Revisi UU Peradilan Militer sudah Mendesak: Menkopolhukam Harus Segera Lakukan Inisiatif atas Usulan Revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer

Jakarta, 16 Agustus 2023 – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan telah mengirimkan surat kepada Menteri Koordinator Bidang, Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) untuk segera melakukan inisiatif atas  usulan revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU 31/1997). Mengingat Anggota Komisi I DPR RI, Dave Akbarshah Fikarno Laksono menyatakan bahwa DPR terbuka untuk membahas revisi UU 31/1997.  

Surat ini kami sampaikan oleh karena sebelumnya adanya respon positif dari Wakil Presiden dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan untuk merevisi UU 31/1997. Wacana tersebut muncul pasca Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK terhadap Kabasarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto terkait dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas. Atas penangkapan tersebut, TNI menyatakan kedua prajurit TNI tersebut harus diproses dan diadili melalui peradilan militer bukan peradilan umum. 

Kami menilai bahwa revisi UU 31/1997 ini harus segera dilakukan mengingat Undang-Undang tersebut sudah tidak relevan pasca lahirnya beberapa Undang-Undang baru seperti Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, selain itu dalam penerapannya juga terlihat jika UU 31/1997 memiliki permasalahan norma dengan peraturan perundang-undangan lainnya dan tidak efektif dalam pelaksanaannya. Ketidaksamaan di muka hukum dan privilege hukum bagi anggota TNI harus diakhiri. Mandeknya upaya revisi UU 31/1997 menjadi hambatan signifikan dalam upaya reformasi TNI, sebab ini juga berkaitan dengan penempatan prajurit TNI pada jabatan sipil yang masih terus berlanjut. 

Bahwa dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR Nomor VII tahun 2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia  dan Pasal 65 ayat (2)UU 34/2004 telah mengatur secara jelas bahwa Prajurit TNI harus tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut seyogyanya dapat menjadi sebuah landasan dalam melaksanakan prinsip perlakuan yang sama di depan hukum. Pemerintah dan DPR tidak bisa membiarkan konflik norma dalam berbagai UU di atas terus menjadi instrumen ketidakadilan yang melembaga. 

Selain itu, kami menilai bahwa pelaksanaan sistem peradilan militer ini sangat bermasalah terutama dalam konteks isu hak asasi manusia. Hal ini dikarenakan peradilan militer yang tidak dapat memenuhi prinsip peradilan yang kompeten, imparsial, dan juga independen. Berdasarkan hasil pemantauan yang kami lakukan sejak Oktober 2021- September 2022, setidaknya terdapat 65 kasus yang diadili melalui peradilan militer dengan melibatkan 152 terdakwa. Namun hukuman yang diberikan kepada terdakwa sangatlah ringan dengan mayoritas vonis hanya berupa penjara dengan hitungan bulan. 

Berdasarkan hal tersebut, kami mendesak Menkopolhukam untuk segera menindaklanjuti surat yang kami kirimkan dengan melakukan inisiatif  atas usulan revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Lebih lanjut, kami juga mendorong agar proses usulan revisi tersebut dilakukan secara terbuka dan melibatkan masyarakat sipil dengan mengedepankan prinsip meaningful participation (partisipasi yang bermakna).

Jakarta, 16 Agustus 2023
Hormat kami, 

 

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan    KontraS, IMPARSIAL, YLBHI, LBH Jakarta, LBH Papua, LBH Malang, ICW, LBH Masyarakat, ELSAM, HRWG, Public Virtue Institute, SETARA Institute, WALHI Eknas, PBHI Nasional, ICJR, Centra Initiative, Aliansi Jurnalis Independen Jakarta, Forum de facto. 

 

 Narahubung:
Ikhsan Yosarie  (SETARA Institute)
Andrie Yunus  (KontraS)
Annisa Azzahra  (PBHI)