Tewasnya Bripda IDF: Polri Harus Mengusut Peristiwa Secara Transparan dan Akuntabel Serta Mengevaluasi Penggunaan Senjata Api

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti kasus tewasnya Brigadir Polisi Dua Ignatius Dwi Frisco Sirage (Bripda IDF). Bripda IDF tewas tertembak di Rusun Polri, Cikeas Kabupaten Bogor pada hari Minggu 23 Juli 2023. Bripda IDF tewas tertembak dengan luka tembak yang disebut mengenai leher dan menembus telinga Bripda IDF. Berdasarkan keterangan dari Karo Penmas Mabes Polri dan Juru Bicara Densus 88 Polri, Bripda IDF tewas akibat kelalaian dua orang seniornya yakni Bripda IMS yang secara tidak sengaja menembak Bripda IDF dan Bripka IG yang disebut sebagai pemilik senjata. Kedua tersangka kini telah ditangkap dan menjalani penahanan.

KontraS memberikan beberapa catatan mengenai kasus tewasnya Bripda IDF tersebut:

Pertama, kronologis serta penyebab tertembaknya Bripda IDF belum jelas hingga kini. Pada awalnya keluarga Bripda IDF diberikan informasi bahwa Bripda IDF meninggal dunia akibat sakit keras, namun pada ketika keluarga Bripda IDF tiba di Jakarta pihak Kepolisian lalu menyatakan bahwa Bripda IDF meninggal dunia akibat luka tembak. Pihak Polri kemudian hanya menyatakan bahwa Bripda IDF tewas karena secara tidak sengaja tertembak oleh seniornya. Meski begitu berdasarkan keterangan dari ayah korban, Bripda IDF sesungguhnya ditembak oleh seniornya karena adanya ajakan untuk terlibat dalam bisnis senjata api ilegal yang kemudian ditolak oleh Bripda IDF. Penolakan tersebut ditengarai menjadi faktor ditembaknya Bripda IDF. Polri harus dengan serius melakukan penyelidikan dan penyidikan mengenai tewasnya Bripda IDF dan secara transparan memberikan informasi mengenai tewasnya Bripda IDF demi memberikan keadilan kepada keluarga korban. Transparansi dalam pengusutan tindak pidana merupakan langkah awal bagi terwujudnya keadilan dan kepastian hukum bagi korban. Pada sisi lain pihak keluarga Bripda IDF juga meyakini adanya tersangka lain yang terlibat dalam tewasnya Bripda IDF, oleh karena itu Polri juga harus melakukan penyelidikan secara menyeluruh untuk membongkar kemungkinan adanya tersangka lain dalam peristiwa tersebut.

Kedua, peristiwa tembak-menembak yang menewaskan anggota Polri bukan yang pertama kalinya terjadi. Publik masih ingat akan peristiwa tewasnya Brigadir J yang terjadi pada bulan Juli 2022 yang lalu. Kasus tewasnya Bripda IDF ini memiliki pola serupa dengan penembakan terhadap Brigadir J, yang mana terdapat upaya mengaburkan fakta dan peristiwa agar pelaku dapat lepas dari pertanggungjawaban pidana. Selain kasus tewasnya Brigadir J, berdasarkan pemantauan KontraS sepanjang Juli 2022-Juni 2023 telah terjadi 29 Peristiwa extrajudicial killing atau pembunuhan di luar hukum yang melibatkan anggota Polri. Adapun 29 Peristiwa tersebut telah menewaskan setidaknya 41 orang. Kasus tewasnya Bripda IDF merupakan bukti bahwa extrajudicial killing masih terus terjadi hingga kini dan bahkan menelan korban dari institusi Polri itu sendiri. Berulangnya kasus penyalahgunaan senjata api tentu menandakan bahwa institusi Polri nampak tak pernah serius berbenah untuk menghentikan siklus kekerasan yang terus menerus terjadi. 

Ketiga, tewasnya Bripda IDF tidak dapat dilepaskan dari kesewenang-wenangan penggunaan senjata api oleh karena itu Polri harus mengevaluasi penggunaan senjata oleh anggotanya dan tidak perlu ragu untuk memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku penggunaan senjata api secara sewenang-wenang sesuai dengan mekanisme etik dan aturan hukum pidana yang berlaku.

Berkenaan dengan tewasnya Bripda IDF, Koordinator KontraS menyatakan bahwa “Peristiwa ini juga merupakan bukti belum efektifnya implementasi peraturan internal yakni Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Senjata dalam Penggunaan Kekuatan. Tidak berjalannya Perkap ini secara efektif kemudian menimbulkan banyaknya penyalahgunaan secara sewenang-wenang yang dilakukan oleh anggota kepolisian. Pada sisi lain kasus tewasnya Bripda IDF harus dibuka secara transparan dan akuntabel dengan menggunakan proses hukum pidana yang berlaku agar memenuhi keadilan bagi korban dan jangan hanya berakhir pada penghukuman etik/sanksi etik.

Berdasarkan hal-hal tersebut, KontraS mendesak:

Pertama, Polri harus mengusut kasus tewasnya Bripda IDF secara menyeluruh, transparan dan akuntabel demi mewujudkan keadilan kepada keluarga korban;

Kedua, memproses pelaku sesuai aturan hukum pidana dan menempuh mekanisme etik sesuai Peraturan Kepolisian No. 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik dan Komisi Etik Polri. Polri tidak perlu ragu untuk menempuh mekanisme pemecatan kepada anggotanya yang terbukti melakukan pelanggaran etik dan hukum pidana. 

Ketiga,  Kapolri harus melakukan evaluasi terhadap penggunaan senjata api dan memutus kultur kekerasan dalam institusi Polri untuk menghindari jatuhnya korban lain.

Keempat, Lembaga pengawas eksternal institusi Kepolisian seperti halnya Kompolnas RI dan Komnas HAM untuk melakukan investigasi guna mencari kebenaran peristiwa pada kasus kematian anggota polisi ini. 

 

Jakarta, 28 Juli 2023
Badan Pekerja KontraS

 

Dimas Bagus Arya, S.H
Koordinator