Laporan Hari Anti Hukuman Mati Internasional 2022: Jalan Terjal Penghapusan Hukuman Mati

Bertepatan dengan Hari Internasional Menentang Hukuman Mati 2023, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kembali mengeluarkan laporan tahunan terkait dengan kondisi penghukuman mati yang masih dijalankan di Indonesia pada periode Oktober 2022 – September 2023. Setidaknya dalam periode ini kami menyoroti upaya penghapusan hukuman mati yang masih menghadapi jalan terjal, meskipun ini Indonesia telah memberikan terobosan mengenai pembaruan kebijakan hukuman mati yang dihadirkan melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 

Pada momentum Hari Internasional Menentang Hukuman Mati ini, setidaknya kami menyoroti masih banyaknya vonis hukuman mati yang dijatuhkan. Kami menemukan setidaknya terdapat 27 vonis hukuman mati yang dijatuhkan yang mana terdiri dari 18 vonis yang dijatuhkan merupakan tindak pidana narkotika, 7 vonis merupakan tindak pidana pembunuhan berencana, dan 2 vonis lainnya merupakan tindak kekerasan seksual. Lebih lanjut, kami turut juga menemukan bahwa Pengadilan Negeri merupakan tingkatan lembaga peradilan yang kerap kali menjatuhkan vonis mati yakni dengan 20 vonis, diikuti 3 vonis dijatuhkan di Pengadilan Tinggi, dan 4 vonis dijatuhkan di Mahkamah Agung. 

Berdasarkan data tersebut, kami menilai bahwa pemerintah Indonesia masih pasif dalam menyikapi tren global yang secara jelas telah menunjukkan penurunan vonis hukuman mati, meskipun saat ini pemerintah telah memiliki terobosan terbaru terkait pembaruan kebijakan hukuman mati. Adapun kami menilai bahwa pemerintah gagal melihat permasalahan hukuman mati secara struktural dan tetap memilih penghukuman mati sebagai jalan pintas dalam penanganan kasus kejahatan. Selain itu, perlu adanya upaya evaluasi secara menyeluruh terkait dengan efektifitas dan tepat sasarannya penjatuhan vonis hukuman mati yang saat ini masih kerap dijalankan. 

Selain menyoroti hal tersebut, kami pun menilai bahwa praktik hukuman mati yang saat ini dijalankan justru menjadi karpet merah negara untuk dapat melanggengkan praktik penyiksaan. Sebab, penyiksaan dapat hadir dari tidak diterapkannya prinsip fair trial secara utuh oleh penegak hukum. Selain itu, juga memberikan catatan terhadap kinerja para hakim, yang mana mereka memiliki peranan yang sangat penting untuk dapat melakukan perlindungan HAM kepada terdakwa dalam konteks hukuman mati. 

Selanjutnya, laporan ini pun memberikan catatan terkait dengan ketentuan pidana mati dalam KUHP yang baru saja disahkan. Dalam KUHP baru tersebut, kami menemukan bahwa diaturnya hukuman mati sebagai pidana alternatif di KUHP baru harus dilihat sebagai langkah awal menuju penghapusan hukuman mati. Ke depan, jika KUHP Baru mulai berlaku, Hakim tidak lagi mengobral vonis mati kepada terpidana. Selain itu, kami juga menyoroti ketika nantinya terpidana mati harus menjalani 10 tahun masa percobaan, sebisa mungkin agar pidana mati yang telah dijatuhkan kepada terpidana tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara selama 20 tahun.

Lebih lanjut, kami menyoroti posisi Indonesia dalam upaya penghapusan hukuman mati di ranah global. Kami mencatat bahwa saat ini sebanyak 112 negara telah menghapus pidana mati dari hukum pidananya, kemudian dilanjutkan 23 negara yang masih mengatur pidana mati dalam hukum pidananya namun sama sekali tidak pernah menjatuhkan pidana mati kepada terdakwa tindak pidana. Tetapi Indonesia merupakan salah satu dari 55 negara yang masih mempertahankan pidana mati dan menjatuhkan vonis pidana mati kepada terdakwa. Fenomena di belahan dunia sejatinya menjadi catatan penting bagi pemerintah Indonesia untuk juga melakukan moratorium hukuman mati secara nasional dan mempersiapkan langkah yang tepat terkait dengan pidana mati. 

Tidak hanya berhenti pada hal tersebut, dalam laporan ini kami menilai bahwa praktik penjatuhan hukuman mati merupakan bagian dari penal populism. Dalam setahun terakhir, terdapat berbagai fenomena kejahatan atau tindak pidana yang memantik kemarahan publik seperti halnya kasus kematian Brigadir Josua Hutabarat dan kasus Herry Wirawan. Kami melihat bahwa saat ini, penjatuhan vonis hukuman mati terhadap sejumlah kejahatan nyatanya hanya untuk ‘memuaskan’ masyarakat dalam jangka waktu sesaat saja. Kami melihat bahwa melawan narasi populisme harus digarisbawahi bukan berarti melegitimasi atau mendukung tindakan kejahatannya, sebab narasi tersebut selalu disimplifikasi oleh para retensionis. 

Berangkat dari beberapa catatan serta temuan KontraS selama periode Oktober 2022 – September serta dengan berbagai bentuk desakan baik secara nasional maupun internasional, KontraS menyusun sejumlah rekomendasi, antara lain:

Pertama, Pemerintah Indonesia harus berkomitmen untuk dapat menghapus segala bentuk praktik penghukuman kejam dan tidak manusiawi khususnya dalam wujud penghukuman mati. Pemerintah juga harus serius melakukan pembenahan terhadap sistem peradilan pidana khususnya terkait pemenuhan hak atas fair trial, sebab tak jarang proses yang diwarnai ketidakadilan bermuara pada penghukuman mati. Adapun aspek penting lainnya yang harus diperhatikan yakni pemenuhan hak-hak terpidana mati baik fisik maupun psikologis. 

Kedua, Pemerintah Indonesia dalam hal ini Presiden dan jajarannya bersama DPR RI agar melakukan peninjauan ulang atas pasal-pasal dalam KUHP Baru yang mengatur penjatuhan pidana mati. Berbagai norma yang masih kabur harus segera diperjelas lewat peraturan turunan. Adapun terpidana mati yang dijatuhkan vonis sebelum KUHP Baru ini berlaku, harus dipastikan mendapatkan akses yang sama terhadap masa tunggu 10 tahun. 

Ketiga, dalam ranah Internasional, Pemerintah Indonesia harus berkomitmen untuk dapat melakukan moratorium penjatuhan hukuman mati di Indonesia dan berkomitmen untuk dapat segera meratifikasi OP-ICCPR. Selain itu, Pemerintah seharusnya dapat mendengar berbagai rekomendasi negara lain dalam sesi UPR lalu khususnya berkaitan dengan penghapusan hukuman mati. 

Keempat, Mahkamah Agung harus berkomitmen untuk melakukan evaluasi terkait dengan efektivitas dari penjatuhan hukuman mati agar tidak ada lagi nyawa manusia yang harus dirampas akibat sistem peradilan pidana yang buruk. Selain itu, Mahkamah Agung harus melakukan mainstreaming prinsip kehati-hatian dalam penjatuhan vonis. Secara perlahan Mahkamah Agung pun memiliki tugas untuk mengedukasi hakim agar menggeser paradigma pemidanaan, dari semula punitif menjadi lebih utilitarian/bertujuan. 


Jakarta, 10 Oktober 2023
Badan Pekerja KontraS 

Dimas Bagus Arya, S.H.
Koordinator 

Klik disini untuk melihat laporan selengkapnya