Hentikan Segera Semua Bentuk Pendekatan Militeristik: Penolakan Warga Atas Pertambangan di Blok Wabu Menelan Korban Jiwa

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam penembakan yang terjadi di wilayah Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua. Sebelumnya, pada tanggal 19 Januari 2024 lalu, masyarakat di Intan Jaya menggelar aksi penolakan atas izin kegiatan pertambangan emas yang diberikan oleh Pemerintahan Provinsi Papua Tengah kepada PT. Antam di blok Wabu Kabupaten Intan Jaya. Aksi protes tersebut selanjutnya terjadi baku tembak antara Aparat TNI-Polri dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). Atas peristiwa baku tembak tersebut menelan 2 korban jiwa yang masing-masing dari warga sipil dan anggota kepolisian, serta 1 korban luka tembak.

Berdasarkan kronologi yang berhasil kami dapatkan, baku tembak terjadi sejak 19 Januari 2024 di pusat Kota Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua antara aparat keamanan TNI-Polri dengan Tentara TPNPB OPM. Akibat hal tersebut  dua warga sipil menjadi korban penembakan yang diduga dilakukan oleh aparat gabungan TNI-Polri, yaitu Yusak Sondegau, pria berusia 40 tahun mengalami luka tembak pada bagian tubuh dan meninggal dunia. Jasad korban ditemukan oleh warga setempat pada tanggal 21 Januari, dan lalu dievakuasi bersama dengan pihak gereja ke Rumah Sakit Yogatapa yang berjarak sekitar 200 meter dari lokasi kejadian. Korban selanjutnya bernama Apriana Sani, perempuan berusia 32 tahun mengalami luka tembak pada bagian tangan kiri pada hari Sabtu, 20 Januari sekitar pukul 20:28 malam waktu setempat. Hingga saat ini korban masih dirawat di rumah sakit Yogatapa, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua.

Selain korban dari masyarakat sipil, aksi baku tembak antara kedua belah pihak yang terjadi di pusat Kota Sugapa ini juga menelan korban dari  pihak Kepolisian bernama Briptu Alfando Steve Karamoy. Personil Satgas Ops Damai Cartenz 2024 Resimen III Pasukan Pelopor Koprs Brimob Polri meninggal dunia setelah mengalami luka tembak pada bagian rahang.

Hingga Minggu siang, 21 Januari 2024 warga sipil yang berada di Yogatapa, Bilogai hingga Kumbagupa dan sebagian warga dari sejumlah kampung yang terkena dampak konflik bersenjata telah mengungsi ke Gereja Katolik St. Misael di Bilogai, Kota Sugapa. Sebelumnya pada 20 Januari 2024 warga sipil yang terkena dampak konflik bersenjata di Kampung Mamba juga telah mengungsi ke sebuah Gereja di Tigiamajigi, Distrik Sugapa. Diperkirakan kondisi ini akan terus meningkat di Intan Jaya jika pemerintah Indonesia tidak menyelesaikan persoalan politik dan pelanggaran hak asasi manusia di tanah Papua. Bahkan hingga sampai saat ini, kondisi di Intan Jaya masih belum kondusif. Masih terjadi pembakaran terhadap rumah, ataupun fasilitas umum lainnya yang diduga dijadikan sebagai markas militer ataupun TPNPB-OPM.

Kami menilai bahwa konflik yang terjadi di tanah cenderawasih ini terjadi akibat pendekatan keamanan atau pendekatan militeristik yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Faktanya, akibat banyaknya operasi militer yang dilakukan di Papua justru membuat aktifitas masyarakat serta akses pelayanan publik menjadi terhambat, sehingga pada akhirnya pemenuhan hak warga negara menjadi terabaikan. Tidak efektifnya kebijakan yang diambil oleh Pemerintah mengakibatkan masyarakat di Papua semakin menderita. Rasa takut akibat konflik senjata yang tak kunjung selesai terus menghantui mereka. Hal ini tentu bertentangan dengan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengamanatkan “Setiap orang berhak rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat”.

Selanjutnya, kami juga mengecam atas segala bentuk tindak kekerasan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh aparat keamanan di Papua khususnya wilayah Intan Jaya yang menyebabkan konflik ini tidak berkesudahan. Jatuhnya korban sipil dalam peristiwa ini haruslah menjadi evaluasi terhadap penggunaan senjata api di lapangan, khususnya bagi aparat Kepolisian. Pihak Kepolisian harus berpedoman pada Pasal 3 huruf, b dan c Perkap No. 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian yang menyatakan: “Prinsip-prinsip penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian meliputi: b. Necesitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi; c. Proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan”. Lebih lanjut, berdasarkan hasil pemantauan yang telah kami lakukan, tercatat dalam periode Januari – Desember 2023 telah terjadi sekitar 21 kasus penembakan di Papua yang menewaskan 41 warga sipil.

Kami mendorong pemerintah untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang ada di tanah cenderawasih melalui perspektif yang lebih humanis dan menyentuh akar konflik yang terjadi di Papua. Mengutip hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam hasil risetnya mereka menjabarkan 4 akar konflik yang terjadi di Papua, yakni mulai dari adanya perbedaan perspektif dalam sejarah, dan status politik Papua, kegagalan pembangunan, lalu tindak kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia, dan yang terakhir adalah adanya diskriminasi rasialis yang masih marak terjadi dan menyasar kepada Orang Asli Papua. Maka dari itu, kami menilai jika pemerintah Republik Indonesia tidak segera mencari solusi yang menyentuh ke akar-akar permasalah tersebut, konflik di Papua tidak akan kunjung selesai dan mungkin akan bertambah parah.

Atas hal tersebut, kami mendesak:

Pertama, Presiden Republik Indonesia untuk menghentikan segala macam bentuk pendekatan militeristik di Papua yang kental akan kekerasan. Pendekatan ini terbukti tidak efektif dan justru menyebabkan banyak kerugian bagi masyarakat;

Kedua, Kepolisian Daerah Papua untuk mengusut tuntas kasus penembakan ini, dan pelaku harus diadili melalui mekanisme yang adil dan akuntabel. Selain itu, aparat keamanan harus mengayomi serta menjamin keselamatan seluruh warga sipil yang berada di wilayah konflik.

Ketiga, Komnas HAM untuk segera melakukan investigasi secara independen dan imparsial guna mencari fakta atas konflik yang terjadi di Intan Jaya.

Jakarta, 26 Januari 2024
Badan Pekerja KontraS,

Dimas Bagus Arya, S.H.
Koordinator KontraS

 Lihat, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), “Updating Papua Road Map: Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda, dan Diaspora”, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2017, hlm 2-3