Pembacaan Nota Pembelaan (Pledoi) pada Sidang Kriminalisasi Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar: Majelis Hakim Harus Ungkapkan dan Proklamirkan Keadilan!

Jakarta, 27 November 2023 – Kasus kriminalisasi terhadap Fatia Maulidiyanti (Koordinator KontraS 2020-2023) dan Haris Azhar (Pendiri Lokataru) telah memasuki tahapan-tahapan akhir yakni pembacaan nota pembelaan (pledoi). Pada sidang kali ini, pembacaan pledoi diawali oleh pembacaan pembelaan pribadi oleh Haris Azhar yang diberi judul “Keluar dari Labirin Pembungkaman Penguasa.

Dalam nota pembelaan pribadinya, Haris Azhar menyatakan bahwa sama sekali tidak menyesali perbuatan yang telah dilakukan, sebab Haris berpendapat siniar/podcast merupakan praktik umum yang sering dilakukan, bahkan oleh lembaga negara. Tidak ada yang salah dan melawan hukum dalam siniar tersebut karena hanya sebagai sarana penyebaran informasi dan komunikasi ke masyarakat luas. Menurut Haris, upaya mempidanakan siniar yang membahas hasil riset bukanlah cara yang bermartabat untuk membantah temuan-temuan yang ada. 

Haris Azhar turut menjelaskan bahwa proses pemidanaan kepadanya dan Fatia justru mengandung banyak hal yang patut disesali serta terdapat berbagai kelemahan. Hal tersebut nampak dari keringnya pembuktian oleh JPU berupa alat bukti yang tidak sempurna, ketidakhadiran sejumlah saksi termasuk ahli, serta keengganan saksi ahli dalam menunjukkan kapasitasnya.

Tidak sampai disitu, Haris turut menggambarkan situasi di Papua yakni praktik eksploitasi sumber daya alam yang saat ini dijalankan oleh Negara justru melahirkan berbagai bentuk kekerasan bagi warga Papua. Dengan kondisi tersebut, Haris menyatakan bahwa praktik advokasi yang dijalankan oleh Pembela HAM dan aktivis membawanya berinteraksi dengan komunitas warga, masyarakat adat di Papua sehingga sulit baginya untuk berbohong dengan kondisi kemanusiaan riil di Papua. 

Lebih lanjut, dalam nota pembelaannya, Haris menyatakan bahwa apa yang dilakukan pihak Luhut merupakan representasi dari Presiden Jokowi. Upaya dialog dalam kerangka negara demokrasi tidak dilakukan melainkan kriminalisasi. Ini merupakan bentuk represi, karena proses hukum dipaksakan hanya untuk memenuhi hasrat saja serta hukum digunakan secara kontradiktif. Pada akhir pembacaan nota pembelaan, Haris menyatakan bahwa perkara ini bukanlah bentuk tindak pidana sehingga sudah seharusnya ia dilepaskan dari segala tuntutan.

Selanjutnya, agenda dilanjutkan dengan pembacaan nota pembelaan oleh Penasihat Hukum. Secara umum kami memberikan nama dokumen pledoi ini Menuntut Kejahatan dengan Mengadili Pembongkar Kejahatan. Di awal pembacaan pledoi ini, kami membacakan filosofi tentang keadilan dan peran pengadilan untuk mengingatkan Majelis Hakim agar dapat menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya. Kamipun membacakan hakikat dan fungsi penuntut umum yang seharusnya bersikap netral dan adil dalam kerja penuntutan di persidangan. Jaksa seharusnya dapat bertindak berdasarkan hukum, hati nurani, norma keagamaan, asusila, dan menjunjung tinggi kemanusiaan. JPU juga seharusnya independen berdasarkan UU Kejaksaan dan tidak diperkenankan menuntut secara jahat (malicious prosecution) serta hanya menjadi alat kekuasaan. 

Lebih lanjut, dalam analisa fakta persidangan, kami menyebut bahwa Jaksa telah sesat pikir (logical fallacy) dalam menganalisis seluruh fakta di persidangan. Uraian fakta-fakta seharusnya dapat mengikuti seluruh hal yang telah terbukti di persidangan. Sebagai contoh, Jaksa dalam tuntutannya menyatakan bahwa tidak terdapat pembatasan HAM. Padahal, jika merujuk pada keterangan ahli Herlambang Wiratraman dan Rocky Gerung yang pada intinya menyatakan bahwa hak kebebasan berekspresi masuk ke dalam klasifikasi derogable rights. Itu artinya Jaksa telah keliru menangkap maksud dari kebebasan yang tidak dapat dibatasi tersebut yakni hak untuk berpikir. 

Selain itu, JPU pun telah tersesat dan keliru mendalilkan bahwa ANTI-SLAPP hanya dipergunakan untuk penempuh cara hukum litigasi yang bermuara pada pengadilan, Jaksa pun menambahkan bahwa kasus Fatia dan Haris bukanlah Anti-SLAPP karena telah melawan hukum serta tidak beritikad baik. Dalam hal ini, kami menilai JPU telah mengabaikan label Pembela HAM di bidang lingkungan hidup dari Komnas HAM. Padahal, Komnas HAM merupakan lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk menetapkan status Pembela HAM tersebut. 

Adapun dalam pledoi ini, kami menyatakan dengan tegas bahwa kritik kepada pejabat publik bukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. JPU kembali mengabaikan berbagai fakta-fakta dalam persidangan seperti keterangan Ahli Rocky Gerung yang menyebutkan pejabat publik wajib mendengar kritikan, menghargai serta memberi fasilitas di dalam negara yang beradab. Pejabat publik pun sebagai penata negara dalam pemerintahan demokrasi harus menampung kritikan warga dari yang paling absurd dan tidak boleh menilai kritikan warga negara yang bermanfaat dan tidak bermanfaat. 

Dalam pledoi ini, kami turut menjawab berbagai dalil Jaksa yang secara sembarangan menuntut Fatia dan Haris dengan alasan-alasan yang memberatkan seperti tidak sopan pada saat persidangan, terdakwa yang memantik kegaduhan, serta sikap terdakwa yang tidak mengakui perbuatannya. Hal ini menunjukan bahwa JPU dalam mempertimbangkan berat dan ringannya tuntutan kepada terdakwa tidak dilakukan secara profesional dan objektif serta tidak didukung oleh fakta hukum dalam persidangan. 

Begitupun sikap arogan JPU yang menjatuhkan kredibilitas saksi dan ahli meringankan (a de charge) yang kami ajukan. Padahal merujuk fakta-fakta dalam persidangan, Jaksa sengaja memaksakan jawaban, bahkan terkadang menyimpulkan sendiri keterangan saksi/ahli. Hal tersebut seringkali membuat kami keberatan karena JPU seringkali terus memaksakan kesimpulan agar dijawab oleh saksi/ahli. Maka, lewat pledoi ini, kami menyatakan bahwa tuduhan JPU tidak berdasar dan mengada-ngada, daripada menyalahkan dan menyerang saksi-ahli yang kami hadirkan, JPU lebih baik mengoreksi diri sendiri, memperbaiki keterampilan dan mempelajari kembali cara bertanya yang baik.

Selama persidangan berlangsung, JPU pun tidak memeriksa seluruh saksi dan ahli yang diperiksa di tahapan penyidikan. Hal ini merupakan sikap cherry picking, terkesan manipulatif yang dilakukan oleh JPU dan menunjukan ketidakmampuan JPU untuk membuktikan seluruh unsur-unsur pidana yang dituduhkan.

Kamipun menanggapi perihal Cucu Luhut yang tidak pernah dihadirkan di dalam persidangan. Padahal, Luhut beberapa kali menyinggung mengenai cucunya yang merasa tersakiti karena jejak digital yang ada. Tidak hadirnya cucu Luhut ini akhirnya mempertegas kegagalan Jaksa yang tidak bisa membuktikan unsur kerugian materil dari pelapor yakni Luhut Binsar Panjaitan.

Dalam tuntutannya, Jaksa juga secara serampangan mendalilkan motif yang dilakukan terdakwa, seperti halnya untuk memperoleh keuntungan, mendompleng ketenaran Luhut, dendam kepada pelapor hingga minta saham. Padahal tuduhan-tuduhan tersebut tidak pernah terbukti dalam persidangan sehingga dapat dikatakan sebagai fitnah. Pembuatan podcast sesungguhnya dilandasi oleh niat atau itikad baik yakni untuk menyuarakan situasi HAM dan lingkungan hidup di Papua dan bentuk advokasi sah dalam membela hak-hak masyarakat Papua khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya untuk terhindar dari praktik konflik kepentingan, korupsi, eksploitasi SDA dan pelanggaran HAM.  

Begitu banyak fakta-fakta persidangan yang juga diabaikan oleh JPU seperti halnya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup, keterangan saksi-ahli yang kami hadirkan, pemberian label Pembela HAM oleh Komnas HAM. Sehingga, JPU tidak profesional, tidak rasional, tidak jelas dan tidak mendasari tuduhannya dengan alat-alat bukti sesuai hukum pembuktian. 

Lebih jauh, dalam pledoi ini, kami pun menegaskan bahwa Luhut terlibat dalam usaha bisnis pertambangan di Papua. Luhut lewat perusahaannya Toba Group, terlibat dalam penjajakan bisnis dalam Derewo Project sebagaimana dalam bukti dokumen minutes of meeting tahun 2016 antara West Wits Mining dengan PT Tobacom Del Mandiri (anak perusahaan PT Toba Sejahtera), dokumen ASX Announcement and Media Release berjudul “New Agreement Completed for Derewo”, dan bukti-bukti lainnya. Dengan demikian, telah terbukti bahwa PT Tobacom Del Mandiri yang merupakan anak perusahaan PT Toba Sejahtera telah menjalin kerja sama dengan PT Madinah Qurrataain dan West Wits Mining sehingga dapat disimpulkan bahwa Luhut sebagai pemegang saham terbesar pada PT Toba Sejahtera telah terbukti terlibat dalam pertambangan di Papua.

Pada bagian analisa yuridis dalam pledoi ini, kami pun menjabarkan beberapa hal seperti perkataan Fatia – Haris tidak memiliki penghinaan dan/atau pencemaran nama baik hingga terpenuhinya indikator malicious prosecution dari JPU karena mendalilkan tanpa bukti, melakukan framing jahat terhadap terdakwa, miskin dalil, tidak akurat, korupsi fakta persidangan, serta mengartikan pernyataan Fatia – Haris secara berbeda agar sesuai dengan teori kasus JPU. 

Selanjutnya, persidangan ini ditutup dengan pembacaan nota pembelaan oleh Fatia Maulidiyanti. Dalam pledoi nya Fatia memberikan judul “Semua Orang (Tidak) Sama di Depan Hukum” yang mencoba merangkum situasi umum tentang HAM yang terjadi di Indonesia khususnya Papua. Dalam pledoinya, Fatia menyatakan bahwa Papua merupakan wilayah dengan kekayaan alam dan mineral yang menjadi pusat perhatian nasional bahkan internasional. Sayangnya, di tengah kekayaan tersebut, kemiskinan struktural, konflik bersenjata, serta kerusakan alam terus memburuk dan merupakan dampak dari ambisi negara melakukan investasi. 

Lebih lanjut, Fatia menjelaskan bahwa kekerasan telah menjadi nadi dalam kehidupan di Papua, upaya pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killings), penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, kelaparan, perampasan lahan, serta pengungsi internal tak kunjung mendapat perhatian. Fatia mengungkap bahwa banyaknya pelanggaran HAM yang muncul di Papua diakibatkan oleh adanya operasi militer di Papua yang dilakukan tanpa adanya evaluasi maupun pengawasan.

Pledoi yang dibacakan Fatia juga menjawab tuduhan yang dilayangkan oleh JPU – yang menilai bahwa Fatia telah melakukan briefing awal dan mempersiapkan tanya jawab dengan Haris Azhar mengesakan wawancara tersebut dibuat-buat. Fatia menganggap hal yang dituduhkan oleh JPU tersebut merendahkan kompetensi Fatia sebagai peneliti dan juga pegiat HAM. Lebih lanjut, Fatia turut menyatakan bahwa dugaan keterlibatan pejabat publik sebagaimana disampaikan dalam riset maupun konten podcast tersebut bukanlah pencemaran nama baik. Tuduhan bahwa konten yang dibuat untuk mencemarkan nama baik salah satu pejabat publik merupakan klaim yang keliru.

Dalam pledoinya, Fatia pun menyinggung pernyataan JPU yang terkesan merendahkan martabat profesi pendamping hukum dan advokat. Fatia menegaskan bahwa Tim Advokasi Untuk Demokrasi merupakan sekelompok kuasa hukum yang berusaha membelanya dan Haris tanpa tanpa dibayar sepeserpun, secara sukarela, meluangkan waktu dan tenaganya dan memiliki rekam jejak yang kompeten untuk terus konsisten dalam memberikan bantuan hukum bagi masyarakat tertindas. TAUD pun telah melahirkan beberapa hasil kerja-kerja yang dinilainya telah membantu masyarakat. 

Lebih jauh, Fatia menyinggung topik situasi demokrasi yang terus merosot di era Presiden Joko Widodo. Fatia menilai bahwa Presiden Jokowi memberikan angin segar bagi menguatnya oligarki, ditandai dengan pembangunan lebih dibasiskan atas kepentingan pengusaha. Nafsu pemerintah dalam membangun dengan topangan investasi asing justru melahirkan pelbagai konflik dan krisis baru sebagaimana yang terjadi di Papua, Sulawesi, Halmahera Utara, Rempang, Banyuwangi, Wadas, dan masih banyak lagi daerah lainnya di Indonesia. 

Selanjutnya, Fatia turut menyinggung terkait dengan kerja-kerja Pembela HAM yang justru menghadapi berbagai bentuk tantangan. Upaya kriminalisasi kepada masyarakat yang memperjuangkan haknya jelas tidak sejalan dengan Undang-Undang 32 Tahun 2009. Selain hal tersebut, Fatia menekankan terkait dengan peran Perempuan Pembela HAM (Woman Human Rights Defenders). Upaya penuntutan yang dihadapi olehnya saat ini tidak lain dan tidak bukan hanyalah semacam etalase arogansi elit dengan menggunakan tangan-tangan hukum. Fatia menyinggung hukum telah menjadi alat dan senjata elit penguasa untuk membentengi diri dari kritik dan untuk menunjukkan arogansi mereka di atas hukum. Satu hal yang menyedihkan baginya, Fatia menjelaskan bahwa kasus ini bukan saja membuatnya mengalami kerugian berupa kehilangan kesempatan studi dan kerja, melainkan juga telah membuatnya kehilangan kesempatan untuk dapat merawat orang tuanya di saat waktu-waktu terakhirnya. 

Dalam bagian penutup pledoinya, Fatia menyatakan bahwa tidak menyesali atas apa yang telah dilakukan bersama dengan Haris Azhar. Hal yang disampaikan pada konten Youtube tersebut ialah semata-mata demi kepentingan publik, memberikan fakta kepada masyarakat untuk dapat ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Fatia turut mendesak negara untuk dapat menindaklanjuti berbagai temuan yang berasal dari masyarakat, terutama masyarakat terdampak yang menjadi korban pelanggaran HAM. Fatia berharap bahwa pengadilan ini dapat menyumbangkan sebuah preseden berkeadilan dan membuktikan kepada forum internasional bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara masih bisa dijadikan contoh.

Atas dasar hal tersebut kami meminta majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk:

Pertama, menerima nota pembelaan secara keseluruhan;

Kedua, menyatakan menolak dakwaan dan tuntutan dari JPU;

Ketiga, menyatakan seluruh dakwaan terhadap Fatia dan Haris tidak dapat diterima;

Keempat, menyatakan Fatia dan Haris tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU ITE;

Kelima, membebaskan Fatia dan Haris dari segala tuntutan;

Keenam, memulihak hak-hak Fatia dan Haris dalam kemampuan, kedudukannya serta martabatnya;

Ketujuh, membebankan biaya perkara kepada negara menurut hukum yang berlaku.

Narahubung:

 Asfinawati (Tim Advokasi untuk Demokrasi)
Nurkholis Hidayat (Tim Advokasi untuk Demokrasi)
Arif Maulana (Tim Advokasi untuk Demokrasi)
Muhammad Isnur (Tim Advokasi untuk Demokrasi)
Andi Muhammad Rezaldy (Tim Advokasi untuk Demokrasi)

 

Pledoi selengkapnya dapat dilihat pada:
https://drive.google.com/drive/folders/1ZgTw1Vhl9RG0p9lsvK9HEBDnndwQ9Sri?usp=sharing