35 Tahun Talangsari Lampung 1989: Bayang-bayang Impunitas di Tengah Agenda Pemilu

Peristiwa Pelanggaran HAM Berat Talangsari Lampung sudah berlalu selama 35 tahun tanpa ada penyelesaian kasus secara berkeadilan. Padahal, pada 11 Januari 2024, Presiden dalam pidatonya telah memberikan pengakuan dan penyesalan atas terjadinya 12 kasus Peristiwa Pelanggaran HAM di Indonesia salah satunya Peristiwa Talangsari Lampung 1989. Namun, pidato tersebut tidak diiringi dengan tindakan konkrit Negara dalam memberikan hak korban secara berkeadilan dengan membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili dan menghukum para pelaku Talangsari 35 tahun silam, melakukan pengungkapan kebenaran atas kasus yang telah memberikan stigma negatif bagi korban dan keluarga korban lantaran dituduh sebagai gerakan Anti Pancasila dan ekstrimis Islam, memberikan pemulihan secara efektif dan menyeluruh bagi para korban dan menjamin atas ketidak berulangan peristiwa terjadi di masa yang akan datang. Sementara para pelaku masih melenggang bebas di luar jeruji besi tanpa adanya penghukuman.

“Perjuangan ini memang tidak mudah, dan banyak sekali halangan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang menginginkan kasus ini tidak dibuka lagi,  adanya Gerakan Islah Nasional (2000), keputusan DPRD Lampung Timur (2005), Deklarasi Damai (2019) terakhir  penyelesaian non yudisial melalui Keppres no 17 tahun 2022 oleh presiden Jokowi. Berbagai hal di atas bahkan terjadi dibarengi dengan berbagai macam intimidasi. Dari awal kami pun memang sudah pesimis, bahwa pemerintah Jokowi bersungguh-sungguh untuk memulihkan korban,” ujar Edi Arsadad dari Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL).

Setelah satu tahun euforia pidato pengakuan dan penyesalan Presiden atas 12 kasus pelanggaran HAM berat maupun iming-iming penyelesaian non-yudisial berupa bantuan materialistik tersebut, hingga kini tidak ada langkah yang signifikan dari pemberian pemulihan yang dijanjikan; melainkan tim tersebut hanya berujung pada pemutihan dan impunitas lainnya. Pemerintah seakan menjadikan penyelesaian non-yudisial sebagai upaya cuci tangan dan alih-alih penunaian kewajiban guna meninggalkan legacy baik rezim Joko Widodo dalam agenda penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sebagaimana telah termaktub dalam janji Nawacita-nya bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla pada tahun 2014 lalu: “Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia seperti; Kerusuhan Mei, Trisakti Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talangsari Lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965.” (Janji Jokowi dalam visi, misi, dan agenda prioritasnya yaitu Nawa Cita. Dalam poin 4, bagian 9 serta pada poin 11 huruf (f), Nawa Cita).

Selain itu, Peristiwa Talangsari 1989 ini juga berlalu selama 35 tahun di tengah adanya calon Presiden yang maju dalam kontestasi Pemilu 2024 sebagai seorang terduga pelaku pelanggaran berat HAM khususnya pada peristiwa penghilangan paksa 1997-1998 yang kemudian dipasangkan dengan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang berangkat dari kolusi dan nepotisme yang secara vulgar dipertontonkan oleh Mahkamah Konstitusi, yang diketuai oleh kerabat dekat Presiden Jokowi. Hal ini tentu memperkeruh situasi penuntasan kasus pelanggaran HAM berat yang semakin terabaikan nasib untuk dipenuhi hak atas keadilannya, pengungkapan pembenaran, pemulihan atas para korban maupun jaminan ketidak berulangan peristiwanya. Begitu pula dengan kedua calon kandidat Presiden dan Wakil Presiden yang dikelilingi dengan tangan-tangan besi berlumur darah karena terlibat kasus pelanggaran berat HAM di Indonesia. “Beberapa hari lagi kita akan memilih Presiden baru pengganti Jokowi, namun kami juga belum melihat dan mendengar dari para capres yg memiliki visi/misi atau komitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM,” ujar Edi Arsadad dari PK2TL.

“Peristiwa Talangsari dan kasus pelanggaran HAM lainnya ada dan nyata. Pemerintah telah mengakui dalam derajat yang paling minimum dengan menyampaikan penyesalan. Langkah itu harusnya dimaknai sebagai sebuah modal untuk mendorong mekanisme pembentukan pengadilan HAM ad hoc serta meminta maaf kepada seluruh korban dan menjamin tidak akan pernah ada lagi peristiwa keji terulang.”

Dalam peringatan 35 tahun, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL) mendesak kepada Presiden Republik Indonesia:

 

  1. Memerintahkan Kejaksaan Agung untuk melanjutkan berkas penyelidikan ke tahapan penyidikan maupun penuntutan Peristiwa Talangsari Lampung 1989 sebagaimana dinyatakan dalam Laporan Penyelidikan Komnas HAM sesuai dengan mandat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
  2. Membentuk Keputusan Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk Peristiwa Talangsari Lampung 1989;
  3. Mengevaluasi Kepolisian dan aparat negara yang bertugas menangani aksi massa guna mencegah berulangnya tindak kekerasan dan pelanggaran HAM berat secara sewenang-wenang termasuk melakukan reformasi institusi keamanan secara serius dan menghentikan jalan-jalan militerisme;
  4. Pemerintah untuk memenuhi hak korban berupa hak atas pengungkapan kebenaran dan hak atas pemulihan yang menyeluruh dan bermartabat.

 

Bandar Lampung,  7 Februari 2024

 

Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL)

 

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)