Peradilan Militer Gagal Mengungkap Kebenaran dan Memberikan Keadilan: Hukuman Ringan diberikan Kepada Pelaku Penghilangan Paksa Luther dan Apinus Zanambani, serta Penembakan Pendeta Yeremia Zanambani

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam vonis ringan yang diberikan oleh Pengadilan Militer kepada para pelaku penghilangan paksa Luther dan Apinus Zanambani, serta pembunuh Pendeta Yeremia Zanambani yang terjadi di Kabupaten Intan Jaya, Papua medio 2020 yang lalu. Berdasarkan hasil pemantauan yang yang kami dapati, setidaknya terdapat 10 pelaku yang kesemuanya merupakan anggota aktif TNI, dan telah diadili melalui Pengadilan Militer.

Kasus ini bermula pada 21 April 2020, Anggota TNI melakukan sweeping dengan alasan pemeriksaan dan pemenuhan protokol kesehatan covid-19, yang ternyata sebagaimana dijelaskan oleh satgas covid-19 Intan Jaya bahwa kegiatan TNI tersebut bukan bagian dari penanganan covd-19 Intan Jaya. Dalam sweeping tersebut TNI menangkap 3 orang, dimana Luther dan Apinus Zanambani dibawa ke Markas Koramil Sugapa, sementara 1 orang lagi dilepaskan. Setelah penangkapan itu Luther dan Apinus dinyatakan hilang dan tidak ditemukan. Namun belakangan diketahui anggota TNI melakukan penyiksaan terhadap kedua korban yang menyebabkan Apinus Zanambani meninggal di tempat. Sementara itu, Luther Zanambani meninggal di perjalanan ketika hendak dibawa ke Kotis Yonif PR 433 JS Kostrad, dan akhirnya meninggal di perjalanan. Selanjutnya, jenazah kedua korban dibakar dan abu kedua jenazah tersebut dibuang di Sungai Julai, di Distrik Sugapa.

Selanjutnya, pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani terjadi pada 19 September 2020. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh istri Pendeta Yeremia, diketahui ketika itu pendeta Yeremia hendak memberikan makan babi miliknya. Namun hingga menjelang malam hari pendeta Yeremia tidak kunjung pulang, akhirnya istri korban mencoba mendatangi lokasi kandang babi tersebut. Sesampainya di lokasi, ia menemukan tubuh Pendeta Yeremia dalam posisi tengkurap dengan darah mengalir melalui tangan dan kepala serta luka tusuk di bagian punggung. Akibat luka itu, Pendeta Yeremia meninggal dunia sekitar pukul 12 malam WIT.

Lebih jauh berdasarkan hasil penelusuran yang kami lakukan, 10 anggota TNI telah ditetapkan sebagai pelaku serangkaian kejahatan ini dan telah diadili melalui Pengadilan Militer. 7 orang pelaku penghilangan paksa dan pembunuhan Luther dan Apinus Zanamban diadili di Pengadilan Militer III-16 Makassar dengan terbagi menjadi 2 nomor perkara. Pertama, perkara dengan no. 80-K/PM.III-16/AD/VI/2022 mengadili dan memvonis Mufajirin Adi Yatma (Pidana Penjara 8 Bulan), Baharuddin (Pidana Penjara 6 Bulan dengan Pidana Percobaan 8 bulan), Febi Puji Hantara, ST. Han (Pidana Penjara 8 Bulan), Pance Gereuw (Pidana Penjara 6 bulan), dan Oktapianus Sangga Kalatiku (Pidana Penjara 8 Bulan), mereka semua dinyatakan terbukti dan bersalah atas tindakan penganiayaan yang dilakukan bersama-sama yang mengakibatkan kematian. Selanjutnya, dalam perkara No. 79-K/PM.III-16/AD/VI/2022 pelaku Pance Gereuw dan Oktapianus Sangga Kalatiku juga diadili atas kejahatan menyembunyikan kematian secara bersama-sama dan divonis masing-masing pidana penjara 6 bulan dan pidana percobaan 9 bulan. Selain itu pelaku lainnya yakni Muhammad Syamsir dan Josua Manghut Tua juga divonis dengan hukuman yang sama. Sementara itu, pelaku penembakan Pendeta Yeremia Zanambani diadili di Pengadilan Militer III-19 Jayapura dengan nomor perkara 186-K/PM.III-19/AD/VI/2022, dimana pelaku beratas nama Saiful Anwar, Alex Ading, dan Moh. Andi Hasan Basri kesemuanya telah terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan bersama-sama dan divonis hukuman penjara masing-masing 1 tahun. Atas vonis yang diberikan oleh Pengadilan Militer III-19 Jayapura tersebut, Oditur Militer yang bertugas dalam kasus ini telah mengajukan upaya banding. Dalam amar putusan banding nomor 57-K/PMT.III/BDG/AD/IV/2023 memutuskan, “Menguatkan Putusan Pengadilan Militer III-19 Jayapura Nomor 186-K/PM.III-19/ AD/VI/2022 tanggal 30 Januari 2023, untuk seluruhnya”.   

Vonis ringan ini kembali menunjukan jika praktik Peradilan Militer tidak memberikan keadilan kepada korban ataupun keluarga. Hal ini kembali menunjukan jika Peradilan Militer hanyalah panggung sandiwara dan pemberian hukum yang ringan bertujuan untuk melindungi para pelaku dan membuat praktik-praktik impunitas terus terjadi hingga sampai saat ini. Tidak diberhentikannya para pelaku dari keanggotaan mereka sebagai TNI kembali menunjukan bahwa selama ini TNI gagal dalam menunjukan akuntabilitasnya terhadap anggota yang melakukan tindak pidana. Berkaca dari banyaknya kasus yang diadili melalui Peradilan Militer yang tidak transparan, tentunya akan sulit untuk mewujudkan peradilan yang adil dan juga akuntabel.

Selanjutnya, masih belum diratifikasinya Konvensi Internasional Untuk Perlindungan Orang Secara Paksa (International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance/ICPPED) juga menjadi hal penting untuk digaris bawahi. Penghilangan Paksa merupakan tindak pidana yang kompleks, karena didalamnya juga melingkupi beberapa tindak pidana lainnya seperti penculikan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, pembunuhan, dan tindak pidana lainnya. Maka dari itu diperlukan aturan khusus untuk mengakomodir tindak pidana ini. Sebelumnya, Indonesia sudah meratifikasi hampir seluruh Konvensi HAM Internasional, kecuali Konvensi Anti-Penghilangan Paksa. 

Berdasarkan hal tersebut diatas, kami mendesak kepada: 

  1. DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai komitmen negara dalam menjamin ketidak-berulangan praktek penghilangan paksa di Indonesia. 
  2. Pemerintah dan DPR untuk segera melakukan reformasi terhadap sistem peradilan militer dengan merevisi UU Pengadilan Militer 1997, terutama untuk tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam pelanggaran hukum pidana umum sesuai amanat UU TNI 2004

 

Jakarta, 3 Juli 2023
Badan Pekerja KontraS 

 

Tioria Pretty,
Wakil Koordinator Bidang Advokasi

Narahubung: 0896 5158 1587