Sidang Pemeriksaan Ahli dalam Kasus Kriminalisasi Fatia dan Haris: Poin Keterangan Ahli Tidak Signifikan Membuat Terang Perkara dan Ungkap Fakta Bahwa Penempatan Militer di Papua Ilegal

Jakarta, 31 Juli 2023 – Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar kembali menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan agenda pemeriksaan ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pada sidang kali ini, Jaksa menghadirkan sebanyak satu orang Ahli yakni Mayor Jenderal (Mayjen) Heri Wiranto yang merupakan Ahli Pertahanan dari Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam). Pada sidang sebelumnya, JPU gagal menghadirkan satupun ahli. Jaksa menyatakan bahwa Ahli sudah dipanggil sesuai prosedur, namun tidak ada jawaban dari yang bersangkutan.

Pada proses sidang kali ini, Ahli Heri Wiranto yang merupakan Deputi Bidang Koordinasi Pertahanan Negara Kemenko Polhukam menyatakan dirinya sebagai Ahli yang mewakili Kemenko Polhukam atas dasar surat tugas. Hal ini tentu saja problematik, sebab kasus yang sedang berjalan melibatkan pejabat publik yakni Luhut Binsar Panjaitan selaku Menko Kemaritiman dan Investasi. Ahli Heri Wiranto pun saat ini masih berstatus TNI aktif, sehingga kuat sekali potensi konflik kepentingan (conflict of interest) dalam keterangannya. Jika penuntut umum serius ingin membuktikan fakta, ahli yang dihadirkan seharusnya betul-betul kapabel dalam melihat permasalahan ekonomi politik pertahanan sebagaimana yang tertulis pada riset koalisi masyarakat sipil. 

Kami turut meragukan kapasitas keahlian Ahli kali ini, sebab Ahli belum pernah sekalipun menerbitkan jurnal, buku atau tulisan ilmiah berkaitan dengan pertahanan. Begitupun ketika kami menanyakan pengalaman dalam membaca sejumlah literatur, Ahli juga mengaku tak pernah membaca. Ahli bahkan mengatakan tidak mengerti persoalan reformasi militer. Di awal persidangan, bahkan ahli hanya membaca bunyi Undang-Undang yang ditampilkan oleh penuntut umum sehingga kami menyampaikan keberatan dan meragukan kapasitas Ahli.  

Secara umum, ahli menjelaskan definisi pertahanan negara, penyelenggaraan pertahanan negara oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), operasi militer untuk perang maupun selain perang sesuai dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, pengamanan Objek Vital Nasional (Obvitnas) berdasarkan Keputusan Presiden No. 63 Tahun 2004. 

Berdasarkan keterangan Ahli, kami coba menggali pengetahuan dan pendapat ahli mengenai operasi militer selain perang berdasarkan keputusan politik negara, definisi ancaman, ancaman militer/non-militer, ancaman konvensional dan non konvensional.  Ahli menyatakan bahwa seluruh operasi militer selain perang, berdasarkan UU TNI harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI). Akan tetapi Ahli tidak menjelaskan secara rinci bentuk dan dokumen persetujuan yang dimaksud dalam UU TNI. 

Ahli juga menyampaikan bahwa operasi militer baik perang dan selain perang pasti dibarengi dengan pengerahan prajurit. Maka dapat dimaknai bahwa pengerahan yang tidak berdasar keputusan politik negara dan persetujuan DPR RI, dapat disebut sebagai operasi militer illegal. Hal tersebut sejalan dengan temuan riset berbagai organisasi masyarakat sipil yang mengungkap pengerahan militer secara masif ke Papua, akan tetapi tidak didahului oleh prosedural yang sah menurut ketentuan perundang-undangan. 

Ketika ditanyakan apakah sektor bisnis dapat meminta pengamanan kepada TNI, Ahli menjawab bahwa perintah adanya operasi ada pada kewenangan Presiden, dan penggunaan ada pada Panglima TNI. Pengamanan terhadap Obvitnas dapat dilakukan atas dasar tugas perbantuan TNI pada Polri. Secara rinci, Polri harus meminta perbantuan tersebut kepada Panglima TNI. Adapun mekanisme dan tata cara perbantuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Panglima TNI. Akan tetapi saat ditanya peraturan TNI nomor berapa, ahli mengaku lupa. 

Dalam kaitannya dengan penempatan militer ke Papua, Ahli menyatakan bahwa pengerahan TNI dalam operasi di Papua dilandaskan Inpres No. 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Berdasarkan keterangan Ahli, TNI berdasarkan Inpres ini utamanya untuk membantu pengamanan dalam percepatan pembangunan Papua. Padahal, Inpres bukan merupakan produk hukum yang tidak dapat dikategorikan keputusan politik negara sesuai dengan UU TNI.

Sementara itu, untuk konteks keperluan pembuktian, kami menilai bahwa Ahli tidak menjelaskan poin apapun yang berkontribusi besar bagi terangnya perkara. Dalam persidangan ini pun terdapat kejadian konyol yakni saat Jaksa sempat meminta sidang diselenggarakan tertutup dengan alasan membahas pertahanan negara. Hal ini kembali mempertontonkan ketidakpahaman JPU terkait konteks permasalahan dari kasus ini. Dengan demikian, semakin memperlihatkan bahwa kasus ini hanyalah titipan dan terkesan dipaksakan. 

 

Narahubung:

 

Nurkholis Hidayat (Tim Advokasi untuk Demokrasi)

Asfinawati (Tim Advokasi untuk Demokrasi)

Muhammad Isnur (Tim Advokasi untuk Demokrasi)

Andi M Rezaldy (Tim Advokasi untuk Demokrasi)