Surveillance Terhadap Partai adalah bentuk Penyalahgunaan Intelijen Oleh Presiden Harus Diusut Tuntas

Pada 16 September 2024, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa dirinya mendapatkan informasi dari  komunitas intelijen di Indonesia (BIN, BAIS dan Intelijen Polri) mengenai data, suvey dan arah Partai politik. Pernyataan ini disampaikan dalam acara rakernas Seknas Jokowi.

Kami menilai hal ini merupakan masalah serius dalam kehidupan demokrasi di Indonesia; Tidak boleh dan tidak bisa dalam negara demokrasi, Presiden beserta perangkat intelijenya menjadikan partai politik sebagai objek dan target pemantuan intelijen.

Intelijen memang merupakan aktor keamanan yang berfungsi memberikan informasi terutama kepada Presiden. Namun demikian informasi intelijen itu seharusnya terkait dengan musuh negara (masalah keamanan nasional) dan bukan terkait dengan masyarakat politk (Partai politik dll) serta juga masayarakat sipil sebagaimana disebutkan Pasal 1 angka 1 dan 2 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Partai politik dan masyarakat sipil adalah elemen penting dalam demokrasi sehingga tidak pantas dan tidak boleh Presiden memantau, menyadap, mengawasi kepada mereka dengan menggunakan lembaga intelijen  demi kepentingan politik Presiden.

Adapun Pasal 1 angka 1 dan 2 UU Intelijen berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1
1. Intelijen adalah pengetahuan, organisasi, dan kegiatan yang terkait dengan perumusan kebijakan, strategi nasional, dan pengambilan keputusan berdasarkan analisis dari informasi dan fakta yang terkumpul melalui metode kerja untuk pendeteksian dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan setiap ancaman terhadap keamanan nasional.

2. Intelijen Negara adalah penyelenggara Intelijen yang merupakan bagian integral dari sistem keamanan nasional yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakan fungsi dan kegiatan Intelijen Negara.

Kami memandang, pernyataan presiden tersebut mengindikasikan adanya penyalahgunaan kekuasaan terhadap alat-alat keamanan negara untuk melakukan kontrol dan pengawasan demi tujuan politiknya. Hal ini tidak bisa dibenarkan dan merupakan ancaman bagi kehidupan demokrasi dan HAM di Indonesia.

Persoalan ini merupakan bentuk penyalahgunaan intelijen untuk tujuan tujuan politik Presiden dan bukan untuk tujuan politik negara. Pada hakikatnya, Lembaga intelijen di bentuk untuk dan demi kepentingan keamanan nasional dalam meraih tujuan politik negara dan bukan untuk tujuan politik presiden.

Pengumpulan data dan informasi yang dilakukan oleh intelijen hanya boleh digunakan untuk kepentingan pengambilan kebijakan, bukan disalahgunakan untuk memata-matai semua aktor politik untuk kepentingan politik pribadinya.

Dalam negata demokrasi, partai politik bukanlah ancaman keamanan nasional sehingga sulit untuk memahami apa alasan intelijen dikerahkan untuk mencari informasi terkait data, arah perkembangan partai politik. Hal ini jelas jelas merupakan bentuk penyalahgunaan intelijen.

Peristiwa ini mengindikasikan adanya pelanggaran terhadap

hukum dan undang undang ( UU Intelijen, UU HAM, UU partai politik dll).

Kami menilai ini merupakan bentuk skandal politik dan menjadi masalah serius dalam demokrasi sehingga wajib untuk diusut tuntas. Oleh karena itu sudah sehaptutnya DPR memanggil Presiden beserta lembaga intelijen terkait untuk menjelaskan masalah ini kepada publik secara terang benderang.

Jakarta, 16 September 2023

 

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sekror Keamanan
Imparsial, PBHI, Amnesty International, YLBHI, Kontras, Centra Initiative, Elsam, Walhi, ICW, HRWG, LBH Masyarakat, Setara Institute

Narahubung:
Ghufron Mabruri (Imparsial)
Julius Ibrani (Ketua PBHI)
Al Araf (Ketua Centra Initiative)
Usman Hamid (Direktur Amnesty International)
M Isnur (Direktur YLBHI)
Dimas Bagus (Koordinator Kontras)
Wahyudi Jafar (Direktur Elsam)