10 Catatan KontraS atas Masifnya Fenomena Kekerasan, Kriminalisasi dan Pembungkaman

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam segala bentuk pembungkaman dan kekerasan yang menyasar para Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) belakangan ini. Setidaknya terdapat beberapa kasus yang menjadi perhatian publik – kaitannya dengan kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul secara damai. Rentetan peristiwa yang ada kian menegaskan bahwa fenomena penyempitan ruang kebebasan sipil (shrinking civic space) semakin nyata terjadi di periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo. 

Situasi ini diafirmasi lewat sejumlah indeks demokrasi, misalnya dari Economist Intelligence Unit (EIU), yang menyatakan kinerja demokrasi Indonesia bergerak stagnan. Indonesia menempati angka 6,71 poin dan masih belum bergerak dari kategori demokrasi cacat (flawed demokrasi). Begitupun jika merujuk data dari Freedom House yang menunjukan penurunan angka kembali di tahun 2023 dengan 58/100. Adapun komponen signifikan yang menyebabkan rendahnya anga ini yakni civic space. Indonesia pun belum dapat memperbaiki situasi dengan keluar dari klasifikasi negara yang tergolong partly free. 

Dalam kurun waktu Januari 2022 – Juni 2023, kami mencatat setidaknya terdapat 183 peristiwa pelanggaran hak terhadap kebebasan berekspresi, mulai dari serangan fisik, digital, penggunaan perangkat hukum, hingga intimidasi. Adapun sejumlah peristiwa tersebut telah menimbulkan setidaknya 272 korban luka-luka dan 3 lainnya tewas. Sementara itu, ragam peristiwa yang terjadi mengakibatkan 967 orang ditangkap. Dalam catatan kami, Kepolisian menjadi pelaku dominan dengan terlibat pada 128 peristiwa, diikuti unsur pemerintah lain dengan 27 peristiwa dan swasta (perusahaan) dengan 24 peristiwa. 

Krisis Partisipasi Publik: Kriminalisasi dan Kekerasan Dinormalisasi

Adapun beberapa kasus yang terjadi belakangan dan menjadi perhatian kami seperti kriminalisasi terhadap petani Serikat Pekerja Tani Karawang (SEPETAK) ditandai dari panggilan dari Kepolisian Resor (Polres) Karawang. Pemanggilan ini disinyalir ada kaitannya dengan aksi SEPETAK di depan BPN Karawang dilanjutkan di lingkungan kantor Pemerintah Daerah (Pemda). Selain itu, seorang aktivis lingkungan di Riau, Arsyad Rachim, ditemukan meninggal dalam kondisi bersimbah darah pada 4 Juli 2023 sekitar pukul 17.35 WIB. Berdasarkan hasil otopsi, ditemukan 9 bekas bacokan parang pada tubuh Arsyad Rachim. 

Berbagai kasus kriminalisasi pun masih terus berjalan pada proses peradilan seperti halnya Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Kasus yang bermula pada penyampaian ekspresi lewat medium podcast di youtube dengan membahas konflik bisnis pertambangan – kaitannya dengan penempatan militer yang berbasis riset berujung pada laporan polisi atas dugaan pencemaran nama baik. Pelapornya pun pejabat publik yakni Luhut Binsar Panjaitan yang merupakan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves). Saat ini, proses persidangan masih berjalan dengan agenda pemeriksaan saksi dan ahli. 

Selain Fatia-Haris, kasus kriminalisasi terhadap tiga Warga Pakel, Banyuwangi pun masih terus berjalan. Sebelumnya, ketiganya ditangkap pada 3 Februari 2023 lalu dengan persangkaan melanggar Pasal 14 dan Pasal 15 UU Nomor 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dengan ancaman pidana sampai 10 tahun penjara. Selanjutnya, kasus kriminalisasi terhadap Buruh PT Gunbuster Nickel Industri (GNI) juga terus berjalan di Pengadilan Negeri Poso. Kasus ini bermula dari adanya pemutusan kontrak sewenang-wenang dari perusahaan terhadap beberapa karyawan akibat mogok kerja. Setidaknya Minggu Bulu dan Amirullah bersama anggota PSP SPN PT. GNI dan buruh PT. GNI lainnya melakukan aksi mogok kerja lanjutan pada 14 Januari 2023. Pasca kerusuhan pecah, sejumlah buruh ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka secara sewenang-wenang. 

Begitupun dalam kasus Rocky Gerung, setelah kritiknya terhadap Presiden terkait Ibu Kota Negara (IKN). Pasca video kritiknya tersebar di media sosial, Rocky dilaporkan oleh sejumlah kelompok hingga partai politik atas dugaan penyebaran berita bohong. Tidak sampai disitu, teror terus dilakukan terhadap Rocky baik pada ponsel pribadinya hingga rumahnya yang didatangi sejumlah massa. 

Lebih jauh Kepolisian seringkali menangkap massa dengan jumlah banyak dan melalui cara eksesif dan tidak sesuai dengan prosedur baku. Sebagai contoh, 29 warga Desa Teluk Raya Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi ditangkap pada 20 Juli 2023 lalu oleh Anggota Polisi dari Kepolisian Resor (Polres) Muaro Jambi dan Kepolisian Daerah (Polda) Jambi. Kami mendapat informasi bahwa dalam pengamanan aksi tersebut Anggota Kepolisian yang diterjunkan sekitar 700 Personil. Memprihatinkannya, tindakan represif tersebut dilakukan saat masyarakat tengah memperingati momentum 1 Muharram. Teranyar, Massa Aksi dari Air Bangis, Pasaman Barat, Sumatera Barat yang melakukan demonstrasi di depan Kantor Gubernur Sumatera Barat mengalami represi dan penangkapan sewenang-wenang oleh Polda Sumatera Barat. Aksi kekerasan dan penangkapan dilakukan terhadap masyarakat, mahasiswa hingga pendamping hukum. 

Atas dasar berbagai kasus serangan, kriminalisasi, dan pembungkaman tersebut, KontraS memberikan catatan:

Pertama, rangkaian represi terhadap kebebasan berekspresi menandai fenomena menguatnya ciri-ciri pemerintahan otoritarian. Perbaikan dalam tataran regulasi, kebijakan maupun langkah teknis di lapangan dalam rangka penghormatan hak berekspresi tak kunjung dilakukan. Pemerintah juga gagal menghadirkan ruang aman bagi publik untuk berpartisipasi secara bermakna dan bermanfaat (meaningful and worthwhile) dalam pengambilan keputusan. Selain itu, situasi diperparah dengan dilemahkannya masyarakat sipil lewat pembatasan legal atau dalih penegakan hukum sehingga memperkuat fenomena praktik autocratic legalism. Hal ini pada akhirnya menciptakan iklim ketakutan dan mematikan keinginan partisipasi dalam rangka melakukan pengawasan dan kontrol publik.

Kedua, berbagai serangan, kriminalisasi dan kekerasan merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap kebebasan berekspresi. Padahal hak untuk menyampaikan pendapat telah dijamin oleh berbagai instrumen baik nasional maupun internasional seperti halnya Pasal 28 E Ayat (3) Undang-Undang Dasar, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Kovenan Hak Sipil dan Politik sebagaimana telah Indonesia ratifikasi lewat UU No. 12 Tahun 2005. Hal ini tercermin dalam berbagai kasus seperti penyerangan Jurnalis Senior Papua, Victor Mambor lewat bom di dekat kediamannya. Teror ini merupakan bentuk serangan yang serius dan menimbulkan efek ketakutan bagi kalangan aktivis khususnya di Papua.

Ketiga, serangan berlangsung sistemik dan meluas mencakup berbagai isu-isu publik. Pola yang terjadi belakangan ini, serangan menyasar pada multi sektor, baik kaitannya dengan lingkungan hidup, konflik agraria, sektor pendidikan, sektor pers hingga sengketa perburuhan. Tidak sampai disitu, aktor negara berperan besar dan secara masif terlibat dalam berbagai peristiwa yang ada. Hal ini dapat dikatakan merupakan agenda pemerintah untuk menjaga stabilitas keamanan, akan tetapi dengan menerabas sistem hukum dan prinsip hak asasi manusia. Pola semacam ini terjadi misalnya pada saat berlangsungnya KTT Asean, Mei 2023 lalu. Saat itu, terjadi dugaan upaya kriminalisasi oleh Aparat Kepolisian Polres Manggarai Barat terhadap empat warga Labuan Bajo, yaitu Ladislaus Jeharun, Dionisius Parera, Viktor Frumentus, dan Dominikus Safio Sion oleh Polres Manggarai Barat pada 6 Mei 2023. Mereka dipanggil polisi dengan dugaan tindak pidana penghasutan. Adapun jurnalis yang memberitakan suara masyarakat menjadi korban peretasan dan intimidasi. Terbaru, empat aktivis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) juga diduga mengalami peretasan.

Keempat, pembungkaman mayoritas diiringi dengan upaya paksa brutal dan eksesif. Kekerasan eksesif yang terjadi di lapangan sebagai bagian dari excessive use of force maupun kriminalisasi seringkali disertai dengan penangkapan serta penahanan – yang dilakukan secara sewenang-wenang. Sebagai contoh, penangkapan polisi terhadap demonstran tidak dibarengi dengan alasan yang jelas. Seringkali Kepolisian mendalihkan bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk pengamanan. Selain itu, penangkapan juga biasanya tanpa disertai surat perintah. Hal ini jelas melanggar prosedur hukum acara sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Aksi upaya paksa dengan kekerasan terjadi misalnya terhadap warga Dusun Pematang Bedaro, Desa Teluk Rasa, Kumpeh Mulu, Muaro Jambi, Jambi. Pada 20 Juli 2023 lalu, sebanyak 29 warga, termasuk dua anak-anak berusia enam tahun ditangkap dan dibawa ke Polda Jambi.

Kelima, penggunaan perangkat hukum untuk membungkam (judicial harassment) sebagai pola yang masif. Bentuk pembungkaman yang sebelumnya berfokus pada serangan fisik, kini perlahan telah bergeser. Selain penyerangan secara digital, instrumen hukum seringkali dijadikan sebagai senjata ampuh untuk membungkam publik seperti halnya dengan UU ITE dan delik penyebaran berita bohong. Terlebih, banyak kasus yang menyasar pada pembela lingkungan (strategic lawsuit against public participation), kendati telah ada Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 yang menjamin setiap orang yang mempertahankan lingkungan hidup tak boleh dipidana ataupun dituntut secara perdata. Salah satu kasusnya tentu saja kriminalisasi yang terus berlangsung terhadap Fatia-Haris dengan menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Begitupun Ernawati yang melakukan kritik terhadap Polisi dan memviralkan tagar #PercumaLaporPolisi di media sosialnya. Ernawati justru dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik. Pembaharuan hukum pidana lewat KUHP baru pun tidak menjawab permasalahan dan justru makin berpotensi melanggengkan fenomena ini, sebab masih mengandung pasal-pasal anti demokrasi. 

Keenam, dugaan keberpihakan aparat khususnya Polisi pada pemilik modal. Berbagai sengketa di lapangan yang akhirnya menciptakan konflik tak jarang melibatkan korporasi. Aparat keamanan yang seharusnya ada dalam posisi netral kerap kali melakukan aksi represif terhadap masyarakat yang sedang mempertahankan lingkungan atau tanahnya. Selain itu, kultur kekerasan aparat tanpa koreksi dan pengawasan yang memadai menandakan terdapat urgensi untuk dilakukannya reformasi Polri. 

Ketujuh, keberulangan peristiwa secara terus menerus disebabkan nihilnya akuntabilitas dan lemahnya sistem pengawasan eksternal (oversight mechanism). Ragam tindakan pelanggaran aparat khususnya yang berkaitan dengan kekerasan minim disertai dengan proses penegakan hukum yang memadai. Pelanggaran tersebut bahkan dalam beberapa kasus dibiarkan bahkan dilegalisasi. Hal ini akhirnya menimbulkan normalisasi kekerasan, khususnya dalam menghadapi aksi penyampaian pendapat oleh masyarakat. Terlebih, lembaga pengawas institusi kepolisian dapat dikatakan disfungsional. Kewenangannya hanya terbatas pada pemberian rekomendasi, akan tetapi rekomendasi tersebut tidak bersifat binding. Sehingga, implementasi dari rekomendasi tersebut tak wajib dilakukan oleh institusi Kepolisian. 

Kedelapan, tiadanya regulasi proteksi memperpanjang posisi Pembela HAM pada kerentanan. Saat ini, instrumen di level UU belum mengakui dan menjamin keberadaan dari Pembela HAM. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM baru mengatur mengenai partisipasi masyarakat (public participation). Walaupun berbagai norma sudah ada seperti halnya dalam UU PPLH, UU Pers, UU Advokat, nyatanya belum menjamin keamanan dan keselamatan Pembela HAM dalam melangsungkan kerja-kerjanya. Kosongnya instrumen hukum ini yang mempersulit Pembela HAM dalam membela diri ketika terjadi kriminalisasi. Sehingga perlu diduga terdapat keengganan dari negara untuk melaksanakan kewajiban pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap nilai hak asasi manusia.

Kesembilan, serangan sangat masif pada mereka yang berjuang di isu sensitif. Kelompok masyarakat yang memperjuangkan hak dalam isu-isu sensitif kerap mendapatkan serangan berupa persekusi dan stigmatisasi. Hal tersebut misalnya menimpa kelompok LGBTIQ yang banyak sekali mendapatkan ujaran kebencian setelah gagalnya pelaksanaan ASEAN Advocacy Week yang sedianya digelar pada 17 – 21 Juli 2023. Sayangnya negara lewat aparatnya nampak tak berkutik. Hal ini hanya akan memperkuat potensi  munculnya tindakan diskriminatif, kekerasan dan mereduksi ruang gerak masyarakat.

Kesepuluh, tertutupnya ruang diskusi dan terbangunnya ‘alergi’ terhadap kritik di tengah masyarakat. Dalam beberapa kasus, kritik yang disampaikan oleh seseorang dinilai berbahaya. Kritik yang nadanya keras pun hampir pasti disambut dengan teror atau bahkan laporan polisi. Selain itu, alih-alih membangun diskusi publik atas kritik, terkesan ada upaya standarisasi terhadap kritik yang disampaikan masyarakat, seperti harus sopan, membangun, dan berbasis data. Tak jarang kritik atau ekspresi masyarakat seringkali harus berhadap-hadapan dengan aktor non negara seperti organisasi kemasyarakatan (ormas). Bahkan, ancaman terhadap pengkritik pun muncul dari mulut pejabat publik seperti halnya Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Jenderal Moeldoko dalam kasus Rocky Gerung.

Berbagai temuan dan pola ini akan sangat berbahaya jika tidak dihentikan. Pemerintah harus mengambil sikap dengan menjamin ruang sipil, sebab dimensi kebebasan ini memegang peranan esensial dalam demokrasi. Check and balances yang melibatkan masyarakat begitu penting di tengah tumpulnya kekuatan oposisi di parlemen. Diam atau pembiaran terhadap buruknya situasi ini akhirnya menempatkan kebebasan di Indonesia ada pada situasi penyempitan (shrinking) bahkan menuju penutupan (closing) ruang sipil. Hal ini tentu akan jadi legacy buruk bagi Presiden Jokowi yang akan mengakhiri kepemimpinannya di tahun 2024 mendatang. 

Atas dasar uraian di atas, KontraS mendesak berbagai pihak:

Pertama, Presiden Republik Indonesia untuk memastikan agar aparatur di bawah kendalinya menghentikan segala bentuk upaya pembungkaman kritik lewat kekerasan, kriminalisasi dan menjamin kebebasan sipil warga negara;

Kedua, Kepolisian Republik Indonesia untuk berhenti melakukan tindakan eksesif dan represif di lapangan ketika menghadapi demonstrasi serta ekspresi publik. Polisi sebagai aparat penegak hukum juga harus berhenti menggunakan perangkat hukum untuk melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat. Lebih jauh, setiap bentuk pelanggaran harus ditindak lewat proses yang transparan dan memenuhi standar akuntabilitas publik; 

Ketiga, DPR RI untuk melakukan pengawasan secara maksimal terhadap setiap regulasi dan kebijakan pemerintah yang terbukti represif dan membatasi kritik masyarakat. Selain itu, DPR RI yang memiliki kewenangan legislasi harus menghadirkan produk hukum yang dapat melindungi kebebasan masyarakat, khususnya bagi Pembela HAM. 

 

Jakarta, 8 Agustus 2023
Badan Pekerja KontraS

 

 

Dimas Bagus Arya, S.H
Koordinator

 

Narahubung: +62 821-2203-1647