Pembacaan Duplik pada Sidang Kriminalisasi Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar: Penyesatan oleh JPU Harus Dihentikan dan Hakim Harus Bebaskan Fatia-Haris Dari Seluruh Dakwaan

Jakarta, 11 Desember 2023, Kasus kriminalisasi terhadap Fatia Maulidiyanti (Koordinator KontraS 2020-2023) dan Haris Azhar (Pendiri Lokataru) akan sampai pada tahap pembacaan duplik yang akan disampaikan Tim Penasihat Hukum untuk menjawab replik yang dari Jaksa Penuntut Umum bacadan pada minggu lalu. Dalam duplik yang kami bacakan, kami mendalilkan bahwa tidak semua orang yang berstatus terdakwa sudah pasti bersalah dan asas presumption of innocence harus dikedepankan. Lewat duplik ini, kami mengajak untuk melihat fakta dan keadaan pada peradilan ini dengan pikiran yang terang serta lurus.

Jika disimplifikasi, terdapat dua permasalahan dalam peradilan ini, pertama, Luhut yang ada di pertambangan di Papua dan muatan pencemaran baik dalam kata ‘Lord’ dan ‘Penjahat’. Sayangnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) selama hanya menggunakan gaya pembuktian selayaknya dengan ‘kacamata kuda’. Jaksa lupa untuk menggunakan akal dan nalar untuk mencapai kebenaran. Hal tersebut misalnya tercermin dari cara jaksa dalam mengkonfrontir seluruh saksi dan ahli dengan pertanyaan kesesuaian antara podcast dengan hasil riset. Bahkan dalam proses persidangan, muncul pertanyaan-pertanyaan konyol seperti halnya apakah nama Luhut terdapat pada peraturan PPATK mengenai PEP’s. Hal ini pantas ditertawakan karena peraturan tidak pernah mengatur nama, melainkan pada keputusan Tata Usaha Negara (TUN) yang bersifat individual dan konkret. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan Jaksa yang sifatnya memaksa para ahli sesuai dengan kehendaknya serta menjerat. Model berpikir dan pembuktian ini tentu sangat menyedihkan.

Kami juga menyoroti sikap Jaksa yang menyerang personal dari para Komisioner Komnas HAM dalam replik yang dibacakan pada minggu yang lalu karena telah menerbitkan surat penetapan Pembela HAM terhadap Fatia dan Haris. Padahal yang menerbitkan surat penetapan tersebut merupakan komisioner Komnas HAM periode sebelumnya yakni 2017-2022. Hal ini menunjukan bahwa Jaksa tidak melakukan riset dengan baik dalam menyusun argumentasi dalam replik, kekurangan dalil dan hanya berdasar pada penuntutan jahat.

Sikap Jaksa yang bertindak sewenang-wenang dengan mendalihkan asas dominus litis merupakan bentuk otoritarian dari Jaksa Penuntut Umum. Padahal Jaksa seharusnya dapat berupaya semaksimal mungkin untuk menemukan kebenaran materil dalam perkara ini, misalnya dengan menghadirkan saksi – ahli yang sebelumnya dihadirkan di tahap penyidikan. Jaksa pun hanya membuktikan satu pasal yakni Pasal 27 ayat (3) UU ITE saja, meskipun dakwaan disusun secara kombinasi. Hal ini kami anggap kegagalan Jaksa dalam membuktikan seluruh unsur dalam pasal-pasal yang didakwakan sebelumnya. Sebagai dominus litis, seharusnya Jaksa tidak melanjutkan perkara ini ke tahap penuntutan sesuai dengan asas oportunitas/diskresi penuntutan. Kasus ini sekaligus menunjukan bahwa Jaksa tidak lebih dari tukang pos peradilan yang hanya meneruskan perintah dari Kepolisian.

Dalam duplik ini, kami juga menentang argumentasi Jaksa yang menempatkan saksi Ahmad Ashof Biri sebagai saksi testimonium de auditu karena hanya mengambil data sekunder. Hal ini menunjukan ketidakpahaman Jaksa terhadap apa yang didalilkannya sendiri. Jika merujuk pada pendapat Yahya Harahap dalam bukunya, saksi testimonium de auditu setidaknya harus memiliki dua kualifikasi yakni kesaksian yang merupakan pengulangan dari orang lain dan keterangan yang disampaikan di luar persidangan. Sementara keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Ashof Biri bukan merupakan dari orang lain, karena kapasitasnya sebagai peneliti yang ikut menulis kajian cepat. Selain itu, saksi pun menyampaikan keterangannya di pengadilan dan di bawah sumpah di depan Majelis Hakim.

Selain itu, dalil Jaksa yang menyatakan bahwa Haris Azhar mendulang keuntungan dengan menggunakan nama Luhut Binsar Pandjaitan jelas keliru, mengada-ngada dan tidak berdasar pada fakta persidangan. Sebab, jika dilihat dari data aktualnya, justru terdapat penurunan jumlah subscriber dan viewer dari akun youtube Haris Azhar pasca kasus ini berjalan. Jaksa pun tidak pernah membuktikan keuntungan uang sepeserpun yang diterima oleh Haris Azhar atas video podcast ini. Dalil ini lagi-lagi membuktikan Jaksa yang putus asa dan tidak cermat dalam menuntut perkara Fatia dan Haris.

Jaksa pun melakukan pengelabuan dan penyesatan dengan menyatakan bahwa SLAPP hanya berkaitan dengan langkah litigasi yang bermuara pada peradilan. Padahal, upaya perjuangan terhadap lingkungan hidup bukan hanya di ranah litigasi, melainkan lewat penyampaian pendapat di muka umum, mimbar bebas dan cara-cara lainnya. Hal tersebut bahkan secara tegas diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup dan Pedoman Kejaksaan No. 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Nurkholis Hidayat, Tim Advokasi untuk Demokrasi menyatakan bahwa “Reputasi Indonesia yang semakin buruk dalam hal penegakan HAM dan pemberantasan korupsi, didasarkan pada riset dari lembaga nasional ataupun internasional. Pengadilan atas perkara ini juga telah menjadi sorotan dunia internasional yang menunggu hasil akhir atau putusan dari majelis hakim. Keputusan yang adil tentu akan menjadi penanda masih dapat dipercayanya institusi pengadilan yang independen dan tidak tunduk pada kekuasaan.”

Ketika kasus ini berjalan, situasi kemanusiaan dan lingkungan hidup di Papua pun tak kunjung mengalami perbaikan. Alih-alih memperbaiki keadaan, negara justru memenjarakan orang-orang seperti Fatia dan Haris yang menyuarakan situasi Papua tersebut.” Tambah Nurkholis.

Dalam duplik ini, kami pun meminta kepada Majelis Hakim untuk menerima nota pembelaan dan duplik ini diterima, menolak dakwaan dan tuntutan dari JPU secara keseluruhan, menyatakan dakwaan tidak dapat diterima, menyatakan Haris dan Fatia tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan, membebaskan Fatia dan Haris dari seluruh dakwaan atau setidak-tidaknya melepaskan dari segala tuntutan hukum, dan memulihkan hak terdakwa.

Pada persidangan ini, kami juga melampirkan kepada Majelis Hakim sebanyak 16 Amicus Curiae (sahabat peradilan) dari berbagai organisasi baik dari nasional maupun internasional berkaitan dengan kasus kriminalisasi ini. Majelis Hakim menyatakan bahwa pemeriksaan telah selesai setelah hampir delapan bulan berjalan. Hakim Ketua pun mengumumkan putusan akan dibacakan pada tanggal 8 Januari 2024.

Narahubung:

Nurkholis Hidayat (Tim Advokasi untuk Demokrasi)
Asfinawati (Tim Advokasi untuk Demokrasi)
Muhammad Isnur (Tim Advokasi untuk Demokrasi)
Andi Muhammad Rezaldy (Tim Advokasi untuk Demokrasi)

klik disini untuk melihat duplik Haris Azhar selengkapnya
klik disini untuk melihat duplik Fatia Maulidiyanti