Waspada Ancaman Demokrasi: Awasi Penggunaan, Polri Harus Buka Informasi Pengadaan “Kuda Terbang”

Ancaman kebebasan sipil dan demokrasi semakin mengemuka jelang tahun politik. Konsorsium Indonesia Leaks Juni (11/6)  lalu, menemukan alat sadap dengan metode “zero click” atau yang dikenal dengan sebutan Pegasus (Kuda Terbang). Laporan tersebut menyebutkan bahwa alat surveillance telah masuk ke Indonesia dan diduga tidak hanya untuk penanganan kejahatan luar biasa seperti korupsi, Narkoba, dan terorisme, melainkan juga kepentingan lain terkait politik di tahun 2019. Tanpa kejelasan transparansi dan akuntabilitasnya, hal ini tentu tidak hanya melanggar hukum (unlawful) tetapi juga berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan merusak demokrasi di Indonesia. Diketahui lembaga yang membeli perangkat tersebut adalah Polri sejak tahun 2017.

Sebagaimana diketahui, pegasus merupakan alat penyadapan milik perusahaan NSO Group asal Israel. Perangkat berbasis software tersebut dilaporkan telah dimiliki oleh sejumlah lembaga intelijen dan penegak hukum di Indonesia. Kepolisian Republik Indonesia tercatat pertama kali melakukan pengadaan alat tersebut pada tahun 2017. Berdasarkan data di situs Opentender.net, paket pengadaan terlacak tahun 2017 dipesan untuk Polda Metro Jaya dengan nilai kontrak Rp 98 miliar. Setahun berikutnya, tahun 2018 diketahui kembali diadakan untuk pengembangan piranti dengan nilai kontrak lebih dari Rp 149 miliar. Kedua paket pengadaan tersebut sama-sama dimenangkan oleh PT. Radika Karya Utama dan masing-masing mendapatkan skor Opentender.net di atas 50 yang artinya memiliki potensi risiko kecurangan sedang. 

Persoalan adanya Pegasus di Indonesia bukan hal yang dapat disepelekan. Mengingat cara kerja alat tersebut yang lebih canggih, berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan di luar isu penegakan hukum. Pasca diterbitkannya laporan Indonesia Leaks memberikan gambaran mengenai ancaman penyadapan serampangan di Indonesia. Sebagai contoh, dalam konteks politik, alat ini ditengarai pernah digunakan untuk menyadap target aktor politik seperti Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga pada 2019 lalu. 

Merujuk pada temuan tersebut, penting bagi publik dan kelompok masyarakat sipil untuk bersiap diri dan mendorong agar iklim demokrasi berjalan dengan baik. Sebab,  setiap kelompok berpotensi menjadi korban penyadapan. Tidak hanya itu, potensi penyalahgunaan alat sadap Pegasus untuk melanggar hak atas privasi tentu semakin menguat dan dapat menimbulkan gesekan besar. Bukan tidak mungkin penyadapan dan peretasan akan marak terjadi dan dialami oleh kelompok aktivis maupun pendukung politisi tertentu. Hal ini sungguh akan membahayakan bagi demokrasi di Indonesia. Karena setiap kelompok atau lembaga dapat melakukan penyadapan kepada siapapun tanpa ada pengawasan dan pertanggungjawaban.

Oleh karena itu, berkaca pada uraian di atas koalisi memandang ada tiga catatan penting merespon temuan adanya dugaan penggunaan Pegasus. Pertama, alat sadap dengan metode zero click dapat menjadi ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia. Sebab, Pegasus berpotensi menjadi alat untuk merepresi pembela HAM tanpa memerlukan aktivasi klik dari pemilik perangkat sekalipun perangkat tersebut  sudah terenkripsi. Di luar negeri, menurut laporan Citizen Lab, perangkat Pegasus juga pernah digunakan untuk operasi pembungkaman melawan demonstran di Thailand tahun 2020-2021, dikatakan 30 orang terinfeksi Pegasus.

Kedua, Polri  tidak pernah membuka dokumen pengadaan pengadaan alat material khusus pengembanggan zero click instrusion system kepada publik. Padahal, jika merujuk pada Pasal 15 ayat (9) Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik, setiap badan publik, termasuk kepolisian, memiliki kewajiban untuk mengumumkan informasi pengadaan barang/jasa, mulai dari tahap perencanaan, pemilihan dan pelaksanaan. Artinya, Polri harus transparan dan akuntabel untuk setiap pembelian alat melalui mekanisme pengadaan barang/jasa, termasuk pembelian alat sadap. Transparansi dan akuntabilitas jadi salah satu prasyarat bagi kepolisian guna upaya memastikan penggunaan anggaran negara tidak disalahgunakan, dan sebagai pertanggungjawaban kepada publik. 

Ketiga, patut diduga proses pembelian zero click intrusion system memiliki potensi kecurangan. Hal ini didasarkan atas beberapa pemantauan yang dilakukan oleh ICW, yaitu: a). adanya potensi kompetisi semu saat proses pemilihan penyedia; b). Polri patut diduga melakukan tender hanya sebagai syarat formalitas karena pada pengadaan tahun 2018 hanya satu penyedia yang memiliki syarat kualifikasi yang ditentukan.

Oleh sebab itu, kami mendesak agar:

  1. Kepolisian Republik Indonesia melalui Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) segera membuka pengadaan almatsus pengembangan “zero click intrusion system” Tahun 2018 ke publik sesuai dengan mandat Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021;
  2. Komisi III DPR segera memanggil Kapolri  dan pihak-pihak yang terkait dengan penggunaan alat sadap Pegasus. Hal ini untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan  yang mengancam kebebasan demokrasi; 
  3. Pemerintah harus mengatur ketentuan penyadapan yang tidak hanya  berguna untuk penegakan hukum melainkan juga agar menjamin rasa aman bagi masyarakat dan menjamin keberlangsungan demokrasi di Indonesia.

ICW, KontraS, LBH Pers, Greenpeace Indonesia, AJI Indonesia

9 Oktober 2023

 

Narahubung:

  1. Tibiko Zabar – ICW; 
  2. Dimas Bagus Arya – KontraS