Impunitas Kembali Berjaya, Penculik ditunjuk Jadi Komisaris Utama!

Mayjen TNI (Purn.) Untung Budiharto ditunjuk sebagai Komisaris Utama PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) berdasarkan Keputusan Para Pemegang Saham (KPPS) PT Transjakarta beberapa waktu lalu. Hal ini dapat dilansir melalui akun Instagram resminya @PT_Transjakarta 14 Juni 2023 yang memberikan ucapan selamat kepada Untung Budiharto termasuk Badan Pembina BUMD (BP-BUMD) DKI Jakarta yang juga telah membagikan momen Mayjen Untung ketika baru diamanahkan sebagai Komisaris Utama melalui akun Instagram BP-BUMD @bumd_jakarta dengan tulisan “Penyerahan Keputusan Para Pemegang Saham (KPPS) PT Transportasi Jakarta.” Melihat hal tersebut, Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mengutuk keras dan mengecam pemberian apresiasi dan promosi terhadap Untung Budiharto sebagai Komisaris Utama PT Transportasi Jakarta (Transjakarta). 

Kecaman ini bukan tanpa alasan. Untung Budiharto merupakan salah satu anggota Tim Mawar bentukan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (“Kopassus”), pada saat itu Mayor Jenderal Prabowo Subianto; yang terbukti bersalah dalam kasus Penghilangan Paksa Aktivis 1997 – 1998.  Penunjukan Untung Budiharto sebagai Komisaris Utama tentu menambah deretan luka bagi keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997/1998, karena Negara lagi-lagi mempertontonkan kekebalan hukum (impunitas) bagi pelaku pelanggar HAM di Indonesia. Memang ini bukan kali pertama Untung Budiharto melenggang bebas tanpa hukuman, di era Pemerintahan Joko Widodo dirinya selalu diberikan posisi strategis seperti Sekretaris Utama (Sestama) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme pada 2020-2021, Direktur Operasi dan Latihan Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) pada 2020, Kepala Staf (Kasdam) I/Bukit Barisan pada 2019-2020, Wakil Asisten Operasi KSAD pada 2017-2019 dan terakhir diangkat menjadi Panglima Kodam (Pangdam) Jaya pada tahun 2022. 

Tidak dapat dipungkiri, memberikan promosi jabatan kepada pelaku penculikan akan menciptakan preseden buruk dimana orang-orang yang tidak memiliki integritas untuk memegang suatu jabatan publik/melayani masyarakat Indonesia. Pejabat publik yang terlibat pelanggaran HAM telah menunjukkan ketiadaan integritas yang mendasar dan merusak kepercayaan warga negara yang seharusnya mereka layani. Untung Budiharto terbukti secara sah di Pengadilan Militer berdasarkan Putusan Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta No. PUT.25-16/K-AD/MMT-II/IV/1999 dan Putusan Mahkamah Militer Agung tertanggal 24 Oktober 2000 yang menyatakan bahwa dirinya bersama 10 (sepuluh) terdakwa lain dinyatakan secara sewenang-wenang menggunakan jabatan militernya untuk menculik dan menyiksa masyarakat sipil yang kemudian dinyatakan bersalah dan diberikan sanksi pidana. Namun sejak putusan ini dikeluarkan, Untung Budiharto justru diberikan ruang, melenggang bebas dan diberikan posisi yang strategis.

Guidance Note of the UN Secretary-General terkait Pendekatan PBB untuk Keadilan Transisi menyatakan bahwa institusi publik yang membantu melanggengkan konflik atau aturan yang represif pada masa lalu harus ditransformasi menjadi institusi yang menopang perdamaian, melindungi HAM, dan menumbuhkan budaya menghormati aturan hukum. Adanya mekanisme vetting pada perekrutan pelayan publik, khususnya di sektor keamanan dan peradilan, sangat penting untuk memfasilitasi transformasi ini, dengan memecat dari jabatannya atau tidak merekrut pegawai publik yang secara pribadi bertanggung jawab atas pelanggaran berat HAM. Dengan demikian, adanya proses dan fakta hukum bahwa Mayjen Untung Budiharto merupakan pelaku penghilangan paksa  aktivis 1997 – 1998 semestinya dapat menjadi alasan logis untuk tidak memberikan ruang bagi Penjahat HAM yang menempati ruang dan jabatan sipil.

Selain itu, PT. Transjakarta sebagai bagian dari Badan Usaha Milik Daerah tentunya lebih etis jika diisi oleh orang dari domain sipil bukan oleh kalangan militer atau dalam hal ini purnawirawan TNI. Komisaris Utama dari kalangan militer dikhawatirkan akan mempertebal pendekatan penyelesaian masalah yang cenderung militeristik. Sebelumnya, Transjakarta saat posisi Komisaris Utama masih dijabat oleh Plt. Komisaris yaitu purnawirawan Polri Luky Arliansyah, juga telah menggunakan pendekatan militeristik dalam melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dengan menempatkan petugas keamanan (TNI) di bus di seluruh koridor yang mobile di seluruh bus dan koridor, baik BRT maupun non BRT. Sebagaimana Untung Budiharto sejak masih menjabat Pangdam pada 30 September 2022 telah memulai perjanjian kerjasama antara TNI AD dengan PT Transjakarta yang diwakili Direktur Utama M Yana Aditya terkait bantuan personel pengamanan dari Kodam Jaya kepada Transjakarta.

Padahal, kerjasama perbantuan TNI dalam urusan Harkamtibnas merupakan kemunduran dalam Reformasi Sektor Keamanan sejak 1998 karena hal ini kembali lagi membuka tumpang tindih tugas TNI dan Polri dengan memberikan jalan bagi TNI untuk melakukan tugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat tanpa mematuhi prasyarat yang sudah diatur dalam UU TNI No. 34 Tahun 2004, dimana Pasal 7 ayat (3) telah menegaskan bahwa pelibatan dan perbantuan militer dalam OMSP hanya bisa dan boleh dilakukan jika ada keputusan politik negara. TNI sejatinya merupakan alat negara yang bertugas menjaga pertahanan dan harus tunduk pada kebijakan politik negara, yang tentu saja bukan sebatas dasar perjanjian kerjasama. Pelibatan TNI dalam membantu Polri tidak dapat dimaknai sebagai keikutsertaan TNI dalam perbantuan menjaga keamanan di tengah masyarakat.

Melenggangnya Untung Budiharto menempati posisi baru di pemerintahan tentu hanya akan memberi luka tambahan bagi para keluarga korban yang menanti kejelasan selama kurang lebih 25 tahun. Selain itu, penunjukan orang-orang dengan rekam jejak berdarah semakin meneguhkan bahwa pemerintah khususnya Pemprov DKI Jakarta tidak memiliki rasa simpati terhadap penderitaan yang dialami korban. Sebagai tambahan, kami juga hendak kembali menggarisbawahi hilangnya peran pengawasan Komisi I DPR yang seharusnya bertugas untuk mengoreksi penggunaan militer yang keliru dalam berbagai perjanjian kerjasama TNI dengan institusi lain.

Jakarta, 18 Juni 2023
Badan Pekerja KontraS

 

 

Tioria Pretty
Wakil Koordinator Bidang Advokasi

Narahubung: 0812 8585 7871