Represi dan Intimidasi Ditengah Penyelenggaraan KTT ASEAN

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam segala bentuk represi dan intimidasi yang ditujukan kepada masyarakat selama persiapan serta penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, salah satu peristiwa yakni dugaan upaya kriminalisasi oleh Aparat Kepolisian Polres Manggarai Barat terhadap empat warga Labuan Bajo, yaitu Ladislaus Jeharun, Dionisius Parera, Viktor Frumentus, dan Dominikus Safio Sion oleh Polres Manggarai Barat pada 6 Mei 2023. Mereka dipanggil polisi dengan dugaan tindak pidana penghasutan. Adapun jurnalis yang memberitakan suara masyarakat menjadi korban peretasan dan intimidasi.[1] Terbaru, empat aktivis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) juga diduga mengalami peretasan.

Berdasarkan informasi yang kami himpun, pemanggilan terhadap empat warga tersebut dikarenakan aksi demonstrasi yang hendak dilakukan oleh warga setempat. Alasan/tuntutan yang melatarbelakangi sejumlah warga melakukan unjuk rasa tersebut disebabkan hingga saat ini hak atas ganti rugi terkait rumah dan lahan warga yang diduga mengalami penggusuran untuk pembangunan jalan Labuan Bajo-Golo Mori menjelang KTT ASEAN belum kunjung diterima.

Kami menyayangkan aksi yang akan digelar oleh sejumlah warga tersebut justru direspons secara berlebihan oleh kepolisian dengan melakukan pemanggilan terhadap sejumlah warga atas tuduhan dugaan tindak pidana penghasutan. Seharusnya kepolisian dapat melihat permasalahan ini secara menyeluruh dengan melihat konstruksi peristiwa aksi demonstrasi warga yang menuntut hak atas ganti rugi penggusuran sebagai bagian dari kebebasan berekspresi.

Kami menilai pengenaan pasal Penghasutan sebagaimana tercantum dalam surat pemanggilan tentu saja sangat problematik. Sebab, dalam pasal tersebut[2] terdapat unsur menghasut melakukan tindak pidana. Padahal demonstrasi merupakan tindakan sah dan konstitusional serta dijamin oleh instrumen perundang-undangan, misalnya UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Selain itu, menyuarakan pendapat berkaitan dengan kewajiban ganti rugi atas tanahnya yang dirampas merupakan bentuk mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya yang dijamin oleh Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.  Jika ditinjau kebelakang, ragam represi yang ada tak bisa dilepaskan dari pernyataan Kapolda NTT yang melakukan pelarangan aksi pada akhir April 2023 lalu.[3] Sehingga serangan yang ada dari aparat Kepolisian kepada masyarakat dapat diklasifikasikan sebagai pelanggaran sistematis.

Lebih jauh, lambatnya pemberian ganti rugi atas penggusuran oleh negara mengakibatkan timbulnya beragam bentuk pelanggaran berlapis terhadap hak-hak dasar warga antara lain berupa hak atas kehidupan yang layak, hak atas rasa aman, hingga hak atas pekerjaan yang layak. Lebih lanjut, melalui tindakan ini tidak hanya bertentangan dengan HAM yang dijamin dalam UUD NRI 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM, namun juga Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang telah diratifikasi pemerintah melalui UU Nomor 11 Tahun 2005.

Represi yang dilakukan kepada warga Labuan Bajo bukan kali pertama. Sebelumnya kasus penangkapan sewenang-wenang pernah terjadi terhadap warga Labuan Bajo yang melakukan penghadangan terkait dengan upaya penggusuran jalan untuk proyek strategis nasional.  Dugaan penangkapan secara sewenang-wenang tersebut dialami warga Racang Buka, Paulinus Jek, karena mencegah sebuah eskavator yang hendak melakukan penggusuran di lahan miliknya.

Selain itu, cara-cara represif sebagai bagian dari pendekatan keamanan dalam event besar juga terjadi di tengah penyelenggaraan G20 pada akhir tahun 2022 lalu. Saat itu, cara-cara eksesif dilakukan oleh aparat keamanan seperti halnya penggunaan face recognition, memata-matai, pembubaran paksa diskusi, penghadangan kegiatan aktivis dan stigma terhadap kelompok yang menolak. Parahnya, kelompok yang menolak juga distigma sebagai perusuh. Hal ini tentu  sangat berbahaya jika terus dilanjutkan sekaligus meneruskan praktik paradoksal. Di satu sisi, Indonesia ingin memperbaiki citra di mata internasional, tetapi di sisi lain pembungkaman hak masyarakat juga terus dilakukan. Kemunduran demokrasi pun lagi-lagi terbukti dari indeks demokrasi Indonesia yang dipublikasi freedom house tahun 2023 yang mana menunjukan penurunan dari tahun sebelumnya dari 59 ke 58.[4]

Keadaan semakin parah ditandai dengan serangan digital yang ditujukan kepada jurnalis yang memberitakan sisi lain dari penyelenggaraan ASEAN Summit.[5] Media Floresa.co yang bekerja sama dengan Project Mulatuli dalam membuat laporan kasus tanah warga yang dibuat jalan[6] mendapatkan peretasan (hacking). Tindakan ini jelas bentuk pelanggaran terhadap kebebasan pers. Selain itu, peretasan yang ditujukan kepada empat orang aktivis JATAM bukan hanya pelanggaran terhadap hak atas privasi, tetapi juga merupakan ancaman yang serius terhadap kerja-kerja pembela hak asasi manusia.

Atas dasar uraian di atas kami mendesak:

Pertama, aparat keamanan menghentikan segala bentuk represi dan intimidasi kepada warga pada penyelenggaraan KTT ASEAN dan agenda-agenda besar ke depan;

Kedua, Pemerintah Pusat serta lembaga terkait untuk segera bertanggung jawab menunaikan kewajiban ganti rugi terhadap masyarakat korban penggusuran;

Ketiga, aparat keamanan untuk segera mengusut aktor peretasan terhadap Jurnalis dan keempat aktivis JATAM. Kepolisian harus menemukan para pelaku serangan digital dan memproses melalui jalur hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Jakarta, 12 Mei 2023
Badan Pekerja KontraS

 

 

Fatia Maulidiyanti, S.IP.
Koordinator

 

Narahubung: 0895701027221

[1] Lihat https://newsletter.tempo.co/read/1723457/represi-jelang-ktt-asean-2023-di-labuan-bajo

[2] Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.5 juta.

[3] https://www.kompas.tv/article/402049/kapolda-ntt-minta-masyarakat-labuan-bajo-tak-berdemo-saat-ktt-asean-wujud-terima-kasih-ke-presiden

[4] https://freedomhouse.org/country/indonesia

[5] https://www.konde.co/2023/05/di-balik-gegap-gempita-ktt-asean-2023-ini-bukan-forum-kongkow-ada-perampasan-lahan-dan-intimidasi.html/

[6] Lihat https://projectmultatuli.org/mereka-yang-suaranya-diabaikan-dan-dibungkam-di-tengah-gegap-gempita-asean-summit-di-labuan-bajo/