Sidang Pemeriksaan Terdakwa dalam Kasus Kriminalisasi Fatia dan Haris: Fatia Maulidiyanti Bantah Cemarkan Nama Baik Luhut, Perbuatan Fatia dan Haris Murni Perjuangkan Kepentingan Umum

Jakarta, 28 Agustus 2023 – Proses persidangan Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar dengan agenda pemeriksaan terdakwa kembali dilanjutkan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Sebelumnya, Haris Azhar telah diperiksa dan memberikan kesaksian terlebih dahulu sesuai dengan urutan nomor register perkara. Akan tetapi sidang pemeriksaan terhadap Fatia yang seharusnya diagendakan minggu lalu, harus ditunda oleh Majelis Hakim dengan alasan waktu yang terbatas.

Melanjutkan sidang sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mendapat giliran bertanya terlebih dahulu menggali fakta berkaitan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam penulisan kajian cepat beserta perannya, mekanisme penulisan, tahapan perekaman podcast, dan alasan Fatia mewakili 9 lembaga masyarakat sipil. Lebih lanjut, Jaksa menggali data keterlibatan perusahaan Luhut Binsar Pandjaitan yakni PT Toba Sejahtera. 

Sama seperti sidang sebelumnya yakni pemeriksaan terhadap Haris Azhar, Jaksa sangat bertele-tele pada saat bertanya kepada Fatia, terlihat saat jaksa mencecar soal judul podcast dan kebenaran dari hasil riset. Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh JPU, kami mendapatkan kesan bahwa Jaksa tidak mengerti konsep dasar dilakukannya riset. Hal ini terlihat dari berbagai pertanyaan seperti pembagian peran dalam menulis, kapasitas masing-masing penulis, kekurangan dan kelebihan kajian cepat hingga standar dalam diseminasi riset. Pertanyaan yang sudah disampaikan pun diulang-ulang, padahal sudah dijawab secara jelas. Jaksa juga terlihat menggiring bahwa antara kajian cepat dan podcast tidak ada kaitannya dilihat dari perbedaan antara ucapan dan tulisan. Lebih lanjut, Jaksa menanyakan pertanyaan yang sangat konyol seperti halnya alasan tidak diundangnya Luhut dalam podcast. 

Dalam sidang ini Fatia, menunjukan potensi conflict of interest, indikasi terlibatnya pejabat tinggi terkait dengan kepentingan bisnis pertambangan di Intan Jaya, Papua. Keterlibatan beberapa Purnawirawan Jenderal tentu memberikan pengaruh terhadap lancarnya aktivitas pertambangan yang terjadi di Papua. Keberadaan Purnawirawan dalam beberapa kasus nyatanya dapat melakukan ‘back-up’ untuk beberapa kepentingan perusahaan seperti pengamanan dan perizinan. Berkali-kali Fatia juga menegaskan bahwa podcast yang menyebut nama Luhut Binsar Panjaitan bukan sebagai pribadi, melainkan karena kedudukannya sebagai pejabat publik. 

Selain itu, dalam keterangannya Fatia menegaskan bahwa advokasi terhadap kasus yang tercantum pada kajian cepat sempat terhenti karena adanya somasi yang dilayangkan oleh Luhut Binsar Panjaitan. Situasi akhirnya diperparah dengan pelaporan polisi hingga kasus ini sampai ke tahap persidangan.

Dalam sidang ini, Fatia menyampaikan bahwa tidak menyesali perbuatannya karena apa yang dilakukan merupakan penyampaian pendapat sebagai bagian dari hak asasi manusia dan upaya untuk menyuarakan permasalahan di Papua. Selain itu, hal-hal yang disampaikan oleh Fatia berbasis pada hasil riset dalam hal ini kajian cepat. 

Perdebatan terjadi ketika Jaksa menanyakan nama Luhut dalam dokumen West wits mining.  Dalam dokumen tersebut, nama Luhut memang tidak disebutkan secara eksplisit, melainkan hanya menyebutkan ‘senior minister’. Akan tetapi, petunjuk tersebut mengarah ke Luhut lewat perusahaannya dibuktikan oleh beberapa minutes of meeting antara PT Madina Qurata (PT MQ) dan PT Tobacom Del Mandiri (PT TDM). Pada intinya, minutes of meeting tersebut mengafirmasi hasil temuan dalam kajian cepat yang mana PT TDM akan mendapatkan 30% saham setelah menjalankan kewajibannya untuk melakukan clean and clear terhadap lahan konsesi.  

Di momen ini juga,  Jaksa terkesan memaksa dan bertele-tele dengan mengarahkan bahwa Luhut belum menerima 30% saham atas upah yang seharusnya didapatkan hasil dari Clean and Clear. Lebih jauh, Jaksa terus menanyakan secara terus menerus mengenai maksud terminologi ‘penjahat’ yang diucapkan dalam podcast. Padahal sejak awal, bahkan sedari proses permintaan BAP di Polda Metro Jaya, kata penjahat tidak dipermasalahkan sama sekali karena konteksnya sedang bercanda dan mengarah pada tindakan pengambilalihan perusahaan yang notabenenya tidak mungkin terjadi. Selain itu, Fatia menjelaskan bahwa yang dimaksud penjahat adalah berbagai perusahaan yang melakukan aktivitas bisnis dan mengabaikan HAM sehingga menimbulkan bencana kemanusiaan serta kerusakan lingkungan hidup di Papua. 

Dalam persidangan ini, Fatia bersama kuasa hukumnya berusaha menunjukan sejumlah alat bukti yang semakin memperkuat keterlibatan perusahaan tambang milik luhut di Papua. Hal tersebut merupakan perwujudan hak Fatia sebagai terdakwa untuk mengusahakan alat bukti yang menguntungkan sebagaimana yang diatur KUHAP. Namun, ketika kami memperlihatkan bukti-bukti tersebut di hadapan majelis hakim, jaksa justru bertindak tak acuh dengan menyebut bahwa ‘tidak tertarik’ pada bukti tersebut. Kami mengecam keras sikap jaksa tersebut, sebab menunjukan tindakan ketidak profesionalan profesi terhadap pemberian layanan prima yang harus menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia sesuai Kode Perilaku Jaksa. Sikap ini tentu bentuk arogansi Jaksa dalam kaitan tugasnya menemukan kebenaran materil. 

Dalam keterangannya, Fatia menjelaskan bahwa kerja-kerja Pembela HAM memiliki resiko kerja yang cukup besar berkaca pada kasus-kasus yang telah terjadi. Seringkali masyarakat sipil yang bekerja di sektor kemanusiaan mendapatkan ancaman dan stigmatisasi sebagai ‘musuh negara’. Padahal, hakikatnya kerja-kerja pembela HAM sebetulnya berkaitan dengan kepentingan publik yang dapat dijadikan koreksi terhadap pemerintah. Kasus kriminalisasi yang sedang berjalan saat ini yang menimpa Fatia dan Haris tentu merupakan bagian dari resiko tersebut. 

Sebuah riset seharusnya dijawab dengan riset tandingan lewat mekanisme hak jawab apapun caranya, bukan justru melakukan somasi dan laporan polisi. Sebab, permasalahan hukum akan mengakibatkan berhentinya diskursus terhadap substansi riset. Selain itu, advokasi pada temuan dalam riset juga beralih fokusnya kepada advokasi kasus kriminalisasi yang ada. Luhut juga bukan hanya satu-satunya pejabat publik yang disebutkan dalam hasil riset. Akan tetapi, hanya Luhut yang melaporkan Fatia dan Haris atas tuduhan kasus pencemaran nama baik, alih-alih mengklarifikasi lewat platform publik lainnya. Selain itu, berdasarkan keterangan Fatia, berbagai pejabat publik yang disebutkan namanya dalam riset ataupun podcast pun hanya melakukan klarifikasi terhadap data, tidak ada satupun yang melakukan laporan polisi. 

Dalam persidangan ini, berkali-kali ditegaskan podcast telah cukup menggambarkan isi kajian cepat. Penyebutan Luhut dalam judul podcast youtube, semata-mata karena Luhut memang tercantum namanya dalam kajian cepat dan disebutkan selama perbincangan di podcast. Lebih lanjut, Fatia dan Haris tidak ada maksud untuk mencemarkan nama baik Luhut. Melainkan melakukan kritik terhadap Luhut atas dugaan keterlibatan perusahaan miliknya dalam tambang di Papua. 

Kasus ini kembali menegaskan bahwa Luhut merupakan pejabat anti-kritik. KontraS beberapa kali membuat riset yang sifatnya mengkritik pemerintah seperti halnya: Catatan 3 Tahun Jokowi- Ma’ruf Amin Tiga Tahun Bekerja, Kemunduran Demokrasi Kian Nyata; Laporan Hari Bhayangkara KontraS 2022 “Persisi: Perbaikan Palsu Institusi Polisi”; Catatan 2 Tahun Pemerintahan Joko Widodo – Ma’ruf Amin : Demokrasi Perlahan Mati di Tangan Jokowi; dan Catatan 100 Hari Kapolri, Minim Perbaikan dan Melanggengkan Kekerasan. Beberapa pejabat yang disebutkan dalam riset dan laporan tersebut pun tak pernah melakukan somasi dan laporan polisi. 

Jika dilihat ke belakang, KontraS yang Fatia pimpin bersama koalisi masyarakat sipil lainnya melakukan kerja advokasi kepentingan umum, salah satunya pelanggaran HAM di Papua. Berbagai kasus sudah didampingi dan diadvokasi oleh KontraS seperti halnya kasus Wasior-Wamena, kasus Paniai hingga penembakan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani di Intan Jaya. Terbaru, KontraS pun menangani kasus empat warga sipil yang dimutilasi di Timika, Papua di tahun 2022 lalu. Aktivitas advokasi tersebut tentu merupakan bentuk keprihatinan terhadap permasalahan kemanusiaan dan upaya mendorong perbaikan situasi di Papua. 

Dalam konteks advokasi berkaitan dengan kajian cepat yang memuat dugaan conflict of interest yang dilakukan oleh pejabat publik, koalisi masyarakat sipil sudah melaporkan temuan tersebut ke berbagai lembaga negara seperti halnya Komnas HAM. Sayangnya, sampai saat ini tidak pernah ada tindak lanjut terhadap laporan tersebut. Selain itu, pada Maret 2023, Fatia dan Haris pun melaporkan dugaan skandal kejahatan ekonomi di Intan Jaya Papua. Laporan pun diabaikan dengan alasan locus delicti yang terjadi bukan di Jakarta. Hal ini tentu saja salah satu bentuk praktik diskriminatifnya penegakan hukum. 

 

Narahubung:

Nurkholis (Tim Advokasi untuk Demokrasi)
Alghiffari Aqsa (Tim Advokasi untuk Demokrasi)
Asfinawati (Tim Advokasi untuk Demokrasi)
Muhammad Isnur  (Tim Advokasi untuk Demokrasi)