Respon KontraS atas Revisi UU ASN: Mengangkangi Hukum dan Pembangkangan Nyata terhadap Semangat Reformasi!

Pada 3 September 2023, DPR RI resmi mengesahkan RUU tentang penggantian atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi Undang-Undang (UU) melalui Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2023-2024. Dalam naskah perubahan yang kami dapatkan, prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) bisa menempati jabatan ASN tertentu. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 19 draf perubahan UU ASN.

Kami mengecam keras langkah revisi UU ASN ini yang mana memasukkan ketentuan jabatan ASN tertentu dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri. Secara umum, kami melihat hal ini sebagai pembangkangan terhadap hukum dan semangat reformasi yang menghendaki penghapusan dwifungsi ABRI serta penguatan terhadap supremasi sipil. Selain itu, dalam konteks formil, pengesahan revisi UU ASN ini kembali menunjukan ‘buruk rupa’ legislasi di Indonesia. Pemerintah bersama DPR RI tampaknya tidak belajar dari proses legislasi sebelumnya yang dilakukan secara kilat dan jauh dari nilai transparansi serta akuntabilitas. 

Buruknya legislasi dalam revisi UU ASN ini terlihat dari draf terbaru yang tidak tersedia di website DPR RI. Dalam draf terakhir yang dapat diakses oleh publik, tidak ada bunyi ketentuan perubahan pada Pasal 19 sebagaimana diatur pada draf yang telah disahkan.. Pola pengesahan semacam ini di tengah pasal-pasal bermasalah yang masih eksis seringkali dilakukan, sebagai contoh pada pengesahan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan UU Minerba. Fenomena ini kami anggap sebagai berlanjutnya malicious legislation

Dalam aspek substansial, diperkenannya TNI-Polri menduduki posisi pada ASN merupakan jalan pemerintah untuk mengembalikan hantu Dwifungsi TNI/Polri sebagaimana terjadi pada zaman Orde Baru. Selain itu, TNI/Polri yang menjadi ASN tentu saja menempatkan dua institusi tersebut menjadi lembaga yang jauh dari profesionalitas. Sebab, jika merujuk pada konstitusi, TNI dimandatkan untuk mengurusi bidang pertahanan dan Kepolisian ditugaskan untuk mengurusi keamanan dan ketertiban masyarakat, bukan justru urusan sipil. Di tengah tantangan pertahanan dan keamanan yang semakin berat dalam konteks global, kedua institusi ini malah diperbolehkan menduduki jabatan sipil, alih-alih fokus pada tugas pokok dan fungsi di sektornya masing-masing. 

Belum lagi, tidak ada kedaruratan yang signifikan sehingga mengharuskan ASN harus berasal dari kedua institusi tersebut. Ditempatkannya TNI-Polri hanya akan memperparah situasi di tengah problematika kedua institusi yang masih menumpuk, khususnya berkaitan dengan kultur kekerasan. Kami pun mengkhawatirkan pendekatan keamanan dan pelibatan pasukan akan semakin masif dilakukan seiring dengan pelibatan TNI menjadi ASN di jabatan tertentu. Sebab dalam berbagai kasus-kasus yang berdimensi sipil seperti konflik lahan, pertambangan, dan kasus sumber daya alam lainnya, keterlibatan aparat justru seringkali berujung dengan kekerasan dan kriminalisasi sipil.

Lebih jauh, langkah penempatan TNI-Polri juga kami lihat sebagai upaya sistematis yang dilakukan oleh TNI-Polri untuk memperluas cakupan tugasnya. Pelibatan kedua institusi pasca reformasi seharusnya dilakukan secara ketat dan berbasiskan hukum. Sebagai contoh, dalam pelibatan TNI dalam domain sipil, harus dalam kerangka Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Dalam OMSP tidak ada yang mengatur pelibatan prajurit TNI sebagai ASN. Selain itu, Pasal 47 ayat (2) UU TNI membatasi jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit aktif. Hal ini mempertegas bahwa ketentuan dalam Pasal 19 revisi UU ASN sangat problematik dan hanya akan berimplikasi pada kekaburan hukum sebab tumpang tindih dengan peraturan lainnya khususnya yang mengatur soal TNI. 

Adapun dalam Pasal 19 ayat (3) draf revisi UU ASN disebutkan bahwa Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang- Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Padahal jika merujuk kedua UU tersebut, secara jelas dalam UU TNI, khususnya dalam Pasal 47 ayat (1) disebutkan bahwa “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.” Pasal ini mensyaratkan seluruh perwira aktif hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah pensiun atau mengundurkan diri dari dinas kemiliteran. 

Selain itu, dalam konteks Polri, Merujuk pada UU Polri, Perwira Polri aktif yang ditempatkan pada jabatan ASN jelas menyalahi UU tersebut. Dalam Pasal 28 ayat (3) disebutkan bahwa “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.” Adapun dalam penjelasan pasal tersebut juga ditegaskan bahwa makna dari jabatan di luar Kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan Kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.  Norma tersebut sangat jelas melarang anggota Polri yang statusnya masih aktif untuk mengambil tugas di luar urusan Kepolisian. Seorang perwira harus mengundurkan diri terlebih dulu, baru dapat menerima tugas memegang tugas memimpin suatu daerah.

Lebih jauh, kami melihat bahwa muatan revisi dalam UU ASN yang telah disahkan tentu merupakan kemunduran pemahaman berkaitan dengan doktrin reformasi sektor keamanan. Revisi ini akhirnya hanya akan memperkuat fenomena militerisasi sipil. Upaya mengembalikan TNI untuk menduduki jabatan sipil tentu bukan kali pertama dalam beberapa tahun belakangan ini. Sebelumnya, TNI lewat Babinkum melakukan usulan revisi UU TNI yang pada intinya menambah jabatan yang dapat diduduki sipil. 

Selain itu, kami menilai bahwa diperkenankannya anggota TNI dan Polri dalam menduduki jabatan ASN tertentu merupakan jalan pintas yang dilakukan negara untuk menyelesaikan fenomena perwira tinggi non-job. Selama ini, upaya tersebut telah muncul dengan penugasan perwira TNI-Polri yang tidak terdapat pada jabatan struktural untuk menduduki jabatan-jabatan sipil seperti halnya komisaris Badan Usaha Milik Negara dan Penjabat (Pj) Kepala Daerah. Agenda akal-akalan ini berlanjut lewat revisi UU ASN sehingga terdapat aturan hukum yang  melegitimasi penempatan TNI-Polri di jabatan sipil. Lebih jauh, kami juga mengkhawatirkan masuknya TNI-Polri ke struktural ASN hanya akan mengganggu jenjang karir di suatu institusi. 

Atas dasar uraian tersebut kami mendesak:

Pertama, DPR RI untuk membatalkan pengesahan UU ASN yang memuat prajurit TNI dan Polri bisa menempati jabatan ASN tertentu hal ini untuk menjaga dan menjamin profesionalitas aparat keamanan dalam tugas keamanan dan pertahanan Negara;

Kedua, Pemerintah dalam hal ini Presiden RI tidak menandatangani dan mengundangkan revisi UU ASN ini hingga muatan pasal 19 tersebut dicabut. 

 

Jakarta, 4 Oktober 2023
Badan Pekerja KontraS,

 

Dimas Bagus Arya
Koordinator 

Narahubung: +62 821-2203-1647