Kejaksaan Agung Harus Menuntaskan Penyidikan dan Penuntutan Pelanggaran HAM Berat serta Berhenti Menjadi Alat Membungkam Kebebasan Sipil

Tanggal 22 Juli setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia yang juga dikenal sebagai Hari Bhakti Adhyaksa. Tahun 2023 menandakan 63 tahun berdirinya institusi Kejaksaan Agung secara resmi. Pada hari Bhakti Adhyaksa 2023, Kejaksaan Agung mengusung tema “Penegakan Hukum yang Tegas dan Humanis Mengawal Pembangunan Nasional.”

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan memberikan beberapa catatan kepada Kejaksaan Agung pada momen hari Bhakti Adhyaksa 2023. Pada momen Hari Bhakti Adhyaksa kami masih menagih komitmen Kejaksaan Agung untuk melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat yang proses penyelidikannya telah diselesaikan oleh Komnas HAM. Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 kewenangan penyidikan dan penuntutan terhadap peristiwa Pelanggaran HAM Berat berada di tangan Jaksa Agung.

Hingga tahun 2023, sebanyak 13 kasus Pelanggaran HAM Berat dibiarkan menggantung tanpa kejelasan oleh Jaksa Agung. Kejaksaan Agung hingga kini masih belum melanjutkan proses penyidikan bahkan mengembalikan berkas penyidikan terhadap sembilan berkas perkara pelanggaran HAM berat, yakni Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Talangsari 1998, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Wasior dan Wamena, Peristiwa Simpang KKA 3 Mei 1999 di Provinsi Aceh dan Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis lainnya di Provinsi Aceh.

Hal tersebut tentu mengakibatkan korban dan keluarga korban terus menunggu kejelasan dan tak memiliki kepastian hukum. Gagalnya Jaksa Agung menghadirkan proses penuntutan yang adil dan transparan pada kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat, selain menunjukkan Kejaksaan Agung abai terhadap kewenangan yang sudah diamanatkan oleh UU Pengadilan HAM, juga menunjukkan bahwa Kejaksaan Agung abai terhadap hak korban untuk memperoleh keadilan dan proses pengungkapan kebenaran secara menyeluruh.

Pada sisi lain tim Penuntut Umum yang dibentuk oleh Jaksa Agung untuk melakukan proses penuntutan pada beberapa kasus Pelanggaran HAM Berat seperti peristiwa Paniai juga nampak tidak serius dalam menghadirkan alat bukti dan menjerat pelaku. Pada persidangan Pengadilan HAM yang dihelat di Makassar tahun 2022 yang lalu, pihak penuntut umum hanya menghadirkan satu terdakwa dan tidak menghadirkan pelaku lapangan sebagai terdakwa. Hal tersebut menunjukkan tidak seriusnya Kejaksaan Agung dalam melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap Pelanggaran HAM Berat.

Tidak seriusnya Kejaksaan Agung dalam melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap Pelanggaran HAM Berat justru berbanding terbalik dengan kasus-kasus yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi. Kejaksaan sangat sigap dalam melakukan penuntutan bagi kasus yang berkaitan dengan ekspresi warga negara dengan menggunakan UU ITE, dalam hal ini Kejaksaan telah berkontribusi bagi terjadinya judicial harassment kepada ekspresi warga negara.

Hal tersebut terlihat ketika Kejaksaan menghadirkan dakwaan terhadap Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar atas laporan Luhut Binsar Panjaitan. Keduanya dilaporkan karena membicarakan hasil riset mengenai pertambangan di Blok Wabu di Kanal YouTube Haris Azhar dan kemudian didakwa menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengenai pencemaran nama baik melalui media elektronik dan Pasal 14 UU No. 1 Tahun 1946 terkait menyebabkan keonaran publik. Kejaksaan seakan mengesampingkan fakta bahwa apa yang dibicarakan keduanya tidak dapat dilepaskan dari hasil riset yang disusun oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil dengan judul “Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya.” Riset tersebut pada intinya berisi hasil kajian yang menunjukkan keterlibatan beberapa mantan dan perwira tinggi militer aktif pada beberapa perusahaan tambang yang beroperasi di Blok Wabu Papua. Oleh hasil riset tersebut, dinyatakan bahwa aktivitas tambang di Blok Wabu berkorelasi dengan terjadinya kerusakan lingkungan serta situasi kekerasan di Papua.

Perlu diperhatikan bahwa Komnas HAM telah menetapkan Fatia dan Haris sebagai Pembela HAM dan pembahasan yang keduanya lakukan merupakan bagian dari upaya untuk memperjuangkan lingkungan hidup, sehingga keduanya seharusnya tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Kejaksaan nampak abai dengan kedua fakta tersebut.

Kejaksaan juga beberapa kali menghadirkan dakwaan dan penuntutan kepada warga yang sedang mempraktekkan hak untuk berkumpul secara damai atau demonstrasi, seakan melupakan bahwa hak untuk berkumpul secara damai merupakan hak sipil yang dijamin oleh Konstitusi.

Kejaksaan kini terlihat begitu sigap dalam menindaklanjuti laporan yang diajukan oleh pejabat negara dan namun begitu lamban untuk mengungkap kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat, pada sisi lain Kejaksaan terkadang seakan menjadi alat untuk membungkam ekspresi warga.

Berdasarkan hal-hal tersebut, pada momen Hari Bhakti Adhyaksa kami mendesak:

Pertama, Kejaksaan Agung untuk secara serius menindaklanjuti hasil penyelidikan Pelanggaran HAM Berat dengan “menaikkan” status perkara menjadi penyidikan dan melakukan penuntutan secara serius bagi tersangka;

Kedua, menggunakan prinsip kehati-hatian dalam perkara yang berhubungan dengan ekspresi warga negara khususnya dan tidak menjadi alat untuk membungkam ekspresi warga negara. Kejaksaan perlu menyadari bahwa hak untuk berekspresi dan berkumpul secara damai merupakan hak konstitusional dan dijamin oleh prinsip-prinsip HAM.

 

Jakarta, 23 Juli 2023
Badan Pekerja KontraS

 

Dimas Bagus Arya, S.H
Koordinator

 

Narahubung: 081310815873