Mendagri Kembali Tak Patuh Mandat Konstitusi dan Penunjukan 10 Pj Gubernur Kuat ‘Aroma’ Konflik Kepentingan

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) kembali menyoroti secara tajam langkah pemilihan Penjabat Kepala Daerah yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian. Mendagri lagi-lagi memutuskan penunjukan jabatan Pj Kepala Daerah dengan tidak demokratis dan taat administrasi. Teranyar, Mendagri melantik sebanyak 10 Pj Kepala Daerah yakni Pj Gubernur Jawa Barat Bey Machmudin, Pj Gubernur Jawa Tengah Nana Sudjana, Pj Gubernur Sumatera Utara Hassanudin, Pj Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya, Pj Gubernur Papua Ridwan Rumasukun, Pj Gubernur NTT Ayodhia Kalake, Pj Gubernur NTB Lalu Gita Ariadi, Pj Gubernur Kalimantan Barat Harrison Azroi, Pj Gubernur Sulawesi Tenggara Andap Budhi, dan Pj Gubernur Sulsel Bachtiar Baharuddin.1

Berkaca pada proses sebelumnya, penunjukan Kepala Daerah yang notabene merupakan posisi strategis, jauh dari mekanisme yang akuntabel dan transparan. Hal ini semakin menjauhkan tata kelola pemerintahan dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), sebab langkah yang diambil jelas mengangkangi asas keterbukaan, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas.

Walaupun memang tidak dilakukan lewat mekanisme Pemilihan Umum (Pemilu) karena sifatnya sementara, Mendagri seharusnya paham bahwa upaya untuk memilih Kepala Daerah harus dilakukan secara demokratis sesuai perintah konstitusi.2 Demokratis yang dimaksud juga seharusnya dapat dimaknai dengan upaya pelibatan publik secara maksimal yakni bermakna dan bermanfaat. (meaningful and worthwhile). Hal tersebut dimaksudkan agar menyesuaikan keperluan daerah dengan keahlian Penjabat tersebut. Ditambah, proses penunjukan ini akan menyangkut kepentingan masyarakat luas sehingga menuntut adanya merit system yang menghendaki posisi harus diisi oleh kompetensi, kualifikasi dan kinerja. Penjabat Daerah selanjutnya baik dalam jabatan Gubernur, Walikota ataupun Bupati akan diberikan otoritas mengambil kebijakan dalam rangka melanjutkan estafet kepala daerah sebelumnya yang masa jabatannya telah selesai.

Lebih lanjut, Mendagri kembali membangkangi putusan MK No. 67/PUU-XIX/2021 yang mengamanatkan dibentuknya peraturan teknis sebagai turunan dari Pasal 201 UU no. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Jika ditelusuri, MK bahkan mengamanatkan agar pengisian posisi Penjabat Kepala Daerah harus dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan publik luas. Putusan MK tersebut pun dipertegas dengan rekomendasi Ombudsman yang menyatakan bahwa Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia telah terbukti melakukan maladministrasi dalam prosedur pengangkatan Penjabat Kepala Daerah dan mengabaikan kewajiban hukum atas

Putusan Mahkamah Konstitusi.3 Adapun Ombudsman RI juga merekomendasikan Kemendagri agar melakukan tindakan korektif salah satunya menyiapkan naskah usulan pembentukan Peraturan Pemerintah terkait proses pengangkatan, lingkup kewenangan, evaluasi kinerja hingga pemberhentian Penjabat Kepala Daerah. Mendagri diberi tenggat dalam kurun waktu 30 (tiga puluh) hari untuk melaksanakan tindakan korektif tersebut.

Selain itu, putusan hasil sengketa keterbukaan informasi publik Mendagri dan ICW yang memerintahkan Mendagri membuka sejumlah dokumen belum dipenuhi seutuhnya.4 Beberapa dokumen yang ditolak untuk diberikan oleh Mendagri mesti telah dinyatakan terbuka oleh Komisi Informasi Pusat diantaranya: Salinan Keputusan Presiden Nomor 50/P Tahun 2022 tentang Pengangkatan Penjabat Gubernur; dokumen penjaringan calon penjabat Kepala Daerah; usulan calon penjabat kepala daerah; pertimbangan sidang tim penilai akhir; serta rekam jejak dan latar belakang calon penjabat kepala daerah. Mendagri nampak tak mengindahkan beberapa aturan dan rekomendasi tersebut, bahkan menyatakan secara keliru bahwa seluruh proses telah sesuai peraturan perundang-undangan.5 Kemendagri memang telah menerbitkan Permendagri Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Walikota yang dianggap sebagai aturan teknis sebagaimana maksud Putusan MK. Padahal, hal tersebut keliru karena produk hukum yang dimaksud seharusnya ada pada tataran Peraturan Pemerintah sesuai dengan rekomendasi Ombudsman. Kemunculan peraturan teknis ini juga problematik, sebab baru diterbitkan tahun 2023. Itu artinya, penunjukan 100 lebih Kepala Daerah pada tahun 2022 dan awal 2023 tanpa alas hukum yang jelas sehingga dimungkinkan batal demi hukum.

Selain proses yang serampangan dan penuh kecacatan hukum, situasi pun kian diperparah dengan aroma conflict of interest dalam proses penunjukan Pj Kepala Daerah ini. Kami menilai bahwa beberapa Kepala Daerah yang ditunjuk untuk mengisi pos-pos yang kosong merupakan kepentingan pemerintah pusat untuk mengakselerasi kepentingan di daerah. Hal tersebut misalnya tercermin dari penunjukan Nana Sudjana yang ditempatkan sebagai Pj Gubernur Jawa Tengah. Sebelumnya Nana Sudjana merupakan Polri yang sudah purna tugas dan sebelumnya pernah menjabat sebagai Kapolresta Solo pada 2010, saat Joko Widodo masih menjabat sebagai Wali Kota Solo.6 Kedekatan Nana dapat dimaknai sebagai salah satu upaya ‘mengamankan’ agenda politik menuju Pemilu 2024 mengingat Jawa Tengah merupakan salah satu lumbung suara.

Begitupun Komjen Andap Budhi Revianto yang memiliki latar belakang sebagai anggota polisi aktif saat menjabat Sekretaris Jenderal Kementerian Hukum dan HAM. Padahal secara nyata, Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kepolisian melarang anggota Polri aktif untuk melakukan rangkap jabatan.7 Penunjukan mantan polisi ini di Sulawesi Tenggara juga dilakukan di tengah masifnya aktivitas industri ekstraktif khususnya nikel di daerah tersebut. Tak jarang masyarakat yang mempertahankan ruang hidupnya seperti halnya Warga Wawonii mengalami kekerasan oleh aktor keamanan yakni Kepolisian.8

Selain itu, aroma konflik kepentingan pun sangat kuat dari penunjukan Mayor Jenderal TNI (Purn.) Hassanuddin, S.I.P., M.M yang ditempatkan sebagai Pj Gubernur Sumatera Utara. Sebelumnya Hasanudin merupakan Pangdam I/Bukit Barisan. Ayodhia G. L. Kalake yang merupakan Sekretaris Kemenko Marves ditunjuk sebagai Pj Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT). Penunjukan ini dapat dikaitkan dengan tugas khusus pembukaan keran investasi di NTT, khususnya wisata super premium seperti halnya Labuan Bajo – yang menjadi concern Menko Maritim dan Investasi.9 Pola serupa sebetulnya terjadi pada penunjukan Ridwan Djamaluddin (Direktur Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral) sebagai Penjabat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung. Ridwan saat itu diminta secara khusus untuk membenahi tambang timah.10

Langkah pengangkatan 10 Pj Kepala Daerah yang terbaru tentu dapat disimpulkan sebagai bentuk pembangkangan ulang Mendagri atas sejumlah peraturan perundang-undangan. Masyarakat di daerah pun dipaksa menerima pemimpin sementaranya tanpa melalui proses yang partisipatif dan akuntabel. Selain itu, hak masyarakat untuk tau kualifikasi Kepala Daerahnya lewat proses penjajakan dan penjaringan pun dinihilkan.

Atas berbagai uraian di atas, kami mendesak:

Pertama, Pemerintah untuk mengikuti prosedur administrasi yang telah ditentukan oleh Putusan MK dan rekomendasi Ombudsman yakni dengan membuat Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksana dalam pengangkatan Penjabat Kepala Daerah;

Kedua, Pemerintah dalam hal ini Presiden mencopot Tito Karnavian sebagai Mendagri karena terbukti maladministrasi dan tidak patuh terhadap peraturan perundang-undangan serta mengabaikan kesempatan untuk memperbaiki tata kelola penunjukan Penjabat Kepala Daerah;

Ketiga, Pemerintah harus mengevaluasi tata kelola penunjukan Penjabat Kepala Daerah yang berjalan selama ini. Presiden harus menginstruksikan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia untuk memperbaiki tata kelola penunjukan Penjabat Kepala Daerah agar diselenggarakan secara transparan, partisipatif, akuntabel dan profesional sesuai dengan AUPB;

Keempat, Pemerintah harus membatalkan penempatan TNI-Polri sebagai Penjabat Kepala Daerah. Langkah ini selain bertentangan dengan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan, juga hanya akan membangkitkan hantu dwi fungsi TNI-Polri sebagaimana terjadi pada era Orde Baru. Selain itu, berbagai Purnawirawan TNI-Polri pun harus dievaluasi mengingat unsur TNI-Polri memiliki pengaruh besar dan kuat dugaan berkaitan dengan agenda tertentu;

Kelima, Lembaga pengawas pemerintah seperti DPR maupun aparat penegak hukum untuk mengawasi dan mencermati seluruh langkah penunjukan Penjabat Kepala Daerah guna menghindari adanya muatan conflict of interest, terlebih dalam tindakan yang menyeret TNI-Polri untuk terlibat pada ranah sipil, seperti Penjabat Kepala Daerah.

Jakarta, 7 September 2023

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Indonesia Corruption Watch (ICW)

Narahubung: 0821-2203-1647