengesahan Perppu No. 2 Tahun 2022 menjadi undang-undang. Setidaknya kami mencatat bahwa gelombang protes penolakan dari berbagai macam elemen masyarakat termasuk kelas pekerja dan mahasiswa terjadi cukup masif pada beberapa kota di Indonesia. Aksi protes dan penolakan terhadap UU Cipta Kerja tersebut merupakan bentuk hak untuk berekspresi dan menyatakan pendapat yang dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945, Pasal 23 & 24 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 dan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. 

Sayangnya hak untuk berekspresi dan menyatakan pendapat tidak dibarengi dengan perlindungan penyampaian pendapat di muka umum yang dilakukan. Penggunaan water canon, gas air mata serta upaya penggunaan kekerasan fisik masih ditemui dalam upaya pembubaran massa aksi UU Cipta Kerja di beberapa daerah tersebut. Peristiwa tersebut secara jelas menunjukkan pelanggaran terhadap kebebasan sipil secara nyata. Lebih jauh lagi peristiwa-peristiwa tersebut menunjukan penggunaan kekuatan secara berlebihan (excessive use of force) dalam tindakan Kepolisian. 

Sejak UU Cipta Kerja disahkan pada tahun 2020 kami, kami mencatat masifnya aksi penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Berdasarkan pemantauan KontraS pada aksi penolakan UU Cipta Kerja tahun 2020 setidaknya telah terjadi 87 peristiwa pelanggaran kebebasan berekspresi yang mengakibatkan 232 orang luka-luka. Pada sisi lain pada aksi penolakan UU Cipta Kerja tahun 2020 kami mencatat setidaknya sekitar 4.500 orang ditangkap. Pola pelanggaran kebebasan berekspresi dan penangkapan tersebut nampaknya kembali terjadi pada aksi penolakan UU Cipta Kerja tahun ini. Pembungkaman terhadap penolakan UU Cipta Kerja juga terjadi melalui serangan digital terhadap terhadap akun yang menyerukan kritik kepada UU Cipta Kerja, menunjukkan bahwa pembungkaman kebebasan berekspresi terjadi baik secara langsung maupun media digital.

Pola tersebut kembali berulang pada gelombang penolakan UU Cipta Kerja sepanjang Maret hingga April 2023, kami mencatat setidaknya 10 persitiwa kekerasan aparat dalam aksi penolakan UU Cipta Kerja yang terserbar pada tujuh Provinsi di Indonesia. Dari 10 kasus tersebut setidaknya terjadi lima kali pembubaran paksa yang tercatat terjadi pada Provinsi DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Lampung dan Sulawesi Selatan. Pada berbagai peristiwa tersebut kami juga mencatat total 58 massa aksi ditangkap oleh Kepolisian.

Secara jelas, dalam Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2012 disebutkan bahwa mewajibkan anggota Polri untuk bertindak secara profesional dan menjunjung tinggi HAM dalam kegiatan penyampaian pendapat di muka umum serta Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 yang mewajibkan anggota Polri untuk tunduk pada norma dan prinsip hak asasi manusia dalam menjalankan tugasnya. Tetapi dalam langkah teknisnya tidak sama sekali menunjukkan langkah profesional serta menjunjung tinggi nilai HAM.

Kekerasan dari aparat Kepolisian tersebut juga menunjukkan pola berulang dari brutalitas aparat terhadap pelaksanaan hak untuk berekspresi dan menyatakan pendapat. Pada beberapa demonstrasi lainnya seperti penolakan #RefromasiDiKorupsi, RKUHP dan Penolakan Perpu Cipta Kerja aparat Kepolisian selalu menunjukkan penggunaan kekuatan yang berlebihan dalam berhadapan dengan peserta aksi. Pola berulang tersebut memperlihatkan kultur kekerasan yang mendasar dalam institusi Polri serta menunjukkan Polri sebagai aktor Pelanggar HAM utama. Komitmen Kapolri untuk memperbaiki citra institusi tampak menjadi omong kosong semata melalui kekerasan yang dipertontonkan oleh aparat Kepolisian sendiri.

Lebih lanjut, kekerasan dalam aksi penolakan UU Cipta Kerja juga menunjukkan watak pemerintah yang mengabaikan aspirasi masyarakat. Sejak dalam proses pembentukannya UU Cipta Kerja dan Perpu Cipta Kerja selalu mendapatkan penolakan masyarakat namun DPR-RI dan Pemerintah pusat tetap mengesahkan, kini gelombang penolakan terhadap produk hukum bermasalah pun direspon dengan kekerasan. Penerbitan Perppu terkait UU Cipta Kerja sebenarnya juga tidak bersesuaian dengan ucapan pemerintah sendiri di Februari 2022 lalu yang mengaku akan mematuhi putusan MK. Selain inkonsisten, praktik negara hukum yang baik pun kembali tercoreng lewat terbitnya Perppu Cipta Kerja oleh pemerintah serta pengesahannya menjadi UU oleh DPR-RI.

Dalam aspek substansial, kami juga menilai bahwa syarat diterbitkannya Perpu serta pengesahan UU Cipta Kerja yakni harus berdasar hal ihwal kegentingan yang memaksa, sama sekali tidak terpenuhi. Saat ini, tidak ada gejolak/desakan dari publik agar Presiden mengeluarkan Perppu terkait dengan UU Cipta Kerja. Bahkan sebaliknya, saat tahap pembahasan hingga pengesahan UU tersebut, penolakan justru sangat masif di berbagai daerah di Indonesia. Sejak awal, proses pembuatan Omnibus Law memang serampangan, sebab tidak menerapkan meaningful participation atau partisipasi publik yang bermakna dalam proses penyusunannya. Hal-hal tersebut menunjukkan watak pemerintah yang mengenyampingkan aspirasi masyarakat dan anti-kritik.

Atas dasar tersebut KontraS mendesak:

Pertama, Presiden Republik Indonesia bersama-sama dengan DPR RI untuk segera melakukan reformasi kepolisian secara menyeluruh;

Kedua, Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk memerintahkan kepada seluruh Kapolda di berbagai wilayah di Indonesia untuk menghentikan pola represif yang terus berulang terhadap kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat. Serta melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait dengan penggunaan kekuatan yang sudah dijalankan dan melakukan penyelidikan/penyidikan terkait peristiwa kekerasan yang telah terjadi.

Jakarta, 17 April 2023

Badan Pekerja KontraS,

Andi Muhammad Rezaldy, S.H

Wakil Koordinator Bidang Strategi & Mobilisasi

Narahubung: Hans (081210815873)