Sidang Pemeriksaan Saksi dan Ahli dalam Kasus Kriminalisasi Fatia dan Haris: Keterangan Ahli Pidana Agus Surono Ngawur dan Berbahaya Bagi Kebebasan Berekspresi!

Jakarta, 17 Juli 2023 – Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar kembali menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan agenda pemeriksaan ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pada proses sidang kali ini, JPU menghadirkan dua orang ahli yakni Prof Dr. Agus Surono, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Pancasila dan Heri Priyanto yang merupakan Ahli Forensik. Sayangnya, pada persidangan ini, hanya satu ahli yang memberi keterangan, sebab Ahli Heri Priyanto mendapatkan kabar bahwa keluarganya meninggal dunia.

Pada sidang sebelumnya, JPU telah menghadirkan Dr. Ronny dari Universitas Hayam Wuruk sebagai Ahli UU ITE dan Asisda Wahyu dari Universitas Negeri Jakarta sebagai Ahli Bahasa. Dalam keterangannya Ahli Dr Ronny pun menyimpulkan bahwa Fatia dan Haris tidak dapat dikenakan UU ITE. Sementara itu, ahli Bahasa yang dihadirkan tidak cukup kredibel dalam membuat perkara ini menjadi lebih terang dibuktikan dari beberapa pernyataan tidak dijawab secara jelas.

Dalam keterangannya, Ahli Agus Surono menerangkan beberapa hal seperti halnya penjelasan unsur pasal demi kepentingan umum dalam Pasal 310 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pengertian bela paksa, Pasal 27 ayat (3) sebagai delik aduan absolut, definisi terhadap kritik dilihat dari penafsiran hukum, teori pertanggungjawaban pidana, kesengajaan, serta penyertaan tindak pidana.

Jaksa juga berusaha untuk membuktikan bahwa perbuatan Fatia dan Haris lewat podcast telah menimbulkan keonaran di media sosial. Ahli pun dalam keterangannya menyatakan bahwa ‘keonaran’ dapat dibuktikan dengan adanya pro-kontra di tengah masyarakat lewat media sosial. Keterangan ini jelas problematik, sebab dalam penjelasan Pasal XIV UU 1 Tahun 1946 disebutkan keonaran adalah lebih hebat dari pada kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya. Lebih jauh, RKUHP yang baru saja disahkan juga bahkan telah menghapus terminologi keonaran dengan menggantinya dengan kerusuhan. Adapun kata kerusuhan yang dimaksud yakni suatu kondisi yang menimbulkan Kekerasan terhadap orang atau Barang yang dilakukan oleh sekelompok orang paling sedikit tiga orang.[1] Hal tersebut menunjukan ahli yang serampangan menafsirkan keonaran yang dimaksud pada unsur Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946.

Dalam keterangan Ahli Agus Surono, kami menyoroti beberapa hal seperti halnya Ahli tidak dapat menjelaskan secara elaboratif terkait dengan kepentingan umum. Ahli menjelaskan dalam kepentingan umum tergantung pada substansi dan bagaimana cara menyampaikannya. Untuk menguji kepentingan umum pun ahli menyebutkan harus didahului dengan putusan pengadilan. Akan tetapi ketika ditanyakan lebih jauh sumber yang dirujuk, ahli tidak mampu untuk menjawab secara jelas. Keterangan ini kami nilai sebagai bentuk ngawurnya Ahli dalam memberikan pendapat di persidangan, sebab hanya berdasar asumsi pribadi.

Keterangan yang kami anggap bermasalah lainnya yakni ketika Ahli dengan sembarangan menafsirkan Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH. Dalam ketentuan tersebut, telah jelas disebutkan bahwa  setiap orang yang memperjuangkan lingkungan hidup baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Ketika kami meminta pendapat ahli terkait pasal ini pun jawabannya tidak menunjukan kapasitasnya sebagai Ahli.

Selain itu, terdapat keterangan ahli yang kami anggap kontradiktif satu dengan lainnya, dapat dilihat dari pernyataan soal Putusan Mahkamah Konstitusi yang final and binding. Akan tetapi, ketika Ahli ditanya mengenai SKB 3 lembaga tentang UU ITE yang dibuat berdasarkan putusan MK, Ahli tidak menjawab secara klir. Hal  ini menunjukan inkonsistensi pendapat ahli pada keberlakuan putusan MK. Padahal keberlakuan SKB UU ITE tersebut penting, sebab tercantum bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang pencemaran nama baik tidak dapat diperuntukan bagi pendapat, penilaian, hasil evaluasi atau kenyataan.

Lebih jauh, berdasarkan SKB 3 lembaga, spesifiknya pada Pasal 27 ayat (3) huruf f juga secara tegas menyatakan bahwa yang dapat melaporkan atas dasar pencemaran nama baik ialah orang perorang, bukan atas nama jabatan. Akan tetapi ketika Ahli ditanyakan mengenai substansi ini, jawabannya tidak jelas dan cenderung bertele-tele. Padahal dalam bunyi SKB tersebut sangatlah jelas, sehingga Luhut Binsar Panjaitan yang notabene Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi dan kapasitasnya sebagai pejabat publik tidak dapat menggunakan Pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE.

Selanjutnya, kami menilai terdapat pernyataan ahli yang sangat janggal, yakni pada keterangan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan kaitannya dengan asas legalitas. Sebelumnya ahli menyebutkan bahwa delik dalam hukum pidana harus sesuai dengan asas lex certa, lex script dan lex stricta. Artinya, pengaturan unsurnya harus ketat dan seminimal mungkin untuk tidak ditafsirkan secara luas. Akan tetapi, ketika ditanyakan oleh penasihat hukum terdakwa, Pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE sudah sesuai dengan asas legalitas tersebut. Keterangan ini tentu saja problematik, sebab dilihat dari faktanya, pasal ini sudah tidak dimasukan ke dalam KUHP baru karena diakui merupakan pasal karet yang perlu direvisi. Masyarakat dan pemerintah pun senada menyikapi pasal ini, bahkan Presiden sudah mengirimkan Surat Presiden agar DPR segera merevisi pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE, salah satunya Pasal 27 ayat (3).

 

Narahubung:

 

Arif Maulana ((Tim Advokasi untuk Demokrasi)

Andi Muhammad Rezaldy (Tim Advokasi untuk Demokrasi

[1] Lihat Penjelasan Pasal 190 ayat (2) KUHP Baru.