Respon KontraS atas Debat Perdana Calon Presiden: Momentum Debat Perdana Kurang Maksimal Menguji ‘Isi Kepala’ Capres dan Membahas Topik HAM Secara Substansial

Debat perdana Calon Presiden (Capres) periode 2024-2029 telah terselenggara pada 12 Desember 2023 lalu. Adapun topik yang dibahas yakni pemerintahan, hukum HAM, pemberantasan korupsi, penguatan demokrasi, serta peningkatan layanan publik dan kerukunan warga. Berdasarkan debat yang sudah berlangsung, secara umum, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai bahwa momentum ini kurang maksimal untuk menggali ‘isi kepala’ para Calon Presiden karena waktu pemaparan yang terbatas dan isu Hak Asasi Manusia (HAM) belum sepenuhnya dibahas secara substansial.

Adapun beberapa isu/topik yang kami anggap penting tetapi belum sempat dibahas yakni peran Presiden dalam kaitannya menjalankan reformasi sektor keamanan dan mencegah institusi keamanan seperti Polri dan TNI yang terus melakukan pelanggaran HAM. Selain itu, isu-isu seperti komitmen para pasangan untuk menghentikan pelanggaran HAM dalam pembangunan dan langkah yang dilakukan dalam mengembalikan kebebasan akademik pun tidak sama sekali dibahas.

Berdasarkan pengamatan dan analisis kami terkait debat Capres yang diselenggarakan 12 Desember lalu, kami memberikan catatan sebagai berikut:

Pertama, pemaparan awal ketiga Calon Presiden belum sepenuhnya menunjukan komitmen terkait perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM. Berdasarkan pengamatan kami, dalam empat menit waktu yang diberikan kepada masing-masing calon, Capres no. 1, Anies Baswedan berfokus pada prinsip negara hukum yang tidak ditegakan sesuai kepentingan kekuasaan, fenomena pelaporan kepada aparat yang tidak ditindaklanjuti dan peristiwa 21-23 Mei 2019 lalu. Sementara dalam paparan Capres no. 2, kami tidak cukup bisa menangkap gagasan dari Prabowo Subianto yang hanya banyak bercerita soal kisahnya berkarir sebagai prajurit, bahkan tidak menyentuh tema yang seharusnya. Adapun Capres no. 3, Ganjar Pranowo berangkat dari permasalahan di berbagai daerah di Indonesia seperti akses kesehatan, hak atas pekerjaan, sampai hak atas fasilitas pendidikan. Lebih jauh, Ganjar menyebut soal intimidasi terhadap kebebasan berekspresi, serta pemerintahan bersih serta akomodatif. Berdasarkan pemaparan di sesi awal tersebut, kami menilai bahwa ketiga Capres tidak menunjukan komitmennya soal memimpin arah gerak kemajuan dan peradaban HAM di Indonesia, lewat sejumlah langkah strategis. Kami pun tidak menemukan visi besar dalam penegakan HAM, padahal dalam sistem negara presidensialisme, otoritas-kewenangan yang diberikan Presiden sangatlah besar.

Kedua, Capres No. 2 gagal paham terkait problematika kemanusiaan yang terus berlangsung  dan ingin melanjutkan pendekatan militerisasi di Papua. Kami sebetulnya mengapresiasi debat ini karena membahas langkah Presiden untuk menghentikan konflik dan kekerasan yang terus terjadi di Papua. Sayangnya, jawaban dari Capres No. 2 tidak sama sekali menjawab pertanyaan, bahkan justru menyatakan permasalahan di Papua adalah soal separatisme, campur tangan asing, dan pihak-pihak yang selalu ingin Indonesia disintegrasi. Hal ini kami anggap sebagai pandangan yang keliru total dan gagalnya Prabowo dalam menangkap akar masalah – yang menyebabkan konflik dan kekerasan di Papua. Prabowo justru menormalisasi pendekatan militerisasi lewat pengerahan aparat keamanan dan stigmatisasi dengan menyebut kelompok pro-kemerdekaan sebagai separatis-teroris. Padahal, selama bertahun-tahun jalan ini tidak berhasil dalam menuntaskan persoalan di Papua, terbukti dalam setahun terakhir saja, ​​setidaknya terjadi 46 peristiwa kekerasan terhadap warga sipil di Tanah Papua yang menyebabkan 66 orang terluka dan 41 orang tewas.

Selain itu, lewat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang merupakan institusi riset resmi nasional telah merumuskan terdapat empat akar masalah di Papua yakni: marjinalisasi dan efek diskriminatif terhadap orang asli Papua sejak 1970, kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat, adanya kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta dan pertanggungjawaban atas kekerasan Negara di masa lalu terhadap warga Negara Indonesia di Papua. Sementara itu, Capres no. 3, Ganjar Pranowo menawarkan jalan duduk bersama dan dialog soal roots masalahnya. Adapun Capres no. 1, Anies Baswedan mengungkap persoalan ketidakadilan di Papua, mencegah berulangnya kekerasan dan menyelesaikan lewat dialog co-partisipatif. Kami menilai bahwa komitmen kedua Capres ini positif, tetapi belum sepenuhnya komprehensif,  sebab waktunya sangat terbatas dalam menanggapi yakni hanya satu menit.

Ketiga, Capres No. 2 tidak mengerti prinsip-prinsip negara hukum dan  negara demokratis. Hal ini terlihat pada sesi ketiga, tepatnya saat topik penguatan demokrasi dibahas. Sebelumnya Capres No. 1 menyebutkan bahwa pilar demokrasi bukan hanya partai politik, melainkan terdapat tiga hal penting lainnya yakni terjaminnya kebebasan berbicara, adanya kekuatan oposisi dan proses pemilu yang diselenggarakan secara netral serta transparan. Sayangnya, saat diberikan kesempatan menanggapi, Capres No. 2 terlihat begitu emosional dengan mengungkap bahwa negara sudah demokratis terbukti dari menangnya Anies Baswedan di Pilkada tahun 2017. Hal ini justru menunjukan ketidakpahaman Prabowo soal nilai penting demokrasi dengan hanya mensimplifikasi demokrasi hanya sebatas lewat pengambilan surat suara lewat Pemilu/Pilkada.

Jika lebih substansial, proses demokratisasi di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan memang mengalami regresivitas yang signifikan. Hal tersebut terbukti dari sejumlah laporan dan penelitian yang dirilis oleh berbagai lembaga, misalnya Economist Intelligence Unit (EIU), dinyatakan bahwa kinerja demokrasi Indonesia bergerak stagnan. Indonesia menempati angka 6,71 poin dan masih belum bergerak dari kategori demokrasi cacat (flawed demokrasi). Debat seharusnya dapat mengangkat indikator dan penyebab terus anjloknya indeks demokrasi seperti halnya represi yang terus terjadi di ruang publik dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang masih menjadi momok kebebasan berpendapat di ruang digital.

Keempat, nihilnya komitmen dan strategi konkrit dari masing-masing calon Presiden dalam agenda penuntasan kasus pelanggaran HAM Berat. 

Diskursus mengenai penegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM berat menjadi isu panas di tengah debat calon presiden, utamanya antara Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto pada sesi tanya jawab di segmen kelima yang sempat menanyakan komitmen Prabowo Subianto dalam penuntasan kasus Penghilangan Aktivis 1997/1998. Utamanya berkaitan dengan komitmen Prabowo dalam menjalankan rekomendasi Pansus DPR RI tahun 2009 kepada Presiden untuk membentuk pengadilan HAM, menemukan 13 korban penghilangan paksa pada 1997-1998, pemulihan dan kompensasi pada korban pelanggaran HAM berat, dan meratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa termasuk berkaitan dengan pencarian 13 korban penghilangan paksa agar mereka ditemukan sehingga ibu dari para korban yang selama ini menanti kejelasan soal anaknya.

Terhadap hal tersebut dan topik penuntasan kasus pelanggaran HAM berat, kami menyoroti beberapa persoalan yang mencuat diantaranya: 1) Sangat disayangkan kasus pelanggaran HAM berat yang disebutkan oleh Capres No. 3 hanya menyebutkan 12 kasus pelanggaran HAM berat yang telah diakui oleh Presiden Jokowi pada 11 Januari 2023 lalu, padahal terdapat 17 kasus pelanggaran HAM berat yang telah ditetapkan oleh Komnas HAM; 2) Tidak muncul keberanian dari calon presiden dengan nomor urut 2 (Prabowo Subianto) untuk berkomitmen dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Berat. Bahkan, tanggapan Prabowo terkait penuntasan kasus penghilangan aktivis 1997-1998; justru mengafirmasi dirinya diduga terlibat dalam kasus tersebut. Hal ini dibuktikan dengan adanya dua pola jawaban yang muncul berkaitan dengan pemenuhan jawaban sebelumnya atas keterlibatannya dalam kasus tersebut ke beberapa pihak dan media, serta menyebutkan bahwa beberapa korban penculikan aktivis 1997-1998 yang telah dikembalikan saat ini berada dipihaknya. Jawaban tersebut patut disesalkan karena Capres No. 2 mencampuradukkan hubungan politik personal korban dengan dirinya. Upaya hukum penuntasan pelanggaran HAM berat sama sekali tidak dapat dihubungkan dengan pilihan politik korban, alih-alih menjawab dengan mengemukakan strategi yang akan dilakukan untuk menuntaskan kasus, Capres No. 2 justru “berlindung” dibalik dukungan aktivis 98 kepadanya.

Namun diluar dari pada itu, masing-masing calon juga gagal memunculkan gagasan dan strategi penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Nihilnya strategi dan metode dari ketiga para calon Presiden terkait penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dalam momentum debat calon Presiden. Padahal, gagasan dari segi strategi maupun metode adalah hal yang paling esensial dan mutlak untuk dijadikan diskursus debat guna menguji tanggung jawab dari masing-masing calon Presiden dalam memenuhi hak korban pelanggaran HAM berat secara komprehensif berkaitan dengan hak atas keadilan, hak atas kebenaran, hak atas pemulihan yang efektif hingga jaminan ketidak berulangan atas kasus pelanggaran HAM berat.

Kelima, seluruh Capres gagal ‘menangkap’ masalah pada kasus brutalitas aparat seperti halnya Kasus Kanjuruhan dan KM 50. Dalam sesi tanya jawab pada segmen kelima, Anies Baswedan sempat menyampaikan pertanyaan kepada Ganjar Pranowo soal rasa keadilan yang belum muncul pada kasus pelanggaran HAM kontemporer yakni Kasus Kanjuruhan yang menimbulkan 135 korban tewas dan kasus pembunuhan di luar hukum (extra-judicial killing) kepada sejumlah anggota laskar FPI yang terjadi di Km 50 Tol Cikampek. Jawaban dari Ganjar Pranowo pun terkesan normatif dan gagal menjawab secara komprehensif guna memberikan keadilan bagi korban serta keluarga korban, walaupun tanggapan dari Anies Baswedan menyebutkan 4 aspek dalam keadilan transisi.

Sayangnya, para Capres tersebut tidak ada satupun yang menjelaskan bahwa permasalahan utama dari dua tragedi tersebut adalah soal kultur kekerasan di tubuh institusi Kepolisian. Selama bertahun-tahun Korps Bhayangkara nampak terjebak dalam tindakan eksesif dan brutal sehingga tindakannya memakan korban di tengah masyarakat. Selain itu, berbagai upaya penyelesaiannya pun jauh dari akuntabilitas, para pelaku dihukum ringan, bahkan tak jarang banyak yang bebas dari hukuman. Hal tersebutlah yang menyebabkan peristiwa kekerasan oleh Kepolisian terus berulang. Seharusnya ketiga Capres dapat menunjukan keberaniannya untuk melakukan reformasi total terhadap institusi Kepolisian, baik secara struktural, kultural dan instrumental, lebih konkret misalnya lewat pengetatan pengawasan.

Dari berbagai catatan tersebut, kami menilai bahwa momentum debat ini belum berhasil menghadirkan diskursus HAM secara esensial dan substansial. Para Capres pun belum sepenuhnya bisa memaparkan gagasan, visi-misi, dan program unggulan untuk menyelesaikan permasalahan HAM yang ada seperti penuntasan kasus pelanggaran HAM berat, kekerasan yang terus terjadi di Papua, kebebasan berpendapat hingga pendekatan keamanan dalam pembangunan. Lebih jauh, isi kepala para Capres mengenai gagasan dan rencana implementasi agenda mengenai pemerintahan, hukum HAM, pemberantasan korupsi, penguatan demokrasi, serta peningkatan layanan publik dan kerukunan warga tidak berhasil disampaikan ke masyarakat. Bahkan, kami menilai bahwa performa salah satu Capres yakni Prabowo Subianto sangatlah buruk, menunjukan sisi emosionalnya khas Jenderal produk orde baru.

 

Jakarta, 13 Desember 2023
Badan Pekerja KontraS

 

Dimas Bagus Arya
Koordinator

 

Narahubung: +62-821-2203-1647