Koalisi Masyarakat Sipil Somasi Presiden Jokowi, Desak Hentikan Keculasan dan Tindakan Nir-Etika Jelang Pencoblosan

Jakarta, 8 Februari 2024 – Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari 35 Organisasi dan 5 individu yang bergerak di bidang Hak Asasi Manusia (HAM), Demokrasi, Lingkungan, Anti-Korupsi, Perburuhan, Kebudayaan dan sektor lainnya melayangkan somasi kepada Presiden Joko Widodo atas dasar rangkaian peristiwa kecurangan serta ketidaknetralan yang terus terjadi. Berbagai perbuatan Presiden Jokowi bahkan menjurus pada kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Keculasan Presiden dalam prosesi menjelang Pemilu dimulai pada saat menyatakan akan melakukan politik cawe-cawe demi kepentingan bangsa dan negara. Puncaknya, penggunaan kekuasaan negara untuk kepentingan politik Presiden termanifestasi pada diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang uji materi syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden. Putusan ini akhirnya menjadi dasar meloloskan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka untuk maju dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2024.

Presiden bahkan terus melakukan langkah guna mengakselerasi kemenangan bagi putranya. Salah satunya yakni pada 21 November 2023, Presiden Joko Widodo menerbitkan produk hukum berupa Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2023 yang pada intinya menyebut bahwa pejabat tidak perlu mundur dari jabatannya jika maju dalam kontestasi Pemilihan Presiden – Wakil Presiden. Hal ini berkonsekuensi pada sejumlah pejabat publik baik menteri dan kepala daerah yang berkepentingan dalam proses Pemilihan Presiden 2024 yang tidak mundur dan rawan akan penyalahgunaan wewenang seperti penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye politik elektoral serta aksesibilitas terhadap sejumlah perangkat negara dengan menitik tekankan pada relasi kuasa yang timpang.

Tendensi Presiden untuk berbuat curang semakin menjadi saat menyebut seorang presiden hingga para menteri ‘boleh kampanye, boleh memihak’ selama gelaran Pemilihan Umum. Selain itu, Presiden juga melakukan politisasi Bantuan Sosial (Bansos). Menjelang Pemilu, menteri-menteri Jokowi seperti halnya Airlangga Hartarto dan Zulkifli Hasan yang juga merupakan partai pengusung Paslon No. 02, Prabowo-Gibran, juga tanpa malu-malu mengkapitalisir pembagian Bansos untuk kepentingan elektoral. Diketahui pula bahwa nilai anggaran bansos di tahun politik ini melonjak tinggi, yakni sebesar Rp 496, 8 triliun, bahkan lebih tinggi ketimbang masa pandemi Covid-19.

Belum lagi, terjadi rangkaian intimidasi terhadap pihak-pihak yang melakukan kritik terhadap Presiden Joko Widodo kaitannya dengan berlangsungnya Pemilu. Sebagai contoh, pasca berbagai deklarasi dan seruan dari berbagai kampus, terdapat dugaan mobilisasi aparat kepolisian untuk mendatangi para dosen dan rektor kampus dengan modus wawancara untuk mendapatkan tanggapan positif terkait rekam jejak Presiden Joko Widodo selama berkuasa. Bahwa bentuk lain dari intimidasi yakni pesan intimidasi yang diterima Guru Besar Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo lewat pesan WhatsApp dari seseorang berseragam yang mengaku alumni UI.

Berdasarkan catatan koalisi masyarakat sipil terdapat setidaknya 121 kasus kecurangan dan pelanggaran yang meliputi dukungan ASN terhadap Capres-Cawapres tertentu, kampanye terselubung, dukungan terhadap kandidat tertentu, politisasi bansos, dukungan pejabat publik pada kontestan tertentu, penggunaan fasilitas negara, hingga intimidasi terselubung. Adapun berbagai bentuk pelanggaran tersebut terjadi sejak Penetapan Capres-Cawapres (13 November 2023) hingga 31 Januari 2024.

Koalisi berpendapat bahwa rangkaian tindakan tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap nilai etika bernegara, demokrasi dan prinsip-prinsip negara hukum. Berbagai fenomena yang melibatkan Presiden Joko Widodo mengganggu nurani kenegaraan yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi pasca rezim otoritarianisme orde baru, mencabik-cabik kehidupan demokratis, hingga menimbulkan perpecahan di tengah-tengah masyarakat. Sebagai kepala negara, Presiden dianggap sebagai otoritas dan kompas moral bangsa, sehingga Presiden harus mengedepankan etika kepemimpinan yang bersih, jujur, mengupayakan persatuan dan kesatuan dan menjamin tata kelola negara yang adil dan memihak kepada kepentingan publik dan keadilan sosial. Pernyataan Presiden bahwa Presiden dan Menteri boleh melakukan kampanye dan memihak tentu dapat dipandang sebagai sebuah upaya untuk mendorong pemerintahan yang tidak adil dan tidak berpihak pada kepentingan dan keadilan sosial.

Adapun kami menilai berbagai peraturan perundang-undangan telah dikangkangi mulai dari konstitusi, Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, hingga Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Selain melanggar berbagai instrumen hukum, berbagai manuver politik Presiden Joko Widodo merupakan wujud dari pemerintahan otoritarian dengan mengangkangi hukum, tidak memperdulikan etika, memaksakan kehendak dan menjadikan Pemilihan Umum sebagai sarana untuk melanggengkan kekuasaan keluarga dan kroninya. Sejarah bangsa Indonesia yang sangat lama berada dalam masa pemerintahan otoritarian dan hegemonistik seharusnya bisa menjadi pelajaran untuk mendorong etika bernegara yang demokratis, partisipatif dan menjunjung tinggi transparansi.

Atas dasar hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil MENSOMASI Presiden Joko Widodo untuk dan dalam tempo hingga 14 Februari 2024:

Pertama, Meminta maaf kepada seluruh rakyat atas keculasan dan tindakan nir-etika yang dilakukan;

Kedua, Mencabut pernyataan cawe-cawe, Presiden boleh berkampanye dan memihak, serta berjanji untuk bertindak netral dalam gelaran Pemilihan Umum;

Ketiga, Menertibkan para pembantunya khususnya menteri-menteri untuk patuh pada aturan dan etika bernegara;

Keempat, Menghentikan Pembagian Bansos dengan motif politik menjelang hari pencoblosan 14 Februari 2024 dan menjelang putaran kedua Pemilihan Presiden – Wakil Presiden;

Kelima, Menginstruksikan Kapolri, TNI dan ASN untuk betul-betul netral dan memberi pesan tegas untuk menjatuhkan sanksi apabila terdapat penyelewengan berkaitan dengan netralitas dan profesionalitas.

Bahwa apabila Presiden tidak mengindahkan surat somasi ini, maka kami siap untuk mengambil langkah hukum baik lewat mekanisme administratif, perdata atau pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Koalisi Masyarakat Sipil berharap upaya somasi ini dimaknai sebagai sebuah jalan harmoni untuk mewujudkan kehidupan bernegara yang adil, bersih, jujur, anti KKN, menjunjung nilai Hak Asasi Manusia serta mendorong pemerintah untuk mewujudkan amalan Pancasila terutama sila kelima dan bertujuan untuk melakukan koreksi terhadap pemerintahan sebagai bagian dari praktik demokrasi yang sehat dan substansial.

Koalisi Masyarakat Sipil 

YLBHI, KontraS, PBHI, Imparsial, Lokataru Foundation, Aliansi Jurnalis Independen, Safenet, Walhi Eknas, HRWG, Greenpeace, Pusaka Bentala Rakyat, ELSAM, JATAM, LBH Jakarta, Trend Asia,  Indonesia Corruption Watch, ICEL, Themis Indonesia, KASBI, Centra Initiative, Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL), Lamongan Melawan, Rumah Pengetahuan Amartya, Walhi Jawa Timur, Yayasan Pikul, Social Movement Institute, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Efek Rumah Kaca, Migrant CARE, Yayasan Cahaya Guru, SETARA Institute, Lembaga Pers Mahasiswa Didaktika.

Individu

Suciwati, Linda Christanty, Wahyu Susilo, Lini Zurlia, Yati Andriyani

Klik disini untuk melihat lapiran somasi selengkapnya