Sidang Pemeriksaan Pokok Perkara Kasus Kriminalisasi Fatia-Haris: Luhut Mangkir dari Pemeriksaan dan Bukti Nyata Praktik Diskriminasi Hukum di Indonesia

Jakarta, 29 Mei 2023 – Sidang kasus kriminalisasi terhadap Fatia Maulidiyanti (Koordinator KontraS) dan Haris Azhar (Pendiri Lokataru) kembali dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan pokok perkara khususnya pemeriksaan saksi. Pada sidang ini, Luhut Binsar Pandjaitan yang juga merupakan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinves) sebagai saksi pelapor seharusnya hadir memberikan kesaksian. Kesaksian Luhut harus didengarkan sebab pasal yang dikenakan kepada Fatia dan Haris merupakan delik aduan (klacht delict) yang sifatnya absolut yakni Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang Pencemaran Nama Baik. Sayangnya, Luhut mangkir dari panggilan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan alasan tugas kenegaraan ke luar negeri. 

Kami mengecam sikap Luhut yang tidak menghadiri persidangan hanya dengan melampirkan surat permohonan penundaan sidang, itupun atas nama kuasa hukumnya, Juniver Girsang. Tugas kenegaraan yang dimaksud pun tidak jelas, sebab tidak ada surat resmi dari pemberi tugas yakni Presiden Republik Indonesia. Kami juga menyayangkan sikap hakim yang menerima mentah-mentah surat dari kuasa hukum Luhut tersebut tanpa menanyakan secara kritis tugas kenegaraan yang dimaksud. 

Lebih jauh, kewajiban Luhut untuk menghadiri sidang sebagai saksi pelapor diatur Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP yang menyatakan bahwa keterangan saksi korban harus didengarkan pertama dalam tahap pemeriksaan pokok perkara. Seharusnya Luhut sudah menyempatkan waktu untuk memenuhi kewajiban sebagai warga negara tersebut. Selain itu, Jaksa sebagai dominus litis juga berhak untuk menggunakan kuasanya untuk memanggil saksi dan dihadirkan di pengadilan. Sayangnya, JPU terlihat takut dan tak berdaya sehingga menyesuaikan jadwal Luhut Binsar Pandjaitan. 

Kuasa hukum Fatia dan Haris juga memberikan sorotan terhadap keputusan hakim yang tidak terlihat independen dan berani. Hal tersebut terlihat dari keputusan penundaan sidang pada Kamis, 8 Juni 2023 sesuai dengan permohonan Luhut Binsar Panjaitan. Keputusan hakim ini memprihatinkan, sebab tidak konsisten dengan komitmen bersama antara majelis hakim, JPU dan penasihat hukum yang akan menyelenggarakan sidang setiap hari senin. Hakim juga terlihat tidak dapat menegakan marwah dan martabat peradilan serta seakan kalah dengan agenda kekuasaan. 

“Kami berkeberatan karena di pengadilan ini hukum tidak tegak dan kalah dengan individu yang merupakan pejabat publik. Mangkirnya seseorang dengan alasan kenegaraan akan menjadi preseden yang sangat buruk bagi persidangan lainnya ke depan. Pejabat yang sedang menjalani proses hukum akan dengan mudahnya berdalih tugas negara dan mengontrol jalannya persidangan. Pada sidang ini marwah peradilan dan kekuasaan kehakiman sedang dipertaruhkan.” Ujar Kuasa Hukum Fatia dan Haris, Muhammad Isnur. 

Asfinawati menambahkan, “Kami meminta hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini untuk menegakan hukum dan keadilan serta prinsip kedudukan persamaan di depan hukum (equality before the law). Pengaturan jadwal sidang harus bersesuaian dengan jadwal pejabat publik menandakan lembaga peradilan yang kalah dengan kekuasaan. Selanjutnya, secara substansial, kasus ini seharusnya bisa dilepaskan dari kepentingan Luhut Binsar Pandjaitan sebagai pejabat publik. Sebab, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi pasal pencemaran nama baik tidak bisa diterapkan kepada unsur kekuasaan. Luhut harus dihadirkan sebagai warga negara biasa, bukan pejabat publik. Jika paradigma hakim masih menempatkan Luhut sebagai bagian dari kekuasaan, perkara ini seharusnya gugur dari awal.”

 

Narahubung:

– Asfinawati, Tim Advokasi untuk Demokrasi
– Muhammad Isnur, Tim Advokasi untuk Demokrasi