Pasca Putusan Bebas terhadap Fatia dan Haris: Apresiasi terhadap Majelis Hakim dan Langkah Kasasi dari JPU Menunjukkan Politik Penegak Hukum Berpihak pada Kekuasaan

10 Januari 2024 – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur telah menjatuhkan putusan bebas atas kasus kriminalisasi terhadap Fatia Maulidiyanti (Koordinator KontraS 2020-2023) dan Haris Azhar (Pendiri LOKATARU) pada hari Senin, 8 Januari 2024 lalu. Putusan ini merupakan kabar yang sangat baik di tengah fenomena ambruknya demokrasi pada rezim Presiden Joko Widodo belakangan ditandai dengan pelemahan lembaga pengawas, diobrak-abriknya Mahkamah Konstitusi, kemunculan politik dinasti dan berbagai indikasi serta potensi kecurangan dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Kami menilai bahwa putusan ini pun merupakan pesan kepada seluruh elemen masyarakat bahwa masih ada harapan terhadap kebebasan sipil dan tidak takut untuk terus bersuara dengan menyampaikan kritik terhadap pemerintah. 

Koalisi masyarakat sipil mengapresiasi putusan majelis hakim yang telah dibacakan pada senin 8 Januari 2024 lalu, mengingat dalam putusan tersebut Hakim mengakui beberapa hal seperti halnya fakta adanya conflict of interest oleh Luhut Binsar Pandjaitan terkait praktik pertambangan di Papua. Fakta tersebut dilihat dari adanya penjajakan bisnis anak perusahaan LBP yakni PT Tobacom Del Mandiri bersama dengan PT Madinah Qurrota Ain dan West Wits Mining. Dalam persidangan pun terbukti bahwa LBP sebagai beneficiary owners (BO), sebab setiap tahunnya mendapatkan laporan keuangan perusahaan, sehingga mustahil tidak mengetahui atau menyetujui adanya penjajakan bisnis di Papua. 

Sayangnya, Jaksa Penuntut Umum lewat rilis resminya mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung atas putusan bebas terhadap Fatia dan Haris ini. Ahli Ahmad Sofian dari Universitas Binus menyebutkan “Kasasi seharusnya tidak dilakukan, sebab di berbagai negara, Jaksa tidak bisa mengajukan upaya hukum terhadap putusan bebas karena unsur-unsur pasalnya tidak ada satupun yang terpenuhi.” 

Berdasarkan putusan ini pun,  Akademisi STHI Jentera berpendapat “Putusan ini membuktikan Solidaritas masyarakat sipil yang sangat kuat di tengah tantangan yang kian sulit.”  Adapun Faisal Basri yang merupakan Ekonom Senior dan ahli di persidangan menyebutkan “Bebasnya Fatia dan Haris merupakan putusan luar biasa, harus dijadikan senjata untuk menguatkan posisi masyarakat sipil agar penguasa takut berbuat semena-mena. Hancur negara ini jika terus terjadi kelindan kepentingan, seseorang yang berperan ganda yakni sebagai pengusaha dan penguasa. Sumber daya alam selama ini dieksploitasi secara masif, keuntungannya digunakan untuk membiayai Pemilihan Presiden dan memperpanjang kekuasaan yang otoriter.” Faisal Basri pun mengajak agar terus memperkuat kajian, sebab penelitian tidak dapat dipidana.  

Lebih lanjut, Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyebutkan “Putusan ini positif untuk membangun kebebasan sipil, kebebasan berekspresi hingga kebebasan beroposisi. Putusan hakim pun menjelaskan bukan Fatia-Haris lah yang melanggar hukum melainkann Pejabat yang melaporkan Haris dan Fatia pun yang terbukti melanggar hukum. Pertambangan di Papua harus dihentikan sementara, karena proses pertambangan hampir pasti dibarengi dengan penggunaan kekuatan negara yang berujung pada kriminalisasi.” 

Sementara dari perspektif tim penulis kajian cepat, Rio Rompas dari Greenpeace Indonesia menuturkan “Begitu banyak riset soal Papua, terlebih soal SDA di Papua. Kami akan memperkuat dan melanjutkan riset-riset untuk kepentingan publik. Upaya untuk membongkar skandal dan keuntungan yang didapatkan pun akan diteruskan.” Satrio dari Walhi Eknas pun menambahkan “Putusan ini juga menandakan pentingnya perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan atau anti SLAPP. Peran Pembela Lingkungan sangat penting karena lingkungan tidak bisa membela dirinya lewat proses peradilan. Khusus untuk pertambangan, tetap akan berdampak destruktif dan merusak lingkungan. Putusan ini pun harus menjadi koreksi terhadap tata kelola sumber daya alam.” 

Dalam agenda konferensi pers ini, hadir pula Pendeta Ronald Tapilatu dari Persatuan Gereja Indonesia (PGI). Dalam keterangannya, Pendeta Ronald menyampaikan “Ada harapan bagi orang-orang yang terus memperjuangkan isu kemanusiaan dan lingkungan di Papua. Kriminalisasi hanya akan berbuah pada ketakutan bagi mereka yang kritis dan melakukan riset. Dari gereja juga mengapresiasi putusan ini. Orang-orang di Papua pun sangat senang atas putusan ini. Operasi militer di Papua tentu harus dihentikan.”  Sementara itu, Mulky dari Asia Justice and Rights menambahkan “Putusan ini memberikan angin segar bagi pembela HAM di tingkat regional yang memperjuangkan haknya, akan tetapi dikriminalisasi. Harapannya di negara-negara lain juga dapat mendapatkan kemenangan serupa.”

Lebih jauh, mewakili penasihat hukum, Nurkholis Hidayat menyampaikan “Pejabat publik  berhenti dari direksi atau komisaris perusahaan tentulah tidak cukup, karena ia sebagai pemilik manfaat sehingga memunculkan conflict of interest. Putusan ini harus menjadi pelajaran pada pejabat publik yang memiliki perusahaan selain Luhut. Putusan ini juga pelajaran bagi investor, agar lebih hati-hati agar tidak tergoda terhadap tipu daya dari pejabat yang memperdagangkan pengaruh sebelum berbisnis di Indonesia.” Nurkholis melanjutkan, “atas kasus ini justru Luhut seperti menunjukan secara gamblang atas perannya dalam bisnis pertambangan di Papua melalui perusahaan-perusahaan yang dimilikinya”. Selanjutnya, Julius Ibrani yang juga merupakan salah satu Kuasa Hukum dari Fatia-Haris menyampaikan jika putusan ini sebetulnya sudah dapat menjadi contoh untuk dapat segera menghentikan kasus-kasus kriminalisasi yang juga dialami oleh para aktivis lainnya. Lebih lanjut menanggapi putusan ini, seharusnya dapat dijadikan sebagai momentum bagi seluruh aparat penegak hukum untuk dapat segera melakukan evaluasi terhadap kinerjanya. Mengingat banyaknya peristiwa kriminalisasi terhadap para aktivis lingkungan, yang pada akhirnya mereka divonis bebas oleh Majelis Hakim seperti halnya kasus yang dialami oleh Jumhur Hidayat.

Citra Referandum dari LBH Jakarta “Putusan ini tentu bukan belas kasih dari Presiden Jokowi. Jokowi justru mewariskan regulasi yang memberangus kebebasan berekspresi, diantaranya KUHP baru dan terbaru revisi UU ITE. Rezim Jokowi mengedepankan tindakan represif, misalnya represi terhadap berbagai demonstrasi yang dilakukan oleh buruh. Walaupun menang dalam putusan ini, perjuangan tentu masih panjang untuk memperjuangkan demokrasi.” Selain itu, Afif Abdul Qoyim dari LBH Masyarakat menambahkan “Putusan ini berkontribusi besar pada kasus-kasus pasal karet sekaligus kasus ini menjadi mimpi buruk bagi aparat penegak hukum agar tidak sembarangan dalam menggunakan pasal-pasal yang ada.” 

Masih dari Tim Penasihat Hukum, Asfinawati menyampaikan bahwa Penuntut Umum seharusnya tidak melakukan kasasi karena putusannya sudah sangat baik. Langkah yang diambil mengindikasikan politik penegakan hukum berpihak pada masyarakat atau pada penguasa/pejabat. Selain itu, Muhammad Isnur pun menambahkan “Kasasi dari JPU mengindikasikan semangat berbeda, jaksa yang mengada-ngada. Hasrat ini pun terlihat dari dalil Jaksa selama di persidangan seperti motif meminta saham, terjadi keonaran dari kolom youtube. Jaksa pun tidak menghadirkan sejumlah saksi untuk membuat terang perkara.” 

Narahubung:

Ahmad Sofian (Akademisi Universitas Binus)

Bivitri Susanti (Akademisi STHI Jentera)

Faisal Basri (Ekonom Senior – Akademisi Fakultas Ekonomi UI)

Usman Hamid (Direktur Amnesty International Indonesia)

Rio Rompas (Greenpeace Indonesia)

Satria (Walhi Eksekutif Nasional)

Ronald Tapilatu (Persatuan Gereja Indonesia) 

Mulki Makmun (Asia Justice and Rights)

Nurkholis Hidayat (Tim Advokasi untuk Demokrasi)

Julius ibrani (Tim Advokasi untuk Demokrasi)

Asfinawati (Tim Advokasi untuk Demokrasi)

Afif Abdul Qoyim (Tim Advokasi untuk Demokrasi)

Muhammad Isnur (Tim Advokasi untuk Demokrasi)